Warga Padang khususnya dan masyarakat
Minangkababau umumnya tentu mengetahui nama nagari Sungai Barameh di
dekat Pelabuhan Teluk Bayur. Nama nagari ini unik: dalam bahasa
Minangkabau ragam tulis disebut Sungai Beremas, yang kalau dicoba cari
maknanya mungkin berarti ‘Sungai yang mengandung/memiliki emas’. Tapi
kalau dilihat bentuk lisannya-Sungai Barameh-maka itu bisa berarti
’sungai yang diremas’. Jelas makna itu kurang logis; yang lebih masuk
akal tentu makna ’sungai yang mengandung emas’ tadi. Tapi kenapa dalam
ragam lisan nama nagari ini ditulis Sungai Barameh, bukan Sungai Baameh?
Agaknya ini mungkin pengaruh proses pemelayutinggian nama-nama
daerah/nagari di Minangkabau, sebagaimana ditemukan juga pada nama
nagari-nagari lain, yang kadang-kadang mengalami apa yang disebut hiperkoreksi.
Rubrik “Minang Saisuak” kali ini menurunkan foto klasik pemandangan di lebuh gedang nagari Sungai Barameh. “Weg …. naar Soengei Beramas Emmahaven”
[kata kedua tak bisa dibaca karena kurang jelas]. Artinya kurang lebih:
‘Jalan ke Sungai Barameh Teluk Bayur’. Tidak ada catatan tarikh pasti
pembuatan foto ini, tapi sangat mungkin akhir abad ke-19 atau awal abad
ke-20, setelah Emmahaven (sekarang: Pelabuhan Teluk Bayur) yang dibangun
tahun 1893 mulai beroperasi. Pengoperasian pelabuhan itu jelas
menimbulkan dampak sosial: kampung-kampung di sekitarnya yang semula
lengang, termasuk Sungai Barameh, mulai berkembang dan dikunjungi oleh
banyak orang luar.
Judul foto ini memberikan data yang
jelas bahwa sudah sejak dulu nagari dekat Teluk Bayur ini disebut
‘Sungai Beramas’. Akhir-akhir ini banyak orang mempermasalahkan
penulisan nama kampung-kampung atau nagari-nagari di Minangkabau yang
katanya salah atau keliru. Menurut saya mereka ahistoris dana mengalami amnesia sejarah. Mau menulis apa? Sungai Barameh, Sungai Baameh, Sungai Beramas, atau Sungai Beremas?
Berapa pula anggaran negara dari duit rakyat yang akan dihabiskan untuk
merapatkan perubahan nama itu sebelum keputusan dapat diambil? Hemat
saya, biarkanlah nama-nama kampung/nagari itu tetap seperti yang sudah
dikenal ratusan tahun lalu. Orang awak zaman kini cenderung suka
cari-cari kojo, tapi setelah dapat kojo sering mancilobie.
sumber : Suryadi - Leiden, Belanda. (Sumber foto: Indisch Weteschappelijk Institute, Amsterdam) | Singgalang, Minggu, 7 Juli 2013
0 Response to "Minang Saisuak #132 - Nagari Sungai Beramas"
Post a Comment