Nagari Supayang, yang sekarang
masuk wilayah administrasi Kecamatan Salimpauang, Kabupaten Tanah Datar,
dulu pernah dilalui oleh rombongan peneliti dari Belanda di tahun
1877-1879. Rombongan ilmuwan itu tergabung dalam Centraal Sumatra Expeditie (Ekspedisi Pedalaman Sumatra) yang digagas oleh Prof. P.J. Veth dari Universitas Leiden (lihat: Paul van der Velde, A lifelong passion: P.J. Veth (1814-1895) and the Dutch East Indies,
transl. Beverley Jackson. Leiden: KITLV Press, 2006). Itulah penelitian
gabungan terbesar yang dilakukan ilmuwan Belanda pada abad ke-19 di
Nusantara, yang kemudian menginspirasi proyek-proyek penelitian serupa
pada masa sesudahnya yang dilakukan di wilayah-wilayah lain di Hindia
Belanda.
Centraal Sumatra Expeditie
melibatkan peneliti dari beberapa bidang ilmu seperti antropologi
ragawi, geografi, etnologi, botani, geologi, bahasa dan tradisi lisan.
Eksepdisi itu dikomandani di lapangan oleh A.L. van Hasselt dan J.F.
Snelleman, dan beberapa peneliti lainnya. Ekspedisi itu masuk dari
daerah Palembang dan mengarah ke utara ke pedalaman Minangkabau,
menembus rimba raya Bukit Barisan yang pada waktu itu masih ‘gelap’ bagi
orang Eropa. Penelitian itu menghasilkan beberapa jilid buku tebal yang
kaya dengan foto-foto dan sketsa-sketsa, yang masih bisa kita baca
sampai sekarang. Salah satu di antaranya adalah De talen en letterkunde van Midden-Sumatra (Bahasa-bahasa dan sastra dari pedalaman Sumatra) oleh A.L. van Hasselt (Leiden: E.J. Brill, 1881).
Centraal Sumatra Expeditie
juga melibatkan orang-orang pribumi yang diminta menjadi penunjuk
jalan, penghubung para ilmuwan putih berhidung mancung itu dengan
penduduk pribumi, dan pembawa beban (ransum dan alat-alat penelitian).
Beberapa orang di antaranya adalah penduduk nagari Supayang, termasuk
Khatib Nagari, seorang pemuka adat nagari Supayang pada masa itu.
Foto ini (16,3 x 22,3 cm.)
mengabadikan rumah gadang keluarga matrilineal Khatib Nagari. Foto ini
dibuat pada periode ekspedisi itu (1877-1879; kapan persisnya rombongan
peneliti itu singgah di Supayang dapat dicek dalam dagboek
ekspedisi ini yang tersimpan di Leiden). Juru fotonya adalah D.D.
‘Daniel’ Veth, salah seorang anggota ekspedisi itu, yang tampaknya masih
punya hubungan keluarga dengan P.J. Veth, sang penggagas ekspedisi itu
yang tetap tinggal di Leiden. D.D. Veth adalah seorang ahli geografi dan
pembuat peta yang mahir.
“Het adathuis van Katieb Negri te Soepajang, Padangse Bovenlanden, Sumatra’s Westkust”,
demikian judul foto ini. Rumah gadang Khatib Nagari ini kelihatan cukup
megah, dengan anjung kecil di atapnya bagian tengah, tanda rumah orang
berbangsa pada waktu itu. Atapnya masih terbuat dari ijuk. Serambi untuk
naik di depan juga kelihatan unik.
Apa arti kata ‘Supayang’? Kurang abas
oleh saya. Yang jelas kelak di kemudian hari nagari ini menghasilkan
beberapa orang cerdik cendikia dan ternama pula, seperti Idrus Hakimi
Dt. Rajo Panghulu yang pernah menjadi dosen saya dan Ketua Pembina Adat
dan Syarak di LKAAM tahun 1980-an dan Khairul Jasmi yang sekarang
menjadi ‘nakhoda’ surat kabar Singgalang, media cetak terkemuka
di Sumatra Barat. Nagari Supayang pernah pula didarati oleh helikopter
yang ditumpangi oleh Gubernur Sumatra Barat, Azwar Anas, dan Idrus
Hakimi, yang mengunjungi korban galodo yang melanda Supayang dan Pasie Laweh pada bulan April 1979. Itu saya baca dalam novel Lonceng Cinta di Sekolah Guru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012:268).
Mungkin sekarang masih ada keturunan Khatib
Nagari di Supayang. Mudah-mudahan foto lama ini dapat menyambung
kenangan mereka, dan warga Supayang pada umumnya, kepada datuk moyang
mereka dulu.
sumber:
Suryadi Leiden, Belanda (Sumber foto: Tropenmuseum, Amsterdam) | Singgalang, Minggu, 3 Februari 2013
0 Response to "Minang Saisuak #115 - Rumah Gadang Khatib Nagari di Supayang (akhir abad 18) "
Post a Comment