Mungkin kota Bukittinggi boleh
dibilang kota seribu janjang. Karena kontur tanahnya yang terletak di
perbukitan, antara tempat-tempat yang berbeda ketinggiannya di kota itu
dibuat janjang. Oleh karena itu banyak janjang (besar dan kecil, panjang
dan pendek) dibuat untuk menghubungkan satu tempat dengan tempat lain,
satu bagian dengan bagian lainnya di dalam kota itu. Kalau tidak
janjang, pasti ada tanjakan. Kontur tanah kota Bukittinggi ini
mengingatkan kita pada kota-kota di lereng batu-batu cadas di Italia,
Spanyol, dan Portugal.
Salah satu janjang yang paling
terkenal di Bukittinggi adalah Janjang 40 yang terletak antara Pasar
Banto dan Mesjid Raya. Namanya terpatri dalam sebuah bait pantun yang
kemudian dikekalkan dalam lirik sebuah lagu Minang: ‘Bukiktinggi koto ‘rang Agam / Mandaki Janjang Ampek Puluah / Sakik sagadang bijo bayam / Tapi bak raso ka mambunuah’.
Janjang Gantuang adalah janjang
lain yang juga terkenal di Bukittinggi. Janjang ini menghubungkan Pasar
Bawah dan Pasar Lereng. Demikian juga janjang antara simpang Kampuang Cino dan Jalan Cindua Mato (dekat kebun binatang, Pasa Ateh).
Yang lagi naik daun namanya
adalah ‘Great Wall’ yang menghubungkan Nagari Koto Gadang dengan Ngarai
Sianok. Janjang baru ini lebih memudahkan orang-orang yang ingin
mengunjungi Koto Gadang dari sisi Bukittinggi melalui lembah Ngarai
Sianok. Oleh karena itu janjang ini sering juga disebut ‘Great Wall
Ngarai Sianok’.
Rubrik ‘Minang Saisuak’ kali
ini menurunkan foto klasik Janjang Gudang, salah satu janjang yang juga
terkenal di Bukittinggi. Sekarang Janjang Gudang ini adalah janjang antara Hotel Jogja di bawah ke komplek pertokoan di depan Jam Gadang. Foto
ini dibuat sekitar 1930-an. Terlihat bangunan di kedua ujung janjang
ini masih belum sebanyak sekarang. Bangunan bergonjong di kaki bawah
janjang ini tidak diketahui namanya, mungkin sebuah kantor atau winkel. Di depannya ada sebuah tiang, kurang jelas apakah itu tiang bendera atau tiang listrik.
Tak mungkin menceritakan keindahan Bukittinggi
dalam rubrik yang pendek ini. Cukuplah saya turunkan dua pantun lagi
yang menyebut-nyebut nama Bukittinggi untuk mengakhiri rubrik ini dan
mengundang pembaca untuk berkunjung ke kota ini: ‘Rami galanggang Bukiktinggi / Saketek tidak kapanasan / Alangkah ibo raso hati / Sayang nan tidak babalasan’. ‘Bukiktinggi tanah rang Kurai / Lubuak Basuang dengan Pasaman / Sungguahpun banyak siriah di balai / Sado iko di dalam puan’.
sumber:Suryadi - Leiden, Belanda. (Sumber foto: http://sphotos-e.ak.fbcdn.net) | Singgalang, Minggu, 14 Juli 2013
0 Response to "Minang Saisuak #133 - Janjang Gudang, Bukittinggi (c.1930)"
Post a Comment