Migrasi orang Cina ke Minangkabau
tidak lepas dari dunia perdagangan. Orang Cina dan dunia perdagangan
ibarat lepat dengan daun. Di kalangan orang Indonesia sendiri ada mitos
bahwa tanpa orang Cina sebuah kota tidak akan bisa berkembang.
Kedatangan orang Cina di Sumatera
Barat sama tuanya dengan pembentukan kota-kota pantai di rantau barat
Minangkabau. Buku Erniwati Asap hio di Ranah Minang: komunitas Tionghoa di Sumatra Barat
(Yogyakarta: Penerbit Ombak dan Yayasan Nabil, 2007) mengungkapkan
sejarah komunitas Tionghowa - sebutan untuk Cina pendatang di Indonesia -
di Sumatera Barat. Namun, banyak hal yang belum digali dari sejarah
kedatangan orang Cina di Ranah Minang.
Rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini menurunkan satu kodak klasik perkampungan orang Cina di Padangpanjang. “Straatgezicht in de Chinese wijk van Padangpandjang”
(Pemandangan jalan di perkampungan Cina di Padangpanjang), demikian
judul foto yang berukuran 10,2 x 12, 7 cm. ini. Foto ini dibuat sekitar
1895 atau mungkin lebih awal. Tidak ada keterangan siapa mat kodak-nya.
Di latar belakang tampak perbukitan, mungkin kawasan Bukit Tui.
Belum ada kajian yang mendalam tentang sejarah
kedatangan orang Cina di Padangpanjang. Ini kesempatan bagi mahasiswa
(pintar) dari UNAND dan UNP untuk menelitinya. Kedatangan orang Cina di
Padangpanjang didorong oleh peran baru yang dimainkan oleh kota itu
sebagai kota transit perdagangan antara darek dan rantau barat
Minangkabau pada pertengahan abad ke-19. Hasil bumi dan barang-barang
yang diproduksi di darek ditumpuk dulu di Padangpanjang sebelum diangkut
ke kota-kota pantai seperti Padang dan Pariaman. Begitu juga
sebaliknya: Padangpanjang menjadi tempat menumpuk barang-barang yang
diproduksi di daerah pantai seperti ikan asin, minyak kelapa, dan garam,
sebelum didistribusikan ke kota-kota lain di darek. Hal diceritakan oleh Muhammad Saleh Dt. Urang Kayo Basa, pedagang besar Pariaman di abad ke-19, dalam otobiografinya, Riwajat Hidoep dan Perasaian Saja (1914).
Pembukaan jalan Lembah Anai yang kemudian disusul dengan pembukaan
jalur kereta api dari darek ke Padang pada 1890-an makin membuat
Padangpanjang maju dan menjadi titik vital perdagangan di pinggang Bukit
Barisan.
Seperti di kota-kota lainnya di Indonesia,
orang Cina berperan penting dalam pemribumian teknologi Barat (lihat
misalnya Karen Strassler, 2010). Di Padang Panjang
mereka juga aktif dalam bisnis ini, seperti fotografi, barang-barang
elektronik, perbioskopan, dan lain-lain. Sekarang entah berapa banyak
orang Cina yang masih tinggal di Padangpanjang. Yang jelas, kawasan
Pecinan, dengan kontruksi fisik dan suasananya yang khas, selalu menjadi
tempat yang menarik dan menjadi daya tarik tertentu bagi-kota-kota di
dunia. Ia merupakan aset pariwisata sebuah kota.
Suryadi - Leiden, Belanda. (Sumber foto: Tropenmuseum, Amsterdam) | Singgalang, Minggu, 12 Mei 2013
0 Response to "Minang Saisuak #127 - Perkampungan Cina di Padangpanjang"
Post a Comment