Di Indonesia banyak ragam kain sebagai lambang budaya rakyat.
Diantaranya adalah kain songket. Ada songket Palembang, Lampung,
kalimantan, bali, bahkan di Malaysia terkenal dengan songket Trengganu.
Ciri khas dari kain songket, bila tenunan itu bersulam atau dirajut
benang emas. Di Minangkabau kain songket disebut kain ” balapak “.
Demikianlah artikel ini diambil dari tulisan Sdr. Adyan Anwar di Cimbuak.net, pada tanggal 22 mei 2008.
Semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian, dan berguna bagi kemajuan kerajinan rakyat Indonesia.
Tidak ada sejarah yang pasti tentang kapan tenun songket mulai dikembangkan di Minangkabau atau di Pandai Sikek. Akan tetapi kepandaian menenun tetuntulah sudah dibawa oleh nenek moyang kita bangsa Austronesia atau yang disebut juga Malayo-Polynesia, dari Tanah Asal, ketika terjadi migrasi besar-besaran penduduk dari daratan Asia ke arah selatan dan tumur beberapa ribu tahun yang lalu, bersamaan dengan segala kepandaian yang esensial untuk kehidupan, seperti kepandaian becocok tanam, kepandaian membuat dan menggunakan alat-alat pertanian dan pertukangan dan senjata, dan sebagainya. Sesuai dengan fitrah manusia, kepandaian dasar pertukangan tentu mengalami pengkayaan estetika sehingga menjadi apa yang sekarang dikenal dengan istilah kerajinan, dan kemudian menjadi seni.
Hal ini sejalan dengan perkembangan di bidang ekpresi lainnya seperti seni gerak, seni suara dan seni pementasan. Sebagai warisan demikian, tenun bisa dikatakan sama umurnya dengan stelsel matrilinial orang Minang, terukaan sawah di Luhak nan Tigo, dan budaya lisan Kato Pusako pepatah petitih.
Di sini juga kita menemukan kesamaan rumpun Austronesia pada kain tenun Sumatra pada umumnya dengan seluruh kain tenun Nusantara hingga ke Sumba dan Timor, juga dengan tenunan La Na di Thailand utara dan Laos. Rumpun ini akan memecah nanti di lihat dari segi kahalusan motif setelah masuknya kebudayaan India dan Cina dari utara. Akan tetapi kesamaannya beretahan di segi peralatan tenun dan teknik bertenun.
Beberapa ratus tahun yang lalu, di hulu sungai Batanghari, yang disebut Sungai Dareh, berkembang suatu pemukiman dan pusat perdagangan yang makmur. Penduduk dari daerah yang sekarang disebut Alam Surambi Sungai pagu, dan dari daerah-daerah yang lebih ke utara lagi, datang ke tempat ini untuk menjual hasil-hasil alam berupa rempah-rempah dan emas. Daerah ini dikunjungi pula oleh pedagang-pedagang yang datang dari seberang laut, dari India dan Cina. Kaum wanita di daerah ini memakai pakaian yang lebih cantik bagi ukuran masa itu, istilah sekarang: lebih fashionable.
Daerah ini kemudian terkenal dengan nama kerajaan Darmasyraya. Inilah cikla-bakal kebudayaan Melayu. Bertahun-tahun daerah ini menjadi titik pertemuan ekonomi dan budaya antara kebudayaan-kebudayan yang sudah lebih kaya dan maju di utara, Cina, Mongol dan India, dengan budaya lokal. Dalam kurun beberapa puluh tahun itu, atau mungkin sampai dua ratus tahun, setalah mengalami pergantian raja-raja dan penguasa, penduduknya menyerap banyak ilmu dan teknologi dari bangsa asing, disamping kemajuan bidang ekonomi dan politik yang memperkaya dan meningkatkan mutu kebudayaan lokal. Diantara kemajuan yang dialami adalah dalam bidang pakaian dan teknik bertenun, beserta pengkayaan corak motif dan bahan-bahan yang dapat dipergunakan.
Kalau sebelumnya, sesuai dengan perkembangan masyarakat, orang membuat pakaian dari benang yang dibuat dari bahan-bahan yang tersedia di tempat pemukiman mereka, seperti serat kulit pohon, dengan perkembangan perdagangan orang-orang India memperkenalkan bahan dari serat kapas dan linen, juga benang yang disalut dengan lempengan emas tipis. Pedagang Cina membawa benang sutra yang berasal dari kepompong ulat sutra, juga benang yang dibungkus dengan emas kertas kemudian dikenal dengan nama emas prada sehingga bisa diperkirakan bahwa pedangang India pun banyak memperdagangkan bahan tersbut.
Pada tahun 1347 Adityawarman memindahkan pusat kerajaan dan kebudayaan Melayu dari Darmasyraya ke Pagaruruyung, dan kawasan di sekitar gunung Merapi dan Gunung Singgalang yang pada waktu itu terdiri dari Luhak nan Tigo dan Rantaunya yang Tujuh Jurai, menjadi terkenal sebagai Alam Minangkabau, dengan beberapa pusat pemerintahan yang tersebar di Pariangan, Sungai Tarok, Limo Kaum, Pagaruryung, Batipuh, Sumanik, Saruaso, Buo, Biaro, Payakumbuh, dan lain-lain.
Alam Minangkabau dengan falsafah alam yang dianut masyrakatnya, alur dan patut serta alam takambang jadi guru, sangat memberi peluang bagi tumbuh dan berkembangya kebudayaan dan kesenian dengan pengkayaan dari unsur-unsur budaya asing. Susunan masyarakat yang bersuku-suku eksogami dan, yang lebih utama lagi, aturan sumando manyumando, telah mengeliminir konflik antar kelompok sehingga kedamaian dapat terwujud dalam jangka waktu yang panjang dan memberi kesempatan bagi anak nagari untuk memperlajari dan memperhalus ilmu-ilmu dan keterampilan termasuk keterampilan bertenun.
Daerah Batipuh, sebagai salah satu pusat pemerintahan, kedudukan Tuan Gadang Batipuh sebagai Harimau Campo Koto Piliang, dapat diduga menjadi salah satu daerah yang amat penting pada masa kejayaan Minangkabau dahulu, bersama daerah-daerah lain yang tersebut diatas. Sejalan dengan keadaan itu, masyarakatnya tentu mandapat kesempatan yang lebih banyak pula untuk melakukan kegiatan ekonomi dan budaya termasuk keterampilan tenun sehingga mutu dan corak kain tenun semakin tinggi dan halus. Gadis-gadis menenun kain sarung dan tingkuluk dengan benang emas untuk dipakai ketika mereka menikah, dan perempuan lainnya menenun kain untuk dijual.
Adat istiadat di Minangkabau mendorong kegiatan bertenun ini lebih jauh lagi karena pada setiap kesempatan upacara adat, kain tenun selalu wajib dipakai dan dihadirkan. Kata-kata adat dinukilkan di dalam nama-nama motif sehingga menjadi buah bibir dan diucapkan setiap saat. Kain tenun menjadi pakaian raja-raja, datuk-datuk dan puti-puti. Dimasa inilah, dimasa kejayaan Turki Usmani dan Asia Tengah, pada puncak kebesaran Dinasti Mongol di India ketika Sultan Akbar, 1556-1605 sangat memajukan seni dan ilmu pengetahuan, pada masa kejayaan Dinasti Ming dan Manchu di Cina: ketika itu pertukaran perdangangan dan budaya sedang sangat pesat dan melibatkan Minangkabau sebagai suatu kawasan yang menjadi lintasan perdagangan dan juga negri yang mempunyai komoditi dagang yang penting yaitu rempah-rempah dan emas, seni menenun kain dangan sutra dan benang emas di Sumatra, bersamaan dengan suji dan sulaman pun mencapai puncak kemajuannya dan menemukan ciri khasnya tersendiri.
Hampir semua pelosok Minangkabau, dari Luhak sampai ke rantau, mempunyai pusat-pusat kerajinan tenun, suji dan sulaman. Masing-masih mengembangkan corak dan ciri-cirinya sendiri, hal yang sangat dikuasai oleh para pedagang barang antik dan kolektor. Beberapa nagari yang terkenal sekali dengan kain tenununya dan sangat produktif pada masa itu adalah Koto Gadang, Sungayang, dan Pitalah di Batipuh, dan nagari yang melanjutkan tradisi warisan menenun hari ini adalah nagari yang termasuk Batipuh Sapuluh Koto juga yaitu Pandai Sikek.
Motif-motif kain tenun Pandai Sikek selalu diambil dari contoh kain-kain tua yang masih tersimpan dengan baik dan sering dipakai sebagai pakain pada upacara-upacara adat dan untuk fungsi lain dalam lingkup upacara adat, misalnya sebagai “tando,” dan juga dipajang atau digelar pada waktu batagak rumah.
Sulit mengatakan siapa yang dapat dikatakan sebagai master tenun hari ini; tetapi diantara ahli tenun yang terkenal pada generasi sebelum kita ada nama-nama Sari Bentan, Namun, Salamah di baruah; Nuriah, Ipah, Pasah, Nyiah dan Jalisah di Tanjung.
Ada belasan orang master tenun di Pandai Sikek pada zaman itu. Akan tetap kira-kira seratus tahun yang lalu diyakin beberapa wanita Pandai Sikek sangat aktif dibidang usaha dan kerajinan menenuni ini sehingga nama julukan mereka yang terambil dari peralatan tenun lebih dikenal sampai sekarang. Diantaranya, dikenal nama-nama inyiak Makau di Tanjuang, Inyiak Suri di Koto Tinggi, Inyiak Banang, dan Inyiak Karok.
Pandai Sikek, sebagai “center of excellece” di bidang tenun songket waktu itu, tentu wanita-wanitanya sudah mengerjakan juga berdasarkan permintaan tenunan yang khas dari daerah-daerah lain seperti dari Pitalah di Batipuah, Koto Gadang di Agam dan dari Sungayang dengan corak benang dan motif yang spesifik dengan daerah tersebut, dan dikenal sampai sekarang sebagai motif-motif Sungayang, motif Koto Gadang dan lain-lain.
Sejarah Rumah Tenun Pusako
Menurut cerita Ibu Hj Sanuar, (82 th), beliau mempunyai dua orang nenek yang dikenal sebagai Inyiak Upiak Gadang dan Inyik Upiak ketek. Kakek beliau dari garis keturunan ibu ada dua orang pula, yaitu Sutan Diateh dan Haji Abdul Rahman. Keluarga Hj. Sanuar sudah lama bermukim di Jorong Baruh Nagari Pandai Sikek, diperkirakan sudah sejak sekitar 250 tahun yang lalu karena Nenek Rubiah Kayo adalah nenek kesembilan dari Ibu Sanuar dan beliau sudah punya tigabelas cucu.
Inyiak Upiak Gadang ini adalah seorang penenun kain songket yang ahli. Ketika masih kanak-kanak, Ibu Sanuar sering mendengar ibu dan ayahnya bercerita tentang kain-kain tenunan nenek Upiak Gadang ini. Pada waktu itu zaman penjajahan Belanda, tetapi kedaan tidak bergolak, relatif damai. Belanda menyokong ekonomi dan pendidikan serta berupaya memajukan kebudayaan rakyat Minangkabau.
Pernah Belanda menyelenggarakan suatu Pekan Budaya di Padang Panjang, yang pesertanya termasuk para ahli ukir dan tenun dari Pandai Sikek dan tentu saja juga perajin tenun dari Batipuah, Pitalah, Padang Magek, Sungayang dan tempat-tampat lain di sekitar Padang Panjang. Kain tenunan inyiak Upiak terpilih sebagai salah satu yang terbaik dan dibeli oleh orang Belanda seharga enam rupiah mas.
Tapi apa komentar ayahanda dari Ibu Sanuar waktu itu, “Bodoh bana kito, kain tenun alah tajua sedang kita punya anak gadis yang bisa memakai kain itu!”
Ibunda dari Ibu Sanuar bernama Siti Rasanun, dan ayahnya Ulumuddin Dt. Mangkudum, seorang ulama, pengulu dan ahli adat. Beliau menuntut ilmu agama di Cangkiang dan kemudian mengajar dikampungya di Pandai Sikek, mendirikan Madrasah Hidayatul-Islamiyah yang masih berdiri sampai sekarang.
Ayahanda dari Inyiak Upiak ini seorang yang kaya yang berhasil. Beliau beristri beberapa orang, ada di Koto Tinggi, di Pagu-Pagu dan tentu saja di Baruh ini.
Pada suatu hari dia bertanya kepada Upiak Gadang, “Anak den di Pagu-Pagu lah den balikan sawah, anak-anak den lain alah pulo. Akau apo nan ka den balikan?“
Jawab Nyik Upiak, “Suri jo panta sajolah ayah balikan!” sebab Inyiak Upik Gadang ini memang gemar bertenun.
Lalu dibelikanlah oleh kakek itu seperangakat alah tenun berupa suri dan panta untuk anaknya Upik Gadang, suatu pembelian yang setara dengan sawah dan ladang, yang menjadi pusako tinggi turun temurun sampai ke anak cucunya, yaitu keahlian bertenun kain songket. Itulah cikal bakal rumah Tenun Pusako yang dikembangkan kembali oleh Ibu Hj. Sanuar kira-kira pada tahun 1975.
Ibu Sanuar lahir pada tahun 1926. Pada usia remajanya Ibu sudah gemar dan menekuni pekerjaan jahit-menjahit, seperti menyulam, menyuji dan menerawang. Ibu menikah dengan Anwar Djalil St. Sinaro, seorang guru yang mengajar di Sumatra Thawalib Padang Panjang, dan dikaruniai anak empat orang yaitu Amnah, Adyan, Syahdiar dan Rozamon.
Ayah meninggal pada tahun 1974. Kemudian Ibu Sanuar menikah dengan a. Ramli Dt. Rangkayo Sati, seorang pelukis, mantan Wali Nagari, dan saat itu sedang berusaha keras membangkitkan kembali gairah dan minat anak nagari untuk aktif di bidang kerajinan yang mempunyai sekaligus nilai budaya dan ekonomi. Dengan dukungan pemerintah provinsi Sumatra Barat, beliau mendirikan Proyek Ukiran Kayu dan Bambu di Pandai Sikek, suatu pilot proyek yang diharapkan dapat meningkatkan ekonomi rakyat yang terpuruk semenjak zaman Jepang, agresi Belanda dan PRRI.
Pada mulanya, Bapak Dt. Rangkayo Sati mengajak beberapa orang pemuda ke studio tempat dia melukis di rumah isrinya yang pertama, Ibu Djami’ah. Anak-anak muda ini diajar mengukir kayu dengan mengmbil contoh motif-motif dari rumah gadang di Pandai Sikek. Mereka mengukir lemari, peti atau kotak, dan panel dinding. Hasilnya dijual dan dibawa ke pameran-pameran di Padang Panjang dan Padang sehingga menarik perhatian pemerintah. Akhirnya pemerintah mengangkat usaha kerajinan ukiran ini sebagai basis untuk menghidupkan industri kerajinan rumah tangga.
Proyek Ukiran Kayu dan Bambu Pandai Sikek berkembang pesat. Anak nagari Pandai Sikek yang tertarik belajar mengukir makin banyak. Peminat ukiran juga meningkat. Pada tahun-tahun 1975-1980 itu banyak kunjungan pejabat pemerintah dari privinsi dan pusat, serta kunjungan duta-duta besar negara asing di Jakarta. Seiring dengan industri kerajinan, Pemerintah juga sedang menggalakkan pariwisata sebagai salah satu sumber devisa non-migas. Karenanya nagari Pandai Sikek dengan ukiran kayunya menjadi salah satu tujuan wisata yang sangat diunggulkan.
Pada waktu itu tenun songket belum dibangkitkan, dan belum menjadi suatu komoditi yang dapat dijual kepada wisatawan lokal atau mancanegara.
Kerajinan tenun pada tahun-tahun 70-an masih dikerjakan sendiri-sendiri oleh beberapa orang untuk dipakai sendiri. Bahan baku sulit didapat karena kegiatan perdagangan belum lancar, masih ada suasana trauma sesudah perang dan pergolakan yang berkepanjangan. Ada satu atau dua orang yang mengumpulkan kain-kain tenun ini dan menjualnya ke pasar Padang Panjang atau Bukittinggi. Diantaranya ialah Ibu Haji Djalisah di Tanjung. Ibu Sanuar banyak belajar dari beliau tentang bagaimana berdagang kain songket.
Setelah menikah dengan Ibu Sanuar, Bpk. datuak Rangkayo Sati mengajak istrinya menggelar beberapa helai kain songket di lokasi Proyek Ukiran, untuk diperlihatkan pada tamu-tamu yang berkunjung. Ibu juga bertenun langsung di tempat itu, mendemonstrasikan cara menenun songket Pandai Sikek. Alatnya agak berbeda dari alat tenun di daerah lain karena mempunyai bangku kerja yang disebut ‘panta.’ Banyak tamu yang tertarik akan keindahan tenunan songket itu dan terkagum-kagum melihat proses pembuatannya yang begitu rumit.
Beberapa waktu bejalan demikian, dan ada beberapa songket yang terjual. Akhirnya diputuskan bahwa pemasaran songket di rumah Ibu saja, karena Ibu sudah mulai pula mengumpulkan beberapa anak gadis yang dilatih untuk bertenun. Para tamu yang datang melihat-lihat ukiran di Proyek Ukiran, oleh Bapak dibawa ke rumah kita ini untuk melihat tenun songket serta proses pembuatannya.
Setelah beberapa lama, dirasa perlu untuk membikin papan nama atau merek di pinggir jalan. Baru terpikir apa nama yang baik untuk dipakai? Oleh Ibu Sanuar dipilihlah nama “Pusako” karena keterampilan menenun kain songket adalah pusaka dari nenek beliau sendiri, Inyiak Upik Gadang.
Demikianlah artikel ini diambil dari tulisan Sdr. Adyan Anwar di Cimbuak.net, pada tanggal 22 mei 2008.
Semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian, dan berguna bagi kemajuan kerajinan rakyat Indonesia.
Tidak ada sejarah yang pasti tentang kapan tenun songket mulai dikembangkan di Minangkabau atau di Pandai Sikek. Akan tetapi kepandaian menenun tetuntulah sudah dibawa oleh nenek moyang kita bangsa Austronesia atau yang disebut juga Malayo-Polynesia, dari Tanah Asal, ketika terjadi migrasi besar-besaran penduduk dari daratan Asia ke arah selatan dan tumur beberapa ribu tahun yang lalu, bersamaan dengan segala kepandaian yang esensial untuk kehidupan, seperti kepandaian becocok tanam, kepandaian membuat dan menggunakan alat-alat pertanian dan pertukangan dan senjata, dan sebagainya. Sesuai dengan fitrah manusia, kepandaian dasar pertukangan tentu mengalami pengkayaan estetika sehingga menjadi apa yang sekarang dikenal dengan istilah kerajinan, dan kemudian menjadi seni.
Hal ini sejalan dengan perkembangan di bidang ekpresi lainnya seperti seni gerak, seni suara dan seni pementasan. Sebagai warisan demikian, tenun bisa dikatakan sama umurnya dengan stelsel matrilinial orang Minang, terukaan sawah di Luhak nan Tigo, dan budaya lisan Kato Pusako pepatah petitih.
Di sini juga kita menemukan kesamaan rumpun Austronesia pada kain tenun Sumatra pada umumnya dengan seluruh kain tenun Nusantara hingga ke Sumba dan Timor, juga dengan tenunan La Na di Thailand utara dan Laos. Rumpun ini akan memecah nanti di lihat dari segi kahalusan motif setelah masuknya kebudayaan India dan Cina dari utara. Akan tetapi kesamaannya beretahan di segi peralatan tenun dan teknik bertenun.
Beberapa ratus tahun yang lalu, di hulu sungai Batanghari, yang disebut Sungai Dareh, berkembang suatu pemukiman dan pusat perdagangan yang makmur. Penduduk dari daerah yang sekarang disebut Alam Surambi Sungai pagu, dan dari daerah-daerah yang lebih ke utara lagi, datang ke tempat ini untuk menjual hasil-hasil alam berupa rempah-rempah dan emas. Daerah ini dikunjungi pula oleh pedagang-pedagang yang datang dari seberang laut, dari India dan Cina. Kaum wanita di daerah ini memakai pakaian yang lebih cantik bagi ukuran masa itu, istilah sekarang: lebih fashionable.
Daerah ini kemudian terkenal dengan nama kerajaan Darmasyraya. Inilah cikla-bakal kebudayaan Melayu. Bertahun-tahun daerah ini menjadi titik pertemuan ekonomi dan budaya antara kebudayaan-kebudayan yang sudah lebih kaya dan maju di utara, Cina, Mongol dan India, dengan budaya lokal. Dalam kurun beberapa puluh tahun itu, atau mungkin sampai dua ratus tahun, setalah mengalami pergantian raja-raja dan penguasa, penduduknya menyerap banyak ilmu dan teknologi dari bangsa asing, disamping kemajuan bidang ekonomi dan politik yang memperkaya dan meningkatkan mutu kebudayaan lokal. Diantara kemajuan yang dialami adalah dalam bidang pakaian dan teknik bertenun, beserta pengkayaan corak motif dan bahan-bahan yang dapat dipergunakan.
Kalau sebelumnya, sesuai dengan perkembangan masyarakat, orang membuat pakaian dari benang yang dibuat dari bahan-bahan yang tersedia di tempat pemukiman mereka, seperti serat kulit pohon, dengan perkembangan perdagangan orang-orang India memperkenalkan bahan dari serat kapas dan linen, juga benang yang disalut dengan lempengan emas tipis. Pedagang Cina membawa benang sutra yang berasal dari kepompong ulat sutra, juga benang yang dibungkus dengan emas kertas kemudian dikenal dengan nama emas prada sehingga bisa diperkirakan bahwa pedangang India pun banyak memperdagangkan bahan tersbut.
Pada tahun 1347 Adityawarman memindahkan pusat kerajaan dan kebudayaan Melayu dari Darmasyraya ke Pagaruruyung, dan kawasan di sekitar gunung Merapi dan Gunung Singgalang yang pada waktu itu terdiri dari Luhak nan Tigo dan Rantaunya yang Tujuh Jurai, menjadi terkenal sebagai Alam Minangkabau, dengan beberapa pusat pemerintahan yang tersebar di Pariangan, Sungai Tarok, Limo Kaum, Pagaruryung, Batipuh, Sumanik, Saruaso, Buo, Biaro, Payakumbuh, dan lain-lain.
Alam Minangkabau dengan falsafah alam yang dianut masyrakatnya, alur dan patut serta alam takambang jadi guru, sangat memberi peluang bagi tumbuh dan berkembangya kebudayaan dan kesenian dengan pengkayaan dari unsur-unsur budaya asing. Susunan masyarakat yang bersuku-suku eksogami dan, yang lebih utama lagi, aturan sumando manyumando, telah mengeliminir konflik antar kelompok sehingga kedamaian dapat terwujud dalam jangka waktu yang panjang dan memberi kesempatan bagi anak nagari untuk memperlajari dan memperhalus ilmu-ilmu dan keterampilan termasuk keterampilan bertenun.
Daerah Batipuh, sebagai salah satu pusat pemerintahan, kedudukan Tuan Gadang Batipuh sebagai Harimau Campo Koto Piliang, dapat diduga menjadi salah satu daerah yang amat penting pada masa kejayaan Minangkabau dahulu, bersama daerah-daerah lain yang tersebut diatas. Sejalan dengan keadaan itu, masyarakatnya tentu mandapat kesempatan yang lebih banyak pula untuk melakukan kegiatan ekonomi dan budaya termasuk keterampilan tenun sehingga mutu dan corak kain tenun semakin tinggi dan halus. Gadis-gadis menenun kain sarung dan tingkuluk dengan benang emas untuk dipakai ketika mereka menikah, dan perempuan lainnya menenun kain untuk dijual.
Adat istiadat di Minangkabau mendorong kegiatan bertenun ini lebih jauh lagi karena pada setiap kesempatan upacara adat, kain tenun selalu wajib dipakai dan dihadirkan. Kata-kata adat dinukilkan di dalam nama-nama motif sehingga menjadi buah bibir dan diucapkan setiap saat. Kain tenun menjadi pakaian raja-raja, datuk-datuk dan puti-puti. Dimasa inilah, dimasa kejayaan Turki Usmani dan Asia Tengah, pada puncak kebesaran Dinasti Mongol di India ketika Sultan Akbar, 1556-1605 sangat memajukan seni dan ilmu pengetahuan, pada masa kejayaan Dinasti Ming dan Manchu di Cina: ketika itu pertukaran perdangangan dan budaya sedang sangat pesat dan melibatkan Minangkabau sebagai suatu kawasan yang menjadi lintasan perdagangan dan juga negri yang mempunyai komoditi dagang yang penting yaitu rempah-rempah dan emas, seni menenun kain dangan sutra dan benang emas di Sumatra, bersamaan dengan suji dan sulaman pun mencapai puncak kemajuannya dan menemukan ciri khasnya tersendiri.
Hampir semua pelosok Minangkabau, dari Luhak sampai ke rantau, mempunyai pusat-pusat kerajinan tenun, suji dan sulaman. Masing-masih mengembangkan corak dan ciri-cirinya sendiri, hal yang sangat dikuasai oleh para pedagang barang antik dan kolektor. Beberapa nagari yang terkenal sekali dengan kain tenununya dan sangat produktif pada masa itu adalah Koto Gadang, Sungayang, dan Pitalah di Batipuh, dan nagari yang melanjutkan tradisi warisan menenun hari ini adalah nagari yang termasuk Batipuh Sapuluh Koto juga yaitu Pandai Sikek.
Motif-motif kain tenun Pandai Sikek selalu diambil dari contoh kain-kain tua yang masih tersimpan dengan baik dan sering dipakai sebagai pakain pada upacara-upacara adat dan untuk fungsi lain dalam lingkup upacara adat, misalnya sebagai “tando,” dan juga dipajang atau digelar pada waktu batagak rumah.
Sulit mengatakan siapa yang dapat dikatakan sebagai master tenun hari ini; tetapi diantara ahli tenun yang terkenal pada generasi sebelum kita ada nama-nama Sari Bentan, Namun, Salamah di baruah; Nuriah, Ipah, Pasah, Nyiah dan Jalisah di Tanjung.
Ada belasan orang master tenun di Pandai Sikek pada zaman itu. Akan tetap kira-kira seratus tahun yang lalu diyakin beberapa wanita Pandai Sikek sangat aktif dibidang usaha dan kerajinan menenuni ini sehingga nama julukan mereka yang terambil dari peralatan tenun lebih dikenal sampai sekarang. Diantaranya, dikenal nama-nama inyiak Makau di Tanjuang, Inyiak Suri di Koto Tinggi, Inyiak Banang, dan Inyiak Karok.
Pandai Sikek, sebagai “center of excellece” di bidang tenun songket waktu itu, tentu wanita-wanitanya sudah mengerjakan juga berdasarkan permintaan tenunan yang khas dari daerah-daerah lain seperti dari Pitalah di Batipuah, Koto Gadang di Agam dan dari Sungayang dengan corak benang dan motif yang spesifik dengan daerah tersebut, dan dikenal sampai sekarang sebagai motif-motif Sungayang, motif Koto Gadang dan lain-lain.
Sejarah Rumah Tenun Pusako
Menurut cerita Ibu Hj Sanuar, (82 th), beliau mempunyai dua orang nenek yang dikenal sebagai Inyiak Upiak Gadang dan Inyik Upiak ketek. Kakek beliau dari garis keturunan ibu ada dua orang pula, yaitu Sutan Diateh dan Haji Abdul Rahman. Keluarga Hj. Sanuar sudah lama bermukim di Jorong Baruh Nagari Pandai Sikek, diperkirakan sudah sejak sekitar 250 tahun yang lalu karena Nenek Rubiah Kayo adalah nenek kesembilan dari Ibu Sanuar dan beliau sudah punya tigabelas cucu.
Inyiak Upiak Gadang ini adalah seorang penenun kain songket yang ahli. Ketika masih kanak-kanak, Ibu Sanuar sering mendengar ibu dan ayahnya bercerita tentang kain-kain tenunan nenek Upiak Gadang ini. Pada waktu itu zaman penjajahan Belanda, tetapi kedaan tidak bergolak, relatif damai. Belanda menyokong ekonomi dan pendidikan serta berupaya memajukan kebudayaan rakyat Minangkabau.
Pernah Belanda menyelenggarakan suatu Pekan Budaya di Padang Panjang, yang pesertanya termasuk para ahli ukir dan tenun dari Pandai Sikek dan tentu saja juga perajin tenun dari Batipuah, Pitalah, Padang Magek, Sungayang dan tempat-tampat lain di sekitar Padang Panjang. Kain tenunan inyiak Upiak terpilih sebagai salah satu yang terbaik dan dibeli oleh orang Belanda seharga enam rupiah mas.
Tapi apa komentar ayahanda dari Ibu Sanuar waktu itu, “Bodoh bana kito, kain tenun alah tajua sedang kita punya anak gadis yang bisa memakai kain itu!”
Ibunda dari Ibu Sanuar bernama Siti Rasanun, dan ayahnya Ulumuddin Dt. Mangkudum, seorang ulama, pengulu dan ahli adat. Beliau menuntut ilmu agama di Cangkiang dan kemudian mengajar dikampungya di Pandai Sikek, mendirikan Madrasah Hidayatul-Islamiyah yang masih berdiri sampai sekarang.
Ayahanda dari Inyiak Upiak ini seorang yang kaya yang berhasil. Beliau beristri beberapa orang, ada di Koto Tinggi, di Pagu-Pagu dan tentu saja di Baruh ini.
Pada suatu hari dia bertanya kepada Upiak Gadang, “Anak den di Pagu-Pagu lah den balikan sawah, anak-anak den lain alah pulo. Akau apo nan ka den balikan?“
Jawab Nyik Upiak, “Suri jo panta sajolah ayah balikan!” sebab Inyiak Upik Gadang ini memang gemar bertenun.
Lalu dibelikanlah oleh kakek itu seperangakat alah tenun berupa suri dan panta untuk anaknya Upik Gadang, suatu pembelian yang setara dengan sawah dan ladang, yang menjadi pusako tinggi turun temurun sampai ke anak cucunya, yaitu keahlian bertenun kain songket. Itulah cikal bakal rumah Tenun Pusako yang dikembangkan kembali oleh Ibu Hj. Sanuar kira-kira pada tahun 1975.
Ibu Sanuar lahir pada tahun 1926. Pada usia remajanya Ibu sudah gemar dan menekuni pekerjaan jahit-menjahit, seperti menyulam, menyuji dan menerawang. Ibu menikah dengan Anwar Djalil St. Sinaro, seorang guru yang mengajar di Sumatra Thawalib Padang Panjang, dan dikaruniai anak empat orang yaitu Amnah, Adyan, Syahdiar dan Rozamon.
Ayah meninggal pada tahun 1974. Kemudian Ibu Sanuar menikah dengan a. Ramli Dt. Rangkayo Sati, seorang pelukis, mantan Wali Nagari, dan saat itu sedang berusaha keras membangkitkan kembali gairah dan minat anak nagari untuk aktif di bidang kerajinan yang mempunyai sekaligus nilai budaya dan ekonomi. Dengan dukungan pemerintah provinsi Sumatra Barat, beliau mendirikan Proyek Ukiran Kayu dan Bambu di Pandai Sikek, suatu pilot proyek yang diharapkan dapat meningkatkan ekonomi rakyat yang terpuruk semenjak zaman Jepang, agresi Belanda dan PRRI.
Pada mulanya, Bapak Dt. Rangkayo Sati mengajak beberapa orang pemuda ke studio tempat dia melukis di rumah isrinya yang pertama, Ibu Djami’ah. Anak-anak muda ini diajar mengukir kayu dengan mengmbil contoh motif-motif dari rumah gadang di Pandai Sikek. Mereka mengukir lemari, peti atau kotak, dan panel dinding. Hasilnya dijual dan dibawa ke pameran-pameran di Padang Panjang dan Padang sehingga menarik perhatian pemerintah. Akhirnya pemerintah mengangkat usaha kerajinan ukiran ini sebagai basis untuk menghidupkan industri kerajinan rumah tangga.
Proyek Ukiran Kayu dan Bambu Pandai Sikek berkembang pesat. Anak nagari Pandai Sikek yang tertarik belajar mengukir makin banyak. Peminat ukiran juga meningkat. Pada tahun-tahun 1975-1980 itu banyak kunjungan pejabat pemerintah dari privinsi dan pusat, serta kunjungan duta-duta besar negara asing di Jakarta. Seiring dengan industri kerajinan, Pemerintah juga sedang menggalakkan pariwisata sebagai salah satu sumber devisa non-migas. Karenanya nagari Pandai Sikek dengan ukiran kayunya menjadi salah satu tujuan wisata yang sangat diunggulkan.
Pada waktu itu tenun songket belum dibangkitkan, dan belum menjadi suatu komoditi yang dapat dijual kepada wisatawan lokal atau mancanegara.
Kerajinan tenun pada tahun-tahun 70-an masih dikerjakan sendiri-sendiri oleh beberapa orang untuk dipakai sendiri. Bahan baku sulit didapat karena kegiatan perdagangan belum lancar, masih ada suasana trauma sesudah perang dan pergolakan yang berkepanjangan. Ada satu atau dua orang yang mengumpulkan kain-kain tenun ini dan menjualnya ke pasar Padang Panjang atau Bukittinggi. Diantaranya ialah Ibu Haji Djalisah di Tanjung. Ibu Sanuar banyak belajar dari beliau tentang bagaimana berdagang kain songket.
Setelah menikah dengan Ibu Sanuar, Bpk. datuak Rangkayo Sati mengajak istrinya menggelar beberapa helai kain songket di lokasi Proyek Ukiran, untuk diperlihatkan pada tamu-tamu yang berkunjung. Ibu juga bertenun langsung di tempat itu, mendemonstrasikan cara menenun songket Pandai Sikek. Alatnya agak berbeda dari alat tenun di daerah lain karena mempunyai bangku kerja yang disebut ‘panta.’ Banyak tamu yang tertarik akan keindahan tenunan songket itu dan terkagum-kagum melihat proses pembuatannya yang begitu rumit.
Beberapa waktu bejalan demikian, dan ada beberapa songket yang terjual. Akhirnya diputuskan bahwa pemasaran songket di rumah Ibu saja, karena Ibu sudah mulai pula mengumpulkan beberapa anak gadis yang dilatih untuk bertenun. Para tamu yang datang melihat-lihat ukiran di Proyek Ukiran, oleh Bapak dibawa ke rumah kita ini untuk melihat tenun songket serta proses pembuatannya.
Setelah beberapa lama, dirasa perlu untuk membikin papan nama atau merek di pinggir jalan. Baru terpikir apa nama yang baik untuk dipakai? Oleh Ibu Sanuar dipilihlah nama “Pusako” karena keterampilan menenun kain songket adalah pusaka dari nenek beliau sendiri, Inyiak Upik Gadang.
Sumber:
0 Response to "Sejarah Tenun Pandai Sikek"
Post a Comment