Kali ini rubrik ‘Minang Saisuak’
menurunkan lagi satu kodak lama tentang Bukittinggi. Kodak ini pertama
kali saya lihat di laman fb Azmil Anis (52 thn) asal Koto
Padang-Pandai Sikek yang kini bermukim di Selangor-Malaysia (30 Desember
2012). Foto ini mengabadikan salah satu sisi kota Bukitttingi sekitar
50 tahun yang lalu dengan Jam Gadang menjulang di latar belakang.
Kelihatan kendaraan bendi masih lebih banyak daripada kendaraan oto di
jalan-jalan kota [u]rang Agam itu.
Foto ini kemungkinan besar dibuat setelah
berakhirnya peristiwa PRRI di Sumatera Barat (sekitar 1961). Joel A.
Sahim (68 thn) yang mengomentari thread Azmil itu mengatakan
bahwa monumen yang berada di bagian kanan foto ini dibangun untuk
memperingati kemenangan Tentara Pusat terhadap PRRI. Pengunjung lainnya,
Bachtiar Iskandar (67 thn), mengatakan bahwa monument itu, yang bernama
‘Tugu Pahlawan Tak dikenal’, dibangun kurang lebih bersamaan dengan
pembangunan bioskop Sovia, salah satu panggung sinema yang terkenal di
Bukittinggi tahun 1970-an dan 80-an. Menurut Bachtiar biaya pembangunan
tugu dan biskop itu masing 600 ribu dan 800 ribu rupiah. Foto
ini mengembalikan kenangan Joel A. Sahim ketika bersekolah di SMP IV di
bilangan Panorama. Seperti kebanyakan orang Minangkabau pada masa itu,
beberapa anggota keluarga Joel ikut dalam gerakan PRRI.
Dalam foto ini terlihat sebuah jalan dua jalur yang lebar di Bukittinggi. Bangunan-bangunan tentu belum sebanyak sekarang. Patung
yang dibuat tentara Pusat itu masih ada sampai sekarang, meski
puncaknya sudah pernah direstorasi. Cukup mengherankan, monumen lambang
penaklukan tentara Pusat terhadap orang Minang (PRRI) itu tetap berdiri
tegak sampai kini, berbeda dengan monumen-monumen peninggalan Belanda di
Sumatera Barat yang umumnya diratatanahkan selepas Belanda hengkang
dari Ranah Minang/Indonesia. Ini jelas dimungkinkan oleh militer
Indonesian yang memegang peran makin kuat di Sumatera Barat setelah PRRI
berakhir. Dan tentu saja selama Zaman Orde Baru, tidak ada yang berani
mencongkel-congkel monumen ini, tempat dilekatkannya lambang supremasi
(tentara) pusat di Minangkabau.
Bukittinggi yang terkesan lengang dalam foto
ini mungkin juga merekam keadaan yang sebenarnya. Peristiwa PRRI, yang
dianggap oleh Jakarta sebagai ‘aksi makar’, telah menyibakkan orang
Minangkabau ber-dunsanak dan ber-ipa bisan. Banyak kampung jadi lengang bagai disemba garudo,
karena penduduknya lari ke luar Sumatera Barat, termasuk ke Jawa, untuk
menghindari perang itu. (’Jika takut di ujung bedil, larilah ke
pangkalnya’). Selama perang (1958-1961) banyak orang lari dari
kampungnya, pergi ijok ke hutan-hutan.
Foto ini menunjukkan juga bahwa teknologi kodak
kolor sudah masuk pula ke Sumatera Barat pada tahun 1960-an. Teknologi
foto berwarna sudah ditemukan sejak tahun 1861 oleh Prof. James C.
Maxwell dari Cambridge University, Inggris. Di zaman saisuak berbagai temuan (inventions)
teknologi di Barat, seperti gramofon, film, foto, dll., cepat sampai ke
Hindia Belanda. Terlihat dalam foto ini Jam Gadang yang bernawarna kuniang sipadeh pada waktu itu. Kini warnanya sudah jadi putih, kontras dengan negeri tempat ia berdiri yang makin menghitam oleh korupsi.
Suryadi Leiden, Belanda. (Sumber foto: http://www.facebook.com/ MinangkabauPages?v=feed&story_fbid=152389686909) | Singgalang, Minggu, 27 Januari 2013
Sumbar memang mempunyai banyak pemandangan alam yang indah, termasuk Bukittinggi. rupanya artikel ini mengulas cerita lama, mungkin sekarang sudah jauh beda. Sukses selalu untuk blog ini yang menulis info tentang kekayaan pada daerah Anda.
ReplyDelete