Marzuki Dt. Mangulak Basayang lebih terkenal dengan gelar adatnya: Dt. Mangulak Basaadalah salah satu dari sepuluh pendiri (oprichter) Bank Nasional, banknya urang awak yang didirikan di Bukittinggi akhir tahun 1930. Sembilan pendiri lainnya adalah: Anwar St. Saidi, H. Mohd. Jatim, H. Sjamsuddin, H. Mohd. Thaher, H.M.S. Sulaiman, Djamain Abd. Murad Tk. Mudo, H. Sjarkawi Chalidi, Rasjid St. Tumanggung, dan Malin Sulaiman.
Dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1886, Marzuki kecil disekolahkan oleh orang tuanya di Volkschool (sekolah dasar 3 tahun) di kota kelahirannya. Ayahnya, Angku Kitab gelar Dt. Dunia Basa, adalah seorang pedagang tembakau di Bukittinggi. Sepulang dari sekolah Marzuki kecil sering membantu ayahnya di toko, terutama pada hari pekan di Bukittinggi, yaitu hari Rabu dan Sabtu.
Dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1886, Marzuki kecil disekolahkan oleh orang tuanya di Volkschool (sekolah dasar 3 tahun) di kota kelahirannya. Ayahnya, Angku Kitab gelar Dt. Dunia Basa, adalah seorang pedagang tembakau di Bukittinggi. Sepulang dari sekolah Marzuki kecil sering membantu ayahnya di toko, terutama pada hari pekan di Bukittinggi, yaitu hari Rabu dan Sabtu.
Setamat dari Volkschool, Marzuki diserahkan oleh ayahnya menuntut ilmu agama kepada Tuanku Samik di Kamang. Tamat dari situ Marzuki mendapat gelar Pakih Perpatih. Ia lalu mendirikan Perguruan AlQuran di Bukittinggi yang banyak dikunjungi anak-anak untuk belajar mengaji karena Pakih Perpatih adalah seorang guru mengaji yang suaranya sangat bagus dan pintar berlagu Qasidah.
Menjadi guru mengaji semata tentulah tidak dapat diandalkan untuk membiayai kehidupan. Maka seiring dengan menanjaknya usia, Pakih Perpatih alias Marzuki mencoba mengikuti jejak ayahnya: menempuh dunia dagang. Pada tahun 1913 ia mulai berjualan minyak kelapa (minyak manis) di jalan Sjekh Bantan, Bukittingi. Usaha dagangnya itu berjalan baik. Kemudian ia menikah dan menyandang gelar pusaka Datuak Mangulak Basa, dan menjadi ninik mamak dalam daerah Kurai Limo Jorong.
Dt. Mangulak Basa giat membawa anak memenakannya dalam usaha dagang. Bersama kawan-kawan yang seide ia mendirikan Kongsi Setia yang mengorganisir perdagangan gula saka (gula aren/enau) dan tangkelek (bakiak) produksi Parit Putus. Mereka juga mendirikan usaha peternakan ayam.
Usaha dagang Kongsi Setia beroleh kemajuan. Dt. Mangulak Basa kemudian melebarkan usahanya ke perdagangan buku: ia mendirikan sebuah toko buku bernama DADKAIMA, yaitu singkatan dari Disini Ada Djual Kitab Arab Indonesia dan Melaju (sesuai ejaan asli; Suryadi). Ini merefleksikan sifatnya yang memang humoris dan periang.
Memasuki usia empat puluhan Dt. Mangulak Basa dan toko bukunya sudah terkenal do Bukittinggi dan sekitarnya. Pada tahun 1927 ia aktif mendirikan organisasi Muhammadiyah bersama M. Zein Djambek. Di bidang perdagangan, ia kemudian mendirikan Himpunan Saudagar Indonesia (H.S.I.) pada tahun 1930. H.S.I. inilah yang kemudian mendirikan Abuan Saudagar yang menjadi pelopor pendirian Bank Nasional yang resmi berdiri tanggal 27 Desember 1930 di Bukittinggi.
Berkali-kali Dt. Mangulak Basa menjadi anggota pengurus Bank Nasional. Bank itu sendiri pada awal berdirinya sudah dicemeehkan oleh petinggi Belanda di Padang dan Bukittinggi, yang tidak percaya bahwa orang pribumi dapat mengelola sebuah bank. (Belakangan terbukti bahwa Bank Nasional berkembang di tangan putra-putra Minangkabau yang terbaik). Pada masa itu Pemerintah Kolonial Belanda sedang sibuk mendirikan Gemeente (Pemerintah Kotapraja) Fort de Kock (Bukittinggi) yang maksudnya tiada lain untuk lebih dapat mengatur dan menguasai hak-hak rakyat. Dt. Mangulak Basa dan teman-temannya, seperti M. Zein Djambek, Dt. Radjo Dilangik, dll., mengadakan rapat umum untuk menentang berdirinya Gemeente Fort de Kock itu. Rapat umum itu dibubarkan oleh yang berwajib, dan Dt. Mangulak Basa dan teman-temannya kemudian dicurigai dan diawasi oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Konsekuensinya: setiap kali Dt. Mangulak basa diajukan oleh masyarakatnya sebagai kepala nagari (menurut peraturan I.G.O.B. waktu itu), selalu ditolak oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Toko buku DADKAIMA milik Dt. Mangulak Basa semakin maju. Di toko buku itu dipasarkan buku-buku terbitan berbagai penerbit/percetakan, antara lain juga buku-buku terbitan Penerbit Limbago Minangkabau di Payakumbuh. Pada tahun 1933 Dt. Mangulak Basa bersama rekannya, H. Muhammad Siddik dan Hitam St. Mudo, mengambil alih Percetakan Tsamaratul Ichwan dari Inyik Syekh Djamil Djambek dengan membayar ganti rugi. Sejarah telah mencatat bahwa percetakan itu kemudian berkembang baik menjadi Toko Buku, Penerbitan dan Percetakan Tsamaratul Ichwan. Percetakan ini adalah salah satu percetakan pribumi yang penting di Sumatra Barat pada paruh pertama abad ke-20: banyak buku agama, sastra, dan jenis-jenis buku lainnya dicetak oleh percetakan ini.
Pada tahun 1938 Dt. Mangulak Basa dan teman-temanya, seperti H. Muhammad Saleh, Dt. Madjono Basa, dll., mempelopori pembangunan Mesjid Raya Bukittinggi yang menjadi barometer bagi semarak syiar agama Islam di Bukittinggi dan sekitarnya. Selanjutnya, sejak tahun 1938 sampai Zaman Jepang Dt. Mangulak Basa banyak mencurahkan perhatian untuk mendirikan sejumlah organisasi dagang dimana beliau sering didudukkan dalam Dewan Komisaris organisasi-organisasi itu, seperti N.V. Inkorba dan PT. Bumi Putera.
Masuknya tentara Jepang di tahun 1942 menimbulkan banjir uang Jepang, sehingga mengakibatkan kacau-balaunya perekonomian masyarakat. Inflasi menggejuju, perekonomian masyarakat jadi macet. Hal itu mempengaruhi usaha-usaha dagang dan percetakan milik Dt. Mangulak Basa. Penjajah Jepang mengajukan nama beliau menjadi anggota Pengadilan Negeri (Tjhoo Hoin). Dt. Mangulak Basa menerima tawaran itu, untuk melindungi diri dari ancaman Jepang. Namun perasaan anti penjajahan beliau kadang-kadang muncul kentara. Demikianlah umpamanya, saat memberikan pidato dalam penyambutan Sjutjo Kang (Pejabat Gubernur Jepang) di Padang pada tahun 1942, beliau pun menyelipkan pantun dalam pidatonya itu: Ramo-ramo sikumbang janti / Katik Endah pulang bakudo / Patah tumbuah hilang baganti [dari penjajah Belanda ke penjajah Jepang; Suryadi] / Hasilnyo samo sajo.
Dt. Mangulak basa merasakan beratnya hidup di zaman penjajahan Jepang, saat usia beliau sendiri sudah semakin tua dan sering penyakitan. Aziz Thaib dkk. yang menyusun Buku Peringatan 40 Tahun P.T. Bank Nasional (Bukittinggi: P.T. Bank Nasional, 1970:357-58)yang menjadi rujukan utama artikel inimengatakan bahwa Dt. Mangulak Basa berpulang kerahmatullah pada tanggal 11 November 1944, tanpa menjaksikan Alam Indonesia Merdeka jang telah beliau perdjuangkan demikian lamanja, dimana semendjak zaman Belanda sampai zaman Djepang, beliau menentang pendjadjahan dengan gigih (hal.158). Almarhum meninggalkan seorang istri, 2 putra dan 6 putri. Terlihat bahwa beliau memang berpikiran maju dan tidak mempraktekkan poligami seperti kebanyakan laki-laki Minang pada masa itu, sehingga anak-anak beliau banyak yang menjadi orang. Salah seorang putra beliau, A.M. Dt. Sutan Maharadjo, pernah menjadi ketua DPRD-GR Kotamadya Bukittinggi.
Dari riwayat hidupnya yang singkat ini, dapat dikatakan bahwa Marzuki Dt. Mangulak Basa adalah salah seorang putra Minangkabau yang cukup berjasa. Namanya patut dicatat dalam Ensiklopedi Minangkabau. Foto ilustrasi dalam artikel ini diambil dari buku Soeloeh Bahasa Inggeris karangan Siradjoeddin Abbas (Boekit Tinggi: Ts. Ichwan, 1934; seperti ditulis di bawah foto itu, Dt. Mangulak Basa disebut Publisher [Penerbit] karena beliau yang memiliki Penerbit Ts[maratul] Ichwan yang menerbitkan buku itu).
Menjadi guru mengaji semata tentulah tidak dapat diandalkan untuk membiayai kehidupan. Maka seiring dengan menanjaknya usia, Pakih Perpatih alias Marzuki mencoba mengikuti jejak ayahnya: menempuh dunia dagang. Pada tahun 1913 ia mulai berjualan minyak kelapa (minyak manis) di jalan Sjekh Bantan, Bukittingi. Usaha dagangnya itu berjalan baik. Kemudian ia menikah dan menyandang gelar pusaka Datuak Mangulak Basa, dan menjadi ninik mamak dalam daerah Kurai Limo Jorong.
Dt. Mangulak Basa giat membawa anak memenakannya dalam usaha dagang. Bersama kawan-kawan yang seide ia mendirikan Kongsi Setia yang mengorganisir perdagangan gula saka (gula aren/enau) dan tangkelek (bakiak) produksi Parit Putus. Mereka juga mendirikan usaha peternakan ayam.
Usaha dagang Kongsi Setia beroleh kemajuan. Dt. Mangulak Basa kemudian melebarkan usahanya ke perdagangan buku: ia mendirikan sebuah toko buku bernama DADKAIMA, yaitu singkatan dari Disini Ada Djual Kitab Arab Indonesia dan Melaju (sesuai ejaan asli; Suryadi). Ini merefleksikan sifatnya yang memang humoris dan periang.
Memasuki usia empat puluhan Dt. Mangulak Basa dan toko bukunya sudah terkenal do Bukittinggi dan sekitarnya. Pada tahun 1927 ia aktif mendirikan organisasi Muhammadiyah bersama M. Zein Djambek. Di bidang perdagangan, ia kemudian mendirikan Himpunan Saudagar Indonesia (H.S.I.) pada tahun 1930. H.S.I. inilah yang kemudian mendirikan Abuan Saudagar yang menjadi pelopor pendirian Bank Nasional yang resmi berdiri tanggal 27 Desember 1930 di Bukittinggi.
Berkali-kali Dt. Mangulak Basa menjadi anggota pengurus Bank Nasional. Bank itu sendiri pada awal berdirinya sudah dicemeehkan oleh petinggi Belanda di Padang dan Bukittinggi, yang tidak percaya bahwa orang pribumi dapat mengelola sebuah bank. (Belakangan terbukti bahwa Bank Nasional berkembang di tangan putra-putra Minangkabau yang terbaik). Pada masa itu Pemerintah Kolonial Belanda sedang sibuk mendirikan Gemeente (Pemerintah Kotapraja) Fort de Kock (Bukittinggi) yang maksudnya tiada lain untuk lebih dapat mengatur dan menguasai hak-hak rakyat. Dt. Mangulak Basa dan teman-temannya, seperti M. Zein Djambek, Dt. Radjo Dilangik, dll., mengadakan rapat umum untuk menentang berdirinya Gemeente Fort de Kock itu. Rapat umum itu dibubarkan oleh yang berwajib, dan Dt. Mangulak Basa dan teman-temannya kemudian dicurigai dan diawasi oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Konsekuensinya: setiap kali Dt. Mangulak basa diajukan oleh masyarakatnya sebagai kepala nagari (menurut peraturan I.G.O.B. waktu itu), selalu ditolak oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Toko buku DADKAIMA milik Dt. Mangulak Basa semakin maju. Di toko buku itu dipasarkan buku-buku terbitan berbagai penerbit/percetakan, antara lain juga buku-buku terbitan Penerbit Limbago Minangkabau di Payakumbuh. Pada tahun 1933 Dt. Mangulak Basa bersama rekannya, H. Muhammad Siddik dan Hitam St. Mudo, mengambil alih Percetakan Tsamaratul Ichwan dari Inyik Syekh Djamil Djambek dengan membayar ganti rugi. Sejarah telah mencatat bahwa percetakan itu kemudian berkembang baik menjadi Toko Buku, Penerbitan dan Percetakan Tsamaratul Ichwan. Percetakan ini adalah salah satu percetakan pribumi yang penting di Sumatra Barat pada paruh pertama abad ke-20: banyak buku agama, sastra, dan jenis-jenis buku lainnya dicetak oleh percetakan ini.
Pada tahun 1938 Dt. Mangulak Basa dan teman-temanya, seperti H. Muhammad Saleh, Dt. Madjono Basa, dll., mempelopori pembangunan Mesjid Raya Bukittinggi yang menjadi barometer bagi semarak syiar agama Islam di Bukittinggi dan sekitarnya. Selanjutnya, sejak tahun 1938 sampai Zaman Jepang Dt. Mangulak Basa banyak mencurahkan perhatian untuk mendirikan sejumlah organisasi dagang dimana beliau sering didudukkan dalam Dewan Komisaris organisasi-organisasi itu, seperti N.V. Inkorba dan PT. Bumi Putera.
Masuknya tentara Jepang di tahun 1942 menimbulkan banjir uang Jepang, sehingga mengakibatkan kacau-balaunya perekonomian masyarakat. Inflasi menggejuju, perekonomian masyarakat jadi macet. Hal itu mempengaruhi usaha-usaha dagang dan percetakan milik Dt. Mangulak Basa. Penjajah Jepang mengajukan nama beliau menjadi anggota Pengadilan Negeri (Tjhoo Hoin). Dt. Mangulak Basa menerima tawaran itu, untuk melindungi diri dari ancaman Jepang. Namun perasaan anti penjajahan beliau kadang-kadang muncul kentara. Demikianlah umpamanya, saat memberikan pidato dalam penyambutan Sjutjo Kang (Pejabat Gubernur Jepang) di Padang pada tahun 1942, beliau pun menyelipkan pantun dalam pidatonya itu: Ramo-ramo sikumbang janti / Katik Endah pulang bakudo / Patah tumbuah hilang baganti [dari penjajah Belanda ke penjajah Jepang; Suryadi] / Hasilnyo samo sajo.
Dt. Mangulak basa merasakan beratnya hidup di zaman penjajahan Jepang, saat usia beliau sendiri sudah semakin tua dan sering penyakitan. Aziz Thaib dkk. yang menyusun Buku Peringatan 40 Tahun P.T. Bank Nasional (Bukittinggi: P.T. Bank Nasional, 1970:357-58)yang menjadi rujukan utama artikel inimengatakan bahwa Dt. Mangulak Basa berpulang kerahmatullah pada tanggal 11 November 1944, tanpa menjaksikan Alam Indonesia Merdeka jang telah beliau perdjuangkan demikian lamanja, dimana semendjak zaman Belanda sampai zaman Djepang, beliau menentang pendjadjahan dengan gigih (hal.158). Almarhum meninggalkan seorang istri, 2 putra dan 6 putri. Terlihat bahwa beliau memang berpikiran maju dan tidak mempraktekkan poligami seperti kebanyakan laki-laki Minang pada masa itu, sehingga anak-anak beliau banyak yang menjadi orang. Salah seorang putra beliau, A.M. Dt. Sutan Maharadjo, pernah menjadi ketua DPRD-GR Kotamadya Bukittinggi.
Dari riwayat hidupnya yang singkat ini, dapat dikatakan bahwa Marzuki Dt. Mangulak Basa adalah salah seorang putra Minangkabau yang cukup berjasa. Namanya patut dicatat dalam Ensiklopedi Minangkabau. Foto ilustrasi dalam artikel ini diambil dari buku Soeloeh Bahasa Inggeris karangan Siradjoeddin Abbas (Boekit Tinggi: Ts. Ichwan, 1934; seperti ditulis di bawah foto itu, Dt. Mangulak Basa disebut Publisher [Penerbit] karena beliau yang memiliki Penerbit Ts[maratul] Ichwan yang menerbitkan buku itu).
sumber:
Suryadi, dosen dan peneliti pada Dept. of Languages and Cultures of Southeast Asia and Oceania Leiden University, Belanda ( s.suryadi at let.leidenuniv.nl)
Sumber: Harian Singgalang, Mingu , 11 Juni 2006
Sumber: Harian Singgalang, Mingu , 11 Juni 2006
0 Response to "Marzuki Dt. Mangulak Basa"
Post a Comment