TUANKU LARAS adalah jabatan adat bikinan Belanda untuk mengontrol masyarakat Minangkabau. Gelar tuanku lareh (‘tuanku laras’), atau larashoofd (‘kepala laras’) dalam bahasa Belanda, cukup bergengsi di Minangkabau pada zaman kolonial. Mereka yang dipilih menjadi kepala laras biasanya berasal dari kalangan penghulu berpengaruh di suatu nagari yang bisa diajak bekerjasama oleh Belanda. Jabatan tuanku laras sebebarnya sangat pelik: ke atas ia harus loyal kepada Belanda, ke bawah ia harus melindungi rakyatnya. Banyak kepala laras yang masih memegang idealisme, tetapi tak sedikit yang dibenci oleh masyarakatnya sendiri karena secara langsung atau tidak mereka menjadi perpanjangan tangan kolonialis Belanda untuk menekan dan mengontrol masyarakat Minangkabau di nagari-nagari.
Rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini menampilkan foto Kepala Laras Sungai Puar, Datuak Tumangguang Sutan Sulaiman (dalam dokumen-dokumen Belanda namanya ditulis ‘Datoe Toemanggoeng Soetan Soeliman’). Foto ukuran 17,5×12 cm. ini dibuat oleh mat kodak Th. F.A. Delprat pada tahun 1890. Datuak Tumangguang berkuasa antara 1870-an sampai 1930-an. Ia dikenal dekat dengan Belanda dan cukup cerdik menggunakan jabatannya untuk kesejahteraan keluarganya. Rumahnya gadangnya yang besar di Sungai puar, dan termasuk yang termewah untuk ukuran waktu itu, acap kali kedatangan tamu-tamu penting orang Belanda (antara lain perintis pembuatan jalan kereta api, J.W. Ijzerman, peneliti Jerman Alfred Maas, dan mantan misionaris Meint Joustra). Para pengunjung Eropa itu sempat membuat foto interior rumah gadang milik Datuak Tumangguang Sutan Sulaiman (lihat misalnya, buku Alfred Maas, Quer durch Sumatra: Reise-Erinnerungen. Berlin: Wilhem Süsserott, 1904; M. Joustra, Minangkabau: Overzicht van Land, Geschiedenis en Volk. Leiden: Louis H. Becherer, 1921). Foto-foto itu boleh dibilang cukup langka karena tidak banyak sebenarnya dokumen visual klasik yang memotret interior rumah gadang Minangkabau. Fotografer Delprat juga sempat memotret keluarga besar Datuak Tumangguang (akan kami tampilkan pada kesempatan lain).
Gaya pakaian tuanku laras seperti dapat dilihat pada foto Datuak Tumangguang Sutan Sulaiman di atas tampaknya mencerminkan pula posisi politiknya. Pakaiannya adalah kombinasi baju gaya Eropa dan pakaian pribumi, seolah-olah merepresentasikan posisi dilematis yang diembannya: antara membela kepentingan rakyat dan merealisasikan perintah-perintah dari atasan Belandanya. Salah satu hal yang sering situgaskan oleh Belanda kepada Tuanku Laras adalah mencari tenaga rodi untuk pembangunan jalan dan pekerjaan-pekerjaan lainnya untuk kepentingan Belanda. Sehingga waktu itu terkenal pantun: Daulu rabab nan batangkai / Kini kopi nan babungo / Daulu adat nan bapakai / Kini rodi nan paguno. Sekarang, jauh setelah era tuanku karas lenyap dari alam Minangkabau, hakikat baris isi pantun itu masih saja terasa, tapi mungkin harus diubah sedikit: ‘daulu adat nan bapakai, kini ko pitih nan nyo tanyo’. ‘UUD (Ujung-Ujungnya Duit)’kata orang sekarang.
sumber
sumber