Belum lama berselang sebuah
lokomotif uap yang pernah dipakai di darek pada awal abad ke-20
dikembalikan dari Jawa ke Sawahlunto. Di zaman saisuak orang
Minang menyebutnya “Mak Itam”, lantaran lokomotif uap umumnya dicat
dengan warna hitam. Kini “Mak Itam” yang sudah dikembalikan ke
Sawahlunto itu telah diaktifkan menyemarakkan pariwisata Kota Tambang
itu.
Lokomotif uap, sebagaimana halnya
kapal uap, adalah salah satu penemuan teknologi yang makin menciginkan
gerak revolusi industri di Barat pada abad ke-19, sehingga makin
menggema ke seluruh dunia. Lokomotif uap ditemukan oleh George
Stephenson di Inggris pada tahun 1813. Dia membuatnya dengan teknologi
sederhana, sebagian malah dikerjakan dengan tangan. Lokomotif pertama
bikinan Stephenson itu, yang diberi nama ‘Blucher’, dites di jalur rel
Cillingwood tgl. 25 Juli 1814.
Penemuan lokomotif uap oleh
Stephenson terkait erat dengan penambangan batubara. Stephenson lahir di
daerah tambang batubara di Wylam, dekat Newcastle, Inggris, pada 9 Juni
1781 (dia meninggal thn. 1848). Ayahnya, Robert Stephenson, adalah
buruh tambang batubara yang miskin yang menghidupi keluarganya dengan
upah menarik gerobak berisi batubara sebesar 12 shilling per
minggu. George mendapat inspirasi untuk menciptakan lokomotif uap
setelah melihat konstruksi lokomotif sederhana bikinan William Hedley
dan Timothy Hackworth yang digunakan untuk mengangkut batubara di
tambang Wylam. George membuat jalur kereta api pertama dari Stockton ke
Darlington pada 1825 dan dari Liverpool ke Manchester pada 1830.
Tahun 1869 teknologi kereta api sudah sampai di Jawa, dan pada 1890-an “Mak Itam” sudah mencuit-cuit
mengepulkan asap hitam di Ombilin dan Sawahlunto. Sekarang kita
mengerti mengapa lokomotif di zaman dulu dicat dengan warna hitam.
Itulah warna yang asosiatif dengan warna batubara, produk pertambangan
yang erat terkait dengan kelahiran lokomotif uap.
Foto “Mak Itam” yang kami sajikan dalam rubrik ‘Minang Saisuak’
kali ini dibuat sekitar 1922 atau lebih awal. Lokasinya mungkin di
Sawahlunto. Foto ukuran 24 x 29,8 cm. ini seperti membawa kita
menapaktilasi masa-masa jaya perkeretaapian Sumatera Barat sampai tahun
1970-an. Kini hanya tinggal sisa-sisa kejayaan itu, sementara jalur
relnya menuju beberapa kota di darek sudah tertimbun kenangan dan perumahan penduduk.
Suryadi - Leiden, Belanda. (Sumber foto: Tropenmuseum, Amsterdam) | Singgalang, Minggu, 5 Mei 2013
sumber:http://niadilova.blogdetik.com
0 Response to "Minang Saisuak #126 - Mak Itam Minangkabau (ca. 1922)"
Post a Comment