Minang Saisuak #126 - Mak Itam Minangkabau (ca. 1922)

Belum lama berselang sebuah lokomotif uap yang pernah dipakai di darek pada awal abad ke-20 dikembalikan dari Jawa ke Sawahlunto. Di zaman saisuak orang Minang menyebutnya “Mak Itam”, lantaran lokomotif uap umumnya dicat dengan warna hitam. Kini “Mak Itam” yang sudah dikembalikan ke Sawahlunto itu telah diaktifkan menyemarakkan pariwisata Kota Tambang itu.

Lokomotif uap, sebagaimana halnya kapal uap, adalah salah satu penemuan teknologi yang makin menciginkan gerak revolusi industri di Barat pada abad ke-19, sehingga makin menggema ke seluruh dunia. Lokomotif uap ditemukan oleh George Stephenson di Inggris pada tahun 1813. Dia membuatnya dengan teknologi sederhana, sebagian malah dikerjakan dengan tangan. Lokomotif pertama bikinan Stephenson itu, yang diberi nama ‘Blucher’, dites di jalur rel Cillingwood tgl. 25 Juli 1814. 

Penemuan lokomotif uap oleh Stephenson terkait erat dengan penambangan batubara. Stephenson lahir di daerah tambang batubara di Wylam, dekat Newcastle, Inggris, pada 9 Juni 1781 (dia meninggal thn. 1848). Ayahnya, Robert Stephenson, adalah buruh tambang batubara yang miskin yang menghidupi keluarganya dengan upah menarik gerobak berisi batubara sebesar 12 shilling per minggu. George mendapat inspirasi untuk menciptakan lokomotif uap setelah melihat konstruksi lokomotif sederhana bikinan William Hedley dan Timothy Hackworth yang digunakan untuk mengangkut batubara di tambang Wylam. George membuat jalur kereta api pertama dari Stockton ke Darlington pada 1825 dan dari Liverpool ke Manchester pada 1830.

Tahun 1869 teknologi kereta api sudah sampai di Jawa, dan pada 1890-an “Mak Itam” sudah mencuit-cuit mengepulkan asap hitam di Ombilin dan Sawahlunto. Sekarang kita mengerti mengapa lokomotif di zaman dulu dicat dengan warna hitam. Itulah warna yang asosiatif dengan warna batubara, produk pertambangan yang erat terkait dengan kelahiran lokomotif uap.

Foto “Mak Itam” yang kami sajikan dalam rubrik Minang Saisuak’ kali ini dibuat sekitar 1922 atau lebih awal. Lokasinya mungkin di Sawahlunto. Foto ukuran 24 x 29,8 cm. ini seperti membawa kita menapaktilasi masa-masa jaya perkeretaapian Sumatera Barat sampai tahun 1970-an. Kini hanya tinggal sisa-sisa kejayaan itu, sementara jalur relnya menuju beberapa kota di darek sudah tertimbun kenangan dan perumahan penduduk. 
 
Suryadi - Leiden, Belanda. (Sumber foto: Tropenmuseum, Amsterdam) | Singgalang, Minggu, 5 Mei 2013



sumber:http://niadilova.blogdetik.com

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Minang Saisuak #126 - Mak Itam Minangkabau (ca. 1922)"

Post a Comment