(Pengantar : Tulisan berikut adalah Bagian Keempat dari terjemahan bebas dari buku berjudul Van Batavia Naar Atjeh, Dwars Door Sumatra De Aarde en Haar Volken (Dari Batavia ke Aceh, Bumi dan Rakyat Sumatera) yang merupakan catatan perjalanan sang pengarang, Fransch F. Bernard. Buku ini aslinya diterbitkan pada tahun 1904 dan saat ini telah didigitasi oleh Project Gutenberg.
Bagi yang belum membaca Bagian Ketiga silakan klik disini)
Kami membalik untuk menyaksikan untuk terakhir kali pemandangan yang indah ini, angin bertiup kuat, dan kami segera kembali ke Matoea terus ke Fort de Kock. Badai mengancam, dan jalan terjal yang menanjak ke atas Si Anoq. Kami memacu kuda-kuda kami melarikan diri agar terhindar dari hujan.
Pada saat kedatangan kami di Fort de Kock, di hotel kami berjumpa dengan kepala Laras Soengai Poear, atas permintaan salah satu teman kami untuk mempersiapkan dan menyewa pemandu dan porter bagi perjalanan kami ke Merapi .
Keesokan harinya di siang hari kami pergi ke Soengai Poear. Angku Laras mengajak kami makan, masakan harum dibuat dari daging rusa kering dan dibumbui dengan selera yang sesuai.
Salah satu rekan saya dari Fort de Kock tidak jadi berangkat. Ia mendapat luka di kaki, dan tampaknya cukup serius, ia memutuskan untuk tinggal. Jadi kami hanya berdua, dan kami melakukan pendakian selama tiga jam di sore hari itu. Kami berada di ketinggian 1100 M., dan harus menghabiskan malam di sebuah pondok di ketinggian sekitar 2000 M. Awalnya jalan cukup bagus, tetapi segera kami mencapai akhir itu, dan segera menjadi sulit, jalan berbatu, curam, semakin tinggi. Pada jam setengah enam kami akhirnya mencapai tujuan dan kami merasa lelah. Kabut telah menyebar, dan kami melihat di kejauhan, lereng gundul dan lebih rendah, perkebunan kopi, Soengai Poear dan Fort de Kock.
Malam yang dingin berlalu dengan tenang. Untuk waktu yang lama tidak ada yang melewati hutan ini, penuh dengan pakis, tanaman merambat dan berbahaya, penuh juga rumput, yang bermata, dan semak belukar, yang sangat berduri. Di sana-sini jalan setapak menghilang, dan pemandu akan melihat ke belakang, menyelinap, bertiarap di bawah semak-semak dengan parang dan lorong sempit. Alang-alang menyembunyikan lubang tak terduga yang berbahaya, dan setiap kali kaki tenggelam di 'jalan kosong ‘, maka itu akan membuat jungkir balik di rumput basah. Hari belum terang, dan beberapa bintang bersinar. Jika melihat ke belakang, terlihat di belakang kami awan putih polos menggantung.
Akhirnya, setelah setengah jam, kami meninggalkan hutan dan semak belukar. Tidak ada di depan kami selain kemiringan setinggi 200 M, sungai lava hitam yang mengalir, bergerak di bawah kaki kami. Pendakian masih berlanjut, dan kami mencapai dataran tinggi, dikelilingi oleh dinding lagi. Sebuah tingkat kedua naik sedikit lebih jauh, dan ketika kami lihat, sebuah mangkuk dangkal di tengah kawah yang terbuka.
(Gambar : Kawah Gunung Merapi)
Ini adalah lubang hitam dengan diameter 200 sampai 300 M., dengan asap tebal yang tak bersuara. Aku berjalan di sekitarnya. Pinggiran kawah sebelah selatan sedikit lebih tinggi dan lebih tipis, dan meruncing di atas kedalaman yang menganga. Ada tangga sempit, diukir di batu, sangat sempit sehingga tangan seseorang akan basah waktu menaikinya. Pada kedua sisi menguap jurang; asap belerang membuat seseorang tersedak. Aku mundur beberapa langkah, ke tempat yang cukup lebar untuk menempatkan kaki, dan tanah basah lengket. Aku kembali beberapa meter ke bawah dan beristirahat di atas sebuah dataran tinggi yang sempit, dari mana aku bisa melihat panorama yang indah.
Segera hari menjadi pagi. Sebuah secercah pucat muncul seperti surga. Angin membawa awan pergi, dan dataran muncul dari kegelapan. Puncak tinggi, titik tertinggi dari Merapi, di sebelah timur menyembunyikan bagian dari cakrawala dimana matahari bersinar merah. Tampak berwarna ungu bagian atas gunung Singgalang.
Semakin terang, sementara lembah di bawah kami bayangan gelap besar masih melingkupi hutan. Di kejauhan kami melihat laut, gulungan ombak yang tenang. Kami melihat lengkungan pantai, dan garis pasir putih yang indah jelas terlihat sebelum massa hijau tua.
Lembah Anei terbuka, dan sungainya terlihat seperti garis besar busa. Rumah-rumah di Padang Pandjang di tengah-tengah. Danau Sing Kara menunjukkan dirinya di Selatan, dan tebing di tepi kanan disinari oleh matahari cerah, sedangkan yang ke kiri tetap dalam bayang-bayang pegunungan yang curam. Dataran Fort de Kock, dihiasi dengan desa, tersebar di depan kami, dengan sawah dan dihiasi dengan tebing putihnya. Air terjun memantulkan cahaya seperti cermin logam dan aliran lampu terang sekilas. Sebuah rangkaian gunung terlihat, Tandikat, Singgalang yang tipis, pohon-pohon kecil berdiri sekitar kolam kecil, sehingga tampaknya seperti cangkang berbingkai yang memegang danau Manindjoe. Kemudian gunung Ophirberg dan batu kapur dan formasi batuan aneh Pajacombo, dan di Selatan di kejauhan, Indrapoera yang gilang-gemilang dan, lembah besar Korintji.
Adegan ini bukan hal baru bagiku. Aku ingat perjalanan ke Bromo dan kabut putih naik dari kawah raksasa.
(Gambar : Merapi mengingatkanku akan Gunung Bromo)
Tapi kami harus pergi, membenamkan diri lagi dalam kabut. Penurunan bahkan lebih sulit daripada pendakian. Pada tanah yang licin, ditutupi dengan daun basah, terbenam hampir ke lutut. Kami muncul dengan tertutup lumpur di pondok tempat rekanku menunggu. Kami melanjutkan perjalanan ke bawah dengan langkah tidak pasti, kadang-kadang cepat, karena ditarik berat badan sendiri. Akhirnya tiba Soengai Boeloe dimana kereta api akan membawa kami kembali ke Fort de Kock.
(Fakta menarik :
1. Pada waktu itu masih banyak rusa. Buktinya Angku Lareh Sungai Pua menyuguhkan dendeng rusa kepada tamunya. Mungkin juga rendang rusa? Hmmmm.....jadi terbayang harumnya rendang yang sedang dimasak....:)
2. Mereka mulai mendaki Gunung Merapi selepas tengah hari. Selanjutnya menginap di ketinggian 2000 M. Sebelum fajar sudah jalan lagi sehingga sampai di puncak sebelum terang. Berbeda dengan sekarang, para pendaki gunung Merapi naik malam hari dan non-stop sampai di puncak juga menjelang terang.
3. Satu hal lagi yang berbeda dengan pendaki sekarang adalah rute. Mereka naik dan turun dari sisi Sungai Pua, sebuah rute tradisional yang sekarang tidak umum. Rute sekarang adalah dari Koto Baru, di pinggir jalan Padang-Bukittinggi.
4. Jaman itu belum banyak orang yang naik gunung. Terlihat dari jalan yang harus dirintis dulu oleh pemandu lokal. Semak dan rumput tebal setinggi lutut. Belukar yang sudah membentuk lorong. Bahkan ada juga jalan yang 'hilang' dan membuat kaki kejeblos. Untung bukan kejeblos jurang, meneer!
5. Kawah merapi waktu itu berdiameter 200 - 300 m. Sekarang berapa ya?
6. Di sisi kawah ada tangga batu! Buatan siapakah? Penduduk lokal, Belanda, atau ..... alien...???!! *pikiranliar dot com*
7. Dari puncak merapi kelihatan samudera Hindia, lembah Anai, Danau Singkarak, Bukittinggi, Danau Maninjau, Gunung Singgalang, Gunung Tandikat, Gunung Pasaman (Ophirberg), Payakumbuh, Indrapura dan Kerinci. Luar biasa!
8. Gambar terakhir sepertinya tidak sinkron dengan gunung Merapi. Terlihat seseorang (mungkin penulis) berjongkok sambil merokok dengan latar belakang sebuah gunung yang berasap. Keanehannya adalah jika si penulis memanjat gunung Merapi, maka gunung yang berasap di belakangnya itu gunung apa? Karena di Sumatera Barat gunung yang sering mengeluarkan asap hanya gunung Merapi. Perhatikan juga pakaian dan sepatunya. Kira-kira mungkin tidak orang naik gunung Merapi yang jalannya harus dirintis dulu sampai tiarap-tiarap dengan jas dan sepatu kulit? Rasanya tidak. Melihat lapisan pegunungan di belakangnya, berkemungkinan gambar ini adalah memang di Gunung Bromo Jawa Timur dan ditampilkan hanya sebagai ilustrasi. Karena ke Gunung Bromo orang bisa berkuda sehingga wajar berpakaian begitu.... )
---Untuk meneruskan ke bagian kelima klik disini