Minang Saisuak #29 - Pasar Malam di Bukittinggi

minang-saisuak-29-suryadi-pasar-malam-di-bukittinggi-01

PASAR MALAM adalah acara keramaian yang biasa diselenggarakan di zaman kolonial di Hindia Belanda. Pasar malam, yang biasanya berlangsung 1-2 minggu, adalah ajang hiburan bagi masyarakat umum pada masa itu. Di pasar malam masyarakat dapat menonton pertunjukan berbagai jenis kesenian lokal, diselingi dengan pameran dan promosi produk-produk dalam negeri. Kadang-kadang di acara pasar malam juga diselenggarakan acara amal. Areal di sekitar pasar malam disewakan oleh pemerintah kepada para pedagang atau grup-grup seni pertunjukan. Biasanya beberapa bulan sebelum pasar malam diadakan, petak-petak tanah di areal tempat pasar malam akan diadakan sudah diiklankan oleh pemerintah di koran-koran. Walau namanya pasar malam, tapi rupanya pasar itu juga buka waktu siang. Tradisi pasar malam masih dikekalkan oleh golongan orang Indo yang berpindah ke Belanda menjelang Indonesia mereka. Setiap tahun pada awal musim panas orang-orang Indo mengadakan apa yang disebut Pasar Malam Besar atau Pasar Malam Tong-Tong di Den Haag.

minang-saisuak-29-suryadi-pasar-malam-di-bukittinggi-00 

Singgalang Minggu kali ini mengajak pembaca bernostalgia menyaksikan cuplikan suasana pasar malam di Fort de Kock (Bukittinggi) pada awal abad ke-20. Foto ini (12×17 cm.), yang dibuat tahun 1908, mengabadikan kunjungan Controleur Agam, L.C. Westenenk ke kompleks Pasar Malam Fort de Kock. Dalam foto Westenenk (berbaju putih dan bertopi) kelihatan sedang berjalan melakukan peninjauan. Adalah Westenenk yang menggagas Pasar Malam itu, yang diadakan tiap tahun, sejak setahun sebelumnya. Oleh karena itu acara itu disebut juga jaarmarkt-tentonstelling (pameran pasar tahunan). Penyelenggaraan Pasar Malam Fort de Kock tahun pertama cukup sukses, sebagaimana dilaporkan oleh Westenenk dalam Verslag van de Eerste Jaarmarkt-tentonstelling te Fort de Kock (Laporan Pameran Pasar Tahunan Pertama di Fort de Kock) (Batavia: Landsdrukkerij, 1907).

Semasa menjadi Asisten Residen di Agam, Louis Constant Westenenk (1872-1930; lihat gambarnya di atas) dihadapkan pada meningkatnya rasa benci penduduk kepada Belanda akibat kebijakan belasting (pajak) yang mencekik rakyat. Dialah yang memerintahkan tentara Kompeni memadamkan Pemberontakan Pajak di Kamang (1908). Dalam Syair Perang Kamang karangan Ahmad Marzuki, ia disebut ‘Tuan Siteneng’. Akan tetapi dia juga berminat meneliti masyarakat dan kebudayaan Minangkabau. Bukunya, De Minang Kabausche Nagari (Padang: Bäumer & Co, 1913) adalah salah satu rujukan klasik tertulis mengenai nagari di Minangkabau. Ia juga termasuk orang pertama yang memperkenalkan potensi wisata Sumatra Barat, seperti terefleksi pada bukunya Acht dagen in de Padangsche Bovenlanden  (Delapan hari di Padang Darat) (1909) yang kemudian terjemahkan ke bahasa Inggris oleh Biro Turisme Kolonial di Batavia menjadi Sumatra : illustrated tourist guide : a fourteen day’s trip in the Padang highlands (the land of Minang Kabau) (1913). Westenenk, yang juga menggemari olah raga pacu kuda, juga banyak menulis tentang peninggalan kebudayaan Hindu di Sumatra dan pandangan penduduk pulau ini terhadap harimau.

Sekarang tradisi pasar malam sudah agak jarang dilakukan di Minangkabau. Orang kalau keluar malam dibuat ‘menggigil’ oleh berbagai peraturan, termasuk Perda Syariah, dan macam-macam perda lainnya. Perempuan kalau sering ke luar malam acap kali mendapat stigma negatif. Kalau laki-laki bisa punya alasan pai rundo. Oleh sebab itu kota-kota, seperti kota Padang, cepat menjadi ‘kota mati’ bila malam datang.

Subscribe to receive free email updates: