Banyak wisatawan berkunjung ke Kota Bukit Tinggi, sekitar 93 km utara Padang, Sumatera Barat, bertanya-tanya dan bahkan nyaris tak percaya tentang keberadaan Istana Bung Hatta, yang persis berada di depan Jam Gadang, trade mark-nya Bukit Tinggi. "Saya baru tahu, kalau di Bukittinggi ada Istana Bung Hatta. Apa dan bagaimana keberadaan istana tersebut, saya tidak tahu, kecuali tahu Bung Hatta, sebagai Wakil Presiden. Sejarah hampir tak pernah menyinggung-nyinggung soal keberadaan istana dan ada apa dengan Bung Hatta di Bukit Tinggi," kata Dianti (25), seorang mahasiswi asal Jakarta, Sabtu (3/8) di Bukit Tinggi.
Kenyataan senada juga dikemukakan Sisilia, pelajar SMU asal Medan, Sumatera Utara, yang ditemui secara terpisah di Bukit Tinggi. "Keberadaan Istana Bung Hatta dan peran Bung Hatta di kota kelahirannya, Bukit Tinggi, perlu diperjelas dan dimasukkan dalam pelajaran sejarah, agar semua dan setiap generasi mengetahuinya," ujarnya.
Ketidaktahuan banyak orang, termasuk masyarakat Sumatera Barat sendiri, tentang peran Bung Hatta dan keberadaan Istana Bung Hatta di Bukit Tinggi, bisa dimengerti dan dimaklumi, karena sangat jarang buku-buku sejarah Indonesia menjelaskan hal ini.
"Kita prihatin, banyak hal-hal penting dalam perjuangan bangsa ini yang sengaja dikaburkan bahkan dihilangkan untuk kepentingan rezim Soeharto, penguasa (Orde Baru). Termasuk peran Bung Hatta di Sumatera (Bukit Tinggi)," kata sejarawan Universitas Negeri Padang, Dr Mestika Zed MA. Sesungguhnya, kata Mestika Zed, ketika Hatta berada di Sumatera itulah perjuangan keberdekaan Indonesia memperoleh ciri yang lebih internasional.
Revolusi di Sumatera
Ada dua kasus "revolusi sosial" yang meletus di Aceh dan Sumatera Timur, membuat Bung Hatta sangat tak ingin menunda-nunda lagi kunjungannya ke Sumatera. Karena krisis internal dalam tubuh Republik Indonesia itu mengancam keutuhan integrasi bangsa.
Menurut Mestika Zed, kedua konflik revolusioner itu pada umumnya ditujukan kepada kekuasaan bangsawan setempat. Revolusi di Aceh, yang lebih bercorak Islam ketimbang Marxis, tidak begitu mencemaskan Hatta. Akan tetapi keadaan di Sumatera Timur lebih berbahaya. Soalnya aksi-aksi revolusi sosial di sana jelas-jelas memiliki hubungan langsung dengan kelompok Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka, tokoh yang dihormati di Sumatera, termasuk di daerah asalnya sendiri, Minangkabau.
Strategi perjuangan Tan Malaka dan pengikutnya sejak semula menentang keras kebijakan berunding yang diambil pemerintah. Mereka lebih menekankan garis keras lewat perjuangan bersenjata, yang dianggapnya sesuai dengan semangat militansi di kalangan kaum nasionalis di pulau itu. Tetapi selain itu, Hatta juga sangat mencemaskan pecahnya konflik internal di kampung halamannya.
"Semua itu telah menyadarkan Hatta akan tanda-tanda berbahaya perpecahan yang lebih luas dalam kepemimpinan revolusi di daerah asalnya sendiri. Beberapa bulan kemudian Hatta sampai di Sumatera dan tidak lama setelah itu, yakni bulan Juli 1947 Agresi Militer Belanda meletus. Hatta berada di Sumatera sampai menjelang meletusnya Agresi Militer kedua bulan Desember 1948. Selama masa antara dua perang kemerdekaan itulah Hatta bertahan dan memimpin perjuangan di tengah-tengah rakyat Sumatera," kata Mestika Zed.
Bagi Hatta khususnya dan juga bagi sebagian pemimpin di pusat, Sumatera adalah daerah alternatif sekaligus masa depan perjuangan Republik. Mengapa? Kesulitan-kesulitan yang dialami Republik dalam menghadapi Belanda di Jawa, khususnya setelah penandatanganan perundingan Linggarjati, segera menimbulkan spekulasi, bahwa pasukan Belanda, cepat atau lambat, akan terus mendesak dan akhirnya menduduki daerah-daerah strategis di Pulau Jawa.
Karena itu, perjuangan pada gilirannya akan berlangsung dalam pertempuran di pegunungan dan hutan belantara Sumatera. Demikian pentingnya Sumatera di mata Hatta, sehingga suatu waktu di awal Proklamasi Kemerdekaan RI ia pernah mengatakan, "Sumatera boleh jadi lautan api dan tenggelam ke dasar lautan, asal jangan jatuh ke tangan penjajah Belanda."
Menurut Mestika Zed, Hatta berangkat ke Sumatera awal Juni 1947, yakni 10 hari setelah menerima undangan dari KNI Sumatera. Meskipun masih ada yang merasa keberatan dengan rencana kunjungan itu, dengan mengatakan, bahwa di Yogya sedang kekurangan pemimpin dan pekerjaan di Pulau Jawa sangat banyak dan sulit ditinggalkan begitu saja, dan seterusnya, Hatta tidak lagi mau menunda keberangkatannya. Hanya menanggapi datar, tetapi tegas; "Apakah Sumatera itu bukan Indonesia?"
Akhirnya, Hatta berangkat dengan menumpang kereta api sore dari Stasiun Tugu, Yogyakarta, bersama rombongan yang cukup besar jumlahnya. Inilah kunjungan pertama Wakil Presiden RI ke Sumatera.
Sebagai negarawan besar yang dielu-elukan rakyatnya seperti terlihat dari sambutan yang diterimanya di setiap stasiun yang dilewatinya, dia disambut massa rakyat secara spontan dan hangat tanpa perlu dimobilisasi oleh pihak mana pun. Hampir di setiap tempat pemberhentian, Hatta "didaulat" untuk berpidato. Dalam perjalanan, ia harus memikirkan konsep pidatonya yang lebih baru supaya tidak menjadi basi di telingga para pendengarnya.
Mempersatukan Indonesia
Walaupun Hatta punya rumah tempat kelahirannya di Bukit Tinggi, namun selama keberadaannya di Sumatera ia menetap di rumah "Tamu Agung", yang kemudian dikenal Gedung Tri Arga, Wisma Hatta, dan terakhir diubah namanya menjadi Istana Bung Hatta. Istana Bung Hatta merupakan bagunan besar bekas kediaman Asisten Residen Belanda di Bukit Tinggi. Oleh Hatta digunakan sebagai tempat kediamannya dan sekaligus sebagai Istana Wakil Presiden RI di Bukit Tinggi. Dari sana Hatta memimpin perjuangan di Sumatera dan mengadakan pertemuan-pertemuan dengan para pemimpin setempat sambil mempelajari masalah-masalah mendesak yang dihadapi Sumatera umumnya, Sumatera Barat khususnya.
Salah satu prakarsa Hatta terpenting misalnya, mencoba menyatukan sejumlah besar partai dan organisasi sosial yang ada di Minangkabau di bawah satu komando, yaitu melalui apa yang dinamakan Badan Pengawal Nagari dan Kota. Gerakan Badan Pengawal Nagari dan Kota berada di bawah suatu sekretariat bersama yang terdiri dari lima orang tokoh politik terkemuka di Sumatera Barat seperti Hamka, Chatib Sulaiman, Udin, Rasuna Said, dan Karim Halim.
Juga kebijakan Hatta untuk menyatukan kekuatan bersenjata yang terpecah-pecah dan kadangkala saling berbenturan, mendapat sokongan dari militer. Berbagai unit tempur yang saling terpisah di luar jajaran tentara reguler TNI dengan menggabungkan semua laskar-laskar dan tentara reguler di bawah suatu komando bernama Dewan Kelaskaran.
Penggabungan kekuatan yang lebih besar antara unsur sipil yaitu Badan Pengawal Nagari dan Kota dengan jajaran TNI ke dalam suatu komando yang diinginkan Hatta, yakni apa yang disebut Front Nasional, bukanlah ikhtiar sia-sia. Hasilnya sangat dirasakan kemudian dalam menghadapi dua agresi Belanda. Front Nasional memainkan peran cukup penting dalam perjuangan Republik era Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Masih dalam rangka memperbaiki loyalitas lokal terhadap pusat, Hatta dengan berbagai cara juga melakukan reorganisasi pemerintahan sipil. Antara lain dengan memulihkan otonomi lokal melalui kebijaksanaan menghapuskan jabatan residen. Posisi Sub-Gubernur dan Gubernur Hasan untuk seluruh Sumatera juga kurang berfungsi. Kenyataan ini mendorong Hatta untuk menggembalikan bentuk pemerintahan kepada apa yang diperjuangkannya pada awal Proklamasi. Saat itu dalam sidang PPKI usul Hatta agar Sumatera dibagi menjadi tiga provinsi, dengan seorang gubernur sebagai kepalanya, telah ditentang Gubernur Sumatera Mr Teuku Moh Hasan, dan akhirnya ia kalah suara.
Sekitar bulan Mei 1947, ketika masih berada di Bukittinggi Hatta mendapat instruksi Soekarno agar berangkat ke India. Lewat jasa Biju Patnaik, seorang tokoh nasionalis India yang bersimpati dengan revolusi Indonesia, yang singgah di Bukittinggi dari perjalanan mengunjungi Yogya dan diminta untuk membicarakan bantuan senjata dari India. Hatta kembali ke Sumatera (Bukit Tinggi) sekitar pertengahan Juli 1947, tetapi misinya untuk mendapatkan senjata, karena berbagai alasan, tidak berhasil.
Hatta kembali meneruskan perjalanan keliling yang terganggu sebelumnya, seperti ke Tapanuli dan Sumatera Timur. Akan tetapi, sampai di Pematang Siantar, yang baru saja menjadi Ibu Kota Provinsi Sumatera, hampir jatuh ke tangan Belanda. Hatta dan Gubernur Teuku Moh Hasan tidak memiliki banyak pilihan, kecuali mundur dan kembali ke Bukit Tinggi, yang sejak awal Proklamasi tetap berada di luar orbit kekuasaan Belanda.
Hatta dan rombongan, baru sampai di Bukit Tinggi pada tanggal 29 Juli 1947. Kota itu segera menjadi penuh sesak. Sebelum perang penduduknya hanya sekitar 15.000 jiwa dan sesudah bulan Juli itu melonjak hampir mencapai 100.000. Soal perumahan yang sudah sulit menjadi semakin sulit, tetapi Kota Bukit Tinggi justru menjadi semakin penting kedudukannya. Bukan saja karena statusnya sebagai ibu kota Sumatera yang baru, melainkan juga tempat kedudukan Markas Besar Komandemen TNI Sumatera.
Pusat Perjuangan Pasca Agresi Belanda
Pada saat Jawa semakin terdesak akibat Agresi Militer Belanda I, di samping "terkepung" oleh kontrol blokade ekonomi Belanda yang semakin ketat, Sumatera tampil sebagai daerah alternatif dan memiliki ruang gerak yang relatif bebas dalam meneruskan perjuangan kemerdekaan. Kesempatan ini telah digunakan Hatta dengan sebaik-baiknya.
Hatta baru kembali ke Jawa tanggal 5 Februari 1948, setelah dijemput langsung oleh sejumlah pemimpin pusat, termasuk di antaranya Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, Syahrir, Zaenal Baharuddin (tokoh pemuda), dan Prawato (Masyumi), menyusul diterimanya oleh Pemerintah Persetujuan Renville.
Untuk melepas Hatta, digelar suatu rapat besar di lapangan Kantin, di pusat Kota Bukittinggi. Tampil ke podium tiga tokoh pembicara secara berganti-ganti. Hatta berpidato pada giliran yang pertama, untuk mengucapkan pidato perpisahan dengan rakyat Sumatera Barat. Pidato Hatta singkat saja, inilah kutipannya:
"Bahwa Perjanjian Renville hanyalah satu mata rantai dalam perjuangan kita yang panjang. Ada orang yang mengatakan kita kalah. Tetapi aku peringatkan, bahwa bangsa yang kalah ialah bangsa yang mengaku kalah. Perjuangan kita teruskan dengan berbagai risikonya. Kita sudah diterima mempertahankan kemerdekaan kita dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebab itu, Republik Indonesia tidak lagi bisa dihapuskan dari peta dunia."
Sejarawan Mestika Zed menjelaskan, Audrey Kahin dalam kajiannya tentang revolusi di Sumatera Barat, melihat kehadiran Hatta di tanah kelahirannya itu sebagai agen utama yang menjamin subordinasi isu lokal terhadap isu nasional.
sumber :http://pelaminanminang.com/artikel/dibalik-istana-bung-hatta-di-bukit-tinggi.html