PADANG di zaman lampau adalah kota utama di pulau Sumatra. Sebuah kota di mana roda ekonomi berputar dengan baik tentu memerlukan sebuah bank. Maka pada 1864 dibukalah kantor cabang De Javasche Bank di ‘kawasan bisnis’ Muara Padang. Inilah kantor cabang De Javasche Bank (berpusat di Batavia) yang ketiga di Hindia Belanda setelah Semarang dan Surabaya, dan yang pertama di luar pulau Jawa. Hal itu terealisasi berkat permohonan Kamer van Koophandel en Nijverheid (Kamar Dagang dan Industri ) kota Padang kepada Pemerintah Pusat dan Direktur de Javashe Bank di Batavia. Hadirnya kantor cabang De Javashce Bank di Padang menunjukkan pentingnya kota ini sebagai pintu utama perdagangan dan keuangan di Sumatra.
Gedung De Javasche Bank yang pertama di Padang terletak di Jalan Nipah (Nipa[h]laan) yang fotonya kami sajikan untuk pembaca Singgalang Minggu kali ini. Semula gedung itu adalah gudang militer sebelum resmi digunakan oleh De Javasche Bank mulai 29 Agustus 1864, dengan direkturnya yang pertama bernama A.W. Verkouteren. Foto ini (21,5×27 cm.) dibuat tahun 1900. Tidak disebutkan siapa nama mat kodaknya.
Pada tahun 1912 De Javasche Bank berencana membangun gedung baru, tapi pembangunannya baru terealisasi hampir sepuluh tahun kemudian. Terlambatnya pembangunan gedung baru itu karena sulitnya memperoleh izin dari pemerintah pada waktu itu karena kawasan Muara di mana Batang Arau bermuara direncanakan menjadi areal pelabuhan. Pembangunan gedung baru itu dimulai pada 31 Maret 1921 dan dirancang oleh Hulswitt-Fermont-Cuypers Architechten & Engineeren Beureau. Tahun 1925 gedung baru itu mulai dipakai, pada saat kursi Gubernur De Javashce Bank diduduki oleh Mr. L.J.A Trip (1924 -1929). Setelah Indonesia merdeka, pada 1 Juli 1953 fungsi dan operasi De Javasche Bank diambil alih oleh Bank Indonesia.
Baik bangunan gedung De Javasche Bank lama di Nipaa[h]laan maupun yang baru yang lebih besar sekarang masih berdiri tegak di Padang: gedung pertama di dekat pantai (dulu Nipa[h]alaan) dan gedung yang baru di kawasan Muara, Padang, dekat kaki jembatan Siti Nurbaya. Kedua gedung bersejarah itu tentu perlu terus dipelihara, supaya kota Padang tidak kelihangan sejarahnya.