Sejarah Tambang Emas Salida

Mungkin tambang emas Salida (selanjutnya: Tambang Salida) di Pesisir Selatan adalah tambang tertua di Sumatra, bahkan mungkin di Indonesia. Sayang sekali tak banyak sejarawan yang tertarik untuk meneliti sejarah tambang ini (dalam sumber-sumber sejarah tertulis Salida, bukan Salido), padahal studi sejarah tambang mulai trend akhir-akhir ini.



Sebelum kedatangan VOC di pantai barat Sumatra, kandungan emas di Salida sudah ditambang oleh penduduk setempat. Jauh sebelum bangsa Barat berhasil menemukan Sumatra, berita mengenai Pulau Emas sudah sampai ke Eropa melalui cerita-cerita para pelaut Arab. Penyair Portugis yang terkenal, Luiz de Camoens (1524-1580), menulis dalam Os Lusiadas (terbit 1572), sebuah puisi epik panjang yang monumental, tentang Gunung Ophir di Pasaman yang kaya emas, yang diperdagangkan oleh penduduk lokal dengan orang asing. Camoens bertualang hanya sampai di Goa, India, dan tidak pernah sampai di Sumatra.



Awal Mei 1662 VOC mendapat konsesi untuk berdagang di pantai barat Sumatra yang disahkan dengan Perjanjian Painan (lihat: W.J.A. de Leeuw, Het Painansch Contract. Amsterdam: H.J. Paris, 1926). VOC lalu membangun loji di Pulau Cingkuk untuk menumpuk komoditi perdagangan sekaligus sebagai benteng pertahanan. Mereka sering diserang musuh yang berasal dari Tarusan, Bayang dan Indrapura.



Kandungan emas Salida mulai diekploitasi VOC pada tahun 1669 semasa jabatan Commandeur Jacob Joriszoon Pit (1667-23 Mei 1678) (Pit adalah commandeur VOC ketiga untuk pos Padang). Dua ahli tambang pertama yang didatangkan oleh Heeren Zeventien (Tuan Yang Tujuh Belassebutan untuk 17 orang pejabat tinggi VOC yang amat berkuasa di Amsterdam) ke Salida bernama Nicolaas Frederich Fisher dan Johan de Graf yang berasal dari Hongaria. 



Menurut Fisher dan De Graf, eksploitasi Tambang Salida akan memberi banyak keuntungan kepada VOC. Lalu didatangkanlah buruh ke sana, yaitu budak-budak yang dibawa VOC dari Madagaskar, juga tawanan perang (krijgsgevangenen) dari daerah sekitarnya. 



Menurut J.E. de Meyier dalam De goud- en zilvermijn Salida ter Sumatras Westkust [Tambang Emas dan Perak di Salida, Sumatra Barat], De Indische Gids 32.1 (1911: 28-67) disebutkan bahwa budak-budak dari Nias juga dipekerjakan di tambang itu.



Hasil penambangan awal ini masih kurang menggembirakan. Tapi penyebabnya lebih dikarenakan oleh penggunaan uang yang boros dan kacaunya administrasi Tambang Salida. Kehidupan di tambang itu juga jelek: banyak kematian buruh karena mabuk minuman keras. Ada 49 orang Eropa yang bekerja di tambang itu dengan gaji hanya f 12 sebulan, dan 104 orang budak lelaki serta 28 budak perempuan tanpa gaji. Namun penambangan tetap dilanjutkan. 



Bulan Juli 1679 sampai di Salida seorang insinyur baru bernama Johann Wilhelm Vogel asal Jerman (ia kemudian menulis satu buku berjudul Zeven jhrige Ost-Indianische Reise-Beschreibung, Altenburg: J.L. Richter, 1707, yang menceritakan pengalamanya bekerja di Tambang Salida).



Kemudian Heeren Zeventien mengirim ahli bebatuan gunung Benjamin Olitzsch ke Salida, ditemani oleh seorang asisten bernama Elias Hesse. Malang bagi Olitzsch, ia meninggal pada 28 Mei 1682 di Salida karena sakit. Jenazahnya dimakamkan di Pulau Cingkuk. Elias Hesse kemudiaan menulis beberapa buku tentang Tambang Salida dan perjalanannya di Sumatra pada umumnya. Dalam bukunya, Gold-Bewerke in Sumatra (l931), Hesse melaporkan: antara 9 November 1680 16 Juni 1681 sebanyak 32 dari 262 buruh di Tambang Salida meninggal.



Wilhelm Vogel digantikan oleh Gabriel Muller. Di bawah pimpinan Muller Tambang Salida mengalami kemunduran. Kehidupan di tambang itu makin buruk. Faktor eksternal juga ikut menentukan: waktu itu Belanda sedang berperang dengan Perancis, sehingga berpengaruh pula ke negeri-negeri jajahannya. Akhirnya Tambang Salida terpaksa ditutup.



Tahun 1724 dicoba lagi membuka Tambang Salida oleh seorang ahli asal Jerman bernama Mettenus, dengan asistennya bernama Weinberg. Pada waktu itu ditemukan pula kandungan emas di Kerawang, Jawa Barat. Namun, usaha pembukaan kembali Tambang Salida tampaknya tidak terlalu berhasil. Karena merugi, tambang itu ditutup lagi untuk kedua kalinya.



Tahun 1732 Tambang Salida dibuka lagi, dipimpin oleh seorang ahli bernama Bollman. Eksplorasi di tambang itu ditingkatkan dengan membuat lubang galian baru bernama Cloon-tunnel sepanjang 300 meter. Antara 1732-1733 hasil tambang dilaporkan meningkat: rata-rata per ton batu tambang mengandung bijih emas senilai f 1350.



Berdasarkan studi R.J. Verbeek yang menulis beberapa buku tentang Tambang Salida (lihat Verbeek 1880, 1886), antara 1669-1735 sudah 800 ton bijih emas yang dihasilkan Tambang Salida, dengan nilai f 1 200 000 atau rata-rata f 1 500 per ton. 



Selama 150 tahun beroperasinya Tambang Salida tidak banyak yang diketahui orang mengenai tambang itu sampai kemudian Verbeek menerbitkan bukunya, Nota over de verrichtingen der Oost-Indische Compagnie bij de ontginning der goud- en zilveraders te Salida op Sumatras Westkust [Catatan tentang tindakan VOC mulai menggarap sumber emas dan perak di Salida, Sumatra Barat] (1886). Verbeek mengusulkan agar ekploitasi Tambang Salida dilanjutkan. 



Tergiur akan keuntungan yang menjanjikan, Girobank di Rotterdam, yang waktu itu dipimpin oleh Hulshof Pol, berminat mendanai ekploitasi kembali Tambang Salida. Maka dikirimlah seorang ahli pertambangan bernama Arthur Clay ke Salida. Di bawah manajemen baru, dengan K. Kriekhaus sebagai hoofadministrateur-nya yang pertama, Tambang Salida mempekerjakan 6 orang ahli Eropa, 50-60 pekerja kontrak dan 200 kuli bebas.



Di bawah pimpinan Kriekhaus Tambang Salida terus merugi. Neraca tambang itu per 12 Desember 1912 hanya menyisakan uang sebanyak f 128,33. Kriekhaus mencoba tetap bertahan sambil mencari metode dan teknologi baru untuk meningkatkan hasil Tambang Salida.



Akhir tahun 1912 Kriekhaus masih mencoba menyelamatkan Tambang Salida: ia minta bantuan manajemen tambang Aequator (direkturnya waktu itu P. Grimmel) dan manajemen Kinandam Sumatra-Mijnbouw (K.S.M.M.) (direkturnya waktu itu Gebruiders Veth). Pada bulan Juli 1914 untuk pertama kalinya dicoba menggunakan zat kimia untuk memisahkan bijih perak dan emas di Tambang Salida. 



Tambang Salida masih bertahan beberapa tahun lagi melewati masa-masa paling sulitnya. Kriekhaus masih memimpin tambang itu di masa-masa sulit tersebut, sebelum ia mundur pada 1 Mei 1918. 



Beberapa tahun kemudian Tambang Salida masih beroperasi di bawah pimpinan Ir. de Greve. Namun, karena merugi terus, Tambang Salida akhirnya ditutup pada tahun 1928.



Demikianlah sekilas perjalanan sejarah Tambang Salida. Semoga ada sejarawan kita yang tertararik untuk meneliti sejarah taambang ini dengan lebih komprehensif dan mendalam. 


Tersedia kepustakaan yang cukup banyak mengenai tambang ini (statistik, naratif dan visual). Ini tentu berguna pula untuk merekonstruksi tambang ini guna dijadikan sebagai aset pariwisata sejarah. Tinggal pemerintah (Pemprov. Sumbar atau Pemda Kapubaten Pesisir Selatan) untuk menindaklanjutinya.




Sumber:
http://niadilova.blogdetik.com/index.php/archives/328

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sejarah Tambang Emas Salida"

Post a Comment