Van Batavia Naar Atjeh (1904) - Bagian V (HABIS)

(Pengantar : Tulisan berikut adalah Bagian Terakhir dari terjemahan bebas dari buku berjudul Van Batavia Naar Atjeh, Dwars Door Sumatra De Aarde en Haar Volken (Dari Batavia ke Aceh, Bumi dan Rakyat Sumatera) yang merupakan catatan perjalanan sang pengarang, Fransch F. Bernard. Buku ini aslinya diterbitkan pada tahun 1904 dan saat ini telah didigitasi oleh Project Gutenberg.

Bagi yang belum membaca Bagian Keempat silakan klik disini)


Kami tinggal di Fort de Kock sampai tanggal 26 April dan selanjutnya menuju ke Pajacombo lewat Padang Pandjang dan Fort van der Capellen, sehingga mundur dari arah selatan Gunung Merapi. Perjalanan kami tanpa insiden, dan jalan sangat baik, sehingga kereta kuda kami berjalan lancar, meskipun kemiringan jalan sangat tinggi. Kebun kopi sangat luas di lereng pegunungan, sawah dan desa-desa, sejauh mata dapat melihat, tersebar di dataran, dan selalu terlihat situasi monoton yang sama di Pajacombo, tetapi pemandangan selalu terlihat indah di depan mata kami.

Kami berencana berangkat dari Pajacombo pada hari pertama bulan Mei, tetapi kami terpaksa tinggal satu hari lagi. Perjalanan yang ingin kami lakukan orang-orang mengatakannya sulit dan meskipun dengan sedikit kesulitan kami akhirnya mendapat izin untuk memulainya. Kami akan melalui daerah yang belum sepenuhnya tunduk. Daerah-daerah di pantai timur hampir semua independen, dan Belanda tidak ingin memaksakan otoritas mereka dengan kekuatan untuk hasil yang tidak seimbang.

Kami tidak melewati lembah Jambi, ataupun Indragiri berdasarkan penolakan formal atas permintaan kami untuk maju. Kampar dianggap terlalu berbahaya, dan Batavia telah jujur,dengan tidak memberi izin untuk kunjungan ke sebuah wilayah yang kondisi damai-nya hanya berumur beberapa minggu. Akibatnya kami harus memutuskan, langsung ke Taboeg di Batu Gajah Kampar Kiri dan kemudian setelah itu dilanjutkan perjalanan ke Siak. Tetapi Asisten-Residen Pajacombo memberi kami pesan meyakinkan tentang kondisi di Limo Koto sehingga kami memutuskan untuk sekali lagi mengubah jadwal kami.

Pajacombo berada di pinggir Sinamar, anak sungai Ombilien. Jalan yang akan ditempuh akan membawa kami ke pasar Kota Baru, 45 km utara Pajacombo dan terus ke tepi Soengai Mahe, anak sungai Kampars. Dari sana kami naik sampan di Soengai Mahe, dan kemudian berlayar ke Bengkinang Teratak Boeloe dan kemudian pergi lewat darat ke tepi Sungai Siak Pakan Baru dan terakhir sampai Beng Kalis.

Untuk mencapai perjalanan ini tanpa hambatan, kami jelas membutuhkan pemimpin-pemimpin pribumi untuk memperingatkan kedatangan kami, dan juga memberitahukan ke komandan pos Bengkinang. Sayangnya, dan ini cukup sering terjadi, garis telegraf yang menghubungkan Pajacombo dengan Bengkinang rusak sehingga kami dipaksa untuk menunda keberangkatan kami satu hari.

Pajacombo adalah sebuah desa yang sangat besar, terletak di dataran yang cukup lebar, di mana pohon kelapa tumbuh, dan di mana sawah telah dibuat. Meskipun hampir di ketinggian 500 M., iklimnya menyenangkan. Disekitarnya pegunungan yang tinggi dan di lereng Gunung Sago setinggi 2240 M, di tengah-tengah perkebunan kopi, terdapat pasangrahan yang dibangun oleh penduduk desa, dimana udara segar dapat menjadi pengobatan. Perawatan dan pengaturan dilakukan dan dikelola oleh pasangrahan, termasuk di dalamnya kelompok bungalow atau rumah peristirahatan.

Orang Eropa tidak terlalu banyak. Di luar Asisten-Residen ada letnan komandan garnisun kecil, dokter dan dokter hewan. Pemerintah memiliki peternakan pejantan dengan perangkat yang sangat sederhana, di mana tidak ada bangunan mahal didirikan seperti di tempat lain. Seluruhnya hanya membutuhkan biaya 3000 gulden, dengan bangunan dari kayu dan jerami. Ada dua puluh dua kuda-kuda ras yang berbeda, dari pulau Sumba, yang terbesar dan paling terkenal dari Makassar dan kemudian Batak, dipilih dari hewan-hewan terbaik, namun harga rata-rata mereka lebih dari £ 300. Kuda jantan didistribusikan ke distrik yang berbatasan dengan Pajacombo, dan lokasi dipilih sedemikian rupa sehingga pemeriksaan dengan mudah bisa berakhir dalam beberapa hari. Para pemilik kuda menerima suatu keuntungan, yaitu anak kuda muda yang bagus dan terawat dengan baik.

Hanya ada satu orang Eropa, dokter hewan, yang ada di peternakan. Operasional dan staf yang telah ditunjuk, menghabiskan biaya tidak lebih dari £ 800 per bulan. Prasarana ini memiliki hasil yang sangat baik, hanya dalam dua tahun sudah ada sekitar 270 anak kuda yang sangat baik lahir di Pajacombo.
Pasar Pajacombo merupakan salah satu yang tersibuk seluruh Dataran tinggi Padang. Kami membeli beberapa perlengkapan untuk perjalanan. Ini terlihat seperti kerumunan padat orang, kota yang ramai dan riuh. Pajacombo adalah salah satu pos paling diminati di Sumatera. Iklimnya nyaman, sama seperti kecantikan dan kelembutan para wanitanya.

Tanggal 2 Mei pada pukul enam pagi, kami berangkat dari Pajacombo. Di utara dataran ini tertutup oleh sebuah tebing setinggi 1500 M. Beberapa lembah menembus pegunungan dan melalui ke atas pegunungan. Kami telah melewati Lembah Harrau, sebuah celah di antara gunung dinding tegak yang tinggi, di mana air terjun berbusa turun. Hari ini kami pergi menuju lembah Ayer Poetih.

(Gambar : Lembah Harau)

Kami sampai di Loeboek Bengkoeang yang berjarak 12 batu dari Pajacombo (satu batu adalah 1500 M), di mana kami naik di atas punggung kuda dan mulai mendaki jalan curam, sepanjang sisi angin lembah bertiup. Tanah terdiri dari batuan konglomerat tinggi kasar dan curam naik di atas sungai.

Sebuah karpet tanaman yang cukup lebat menutupi lereng dari permukaan sungai ke atas ketinggian. Kami secara perlahan maju di jalan yang telah banyak mendapat curah hujan. Setelah satu jam kami mencapai puncak gunung. Kami melihat ke bawah ke lembah di mana sungai memperoleh air dari lembah Ayer Poetih. Aku telah melakukan kebodohan dimana kudaku tergelincir dan jatuh di lantai jembatan kayu. Kakiku terhimpit di bawah hewan, topiku jatuh bergulung ke kedalaman ngarai, dan aku mendapat memar parah dan sayatan panjang di lengan dan kaki.

Kami berhenti beberapa saat di sebuah gubuk di sisi jalan. Daerah ini disebut Ulu Ayer. Kami berada di ketinggian 950 M., Celah yang akan kami tempuh beberapa ratus meter lagi, dan kami akan segera turun ke Kota Baru di 20 KM dari sini. Dari celah kami lihat bukit yang berurutan, yang secara bertahap menurun, di kejauhan lautan dedaunan, lautan hijau, hijau tua, gelombang luas menyebar lebih jauh dan lebih jauh di cakrawala.

Ini adalah hutan raksasa yang menutupi dataran, di mana kami akan lewat. Kemiringan pegunungan menuju 250 km dari sini, ke Selat Malaka. Kami tetap sejenak di atas. Lanskap ini, kasar dan gelap membuat kesan yang mendalam pada kami. Tidak ada jejak kehadiran atau aktivitas manusia. Tidak ada sepotong tanah yang telah diolah, tidak ada terlihat asap membumbung ke udara. Pepohonan sangat rapat, dengan tanah yang tidak digarap dan tidak diragukan lagi akan berada dalam bayang-bayang bahaya dan ancaman hewan buas. Rasa haus akan petualangan, keinginan dan keinginan untuk pengalaman baru, keinginan untuk hal-hal yang belum diketahui, sebagaimana perasaan semua orang , kenangan cerita masa lalu, mimpi-mimpi, mimpi masa kanak-kanak, semuanya ada di dalam diri dan menantang kami...

(***HABIS***)

(Fakta menarik :
1. Sangat disayangkan tidak ada ulasan tentang Fort van der Cappelen alias Batusangkar. Padahal kota ini dilewati dalam perjalanan Fort de Kock - Padang Panjang - Fort van der Cappelen - Payakumbuh. Kira-kira kenapa ya? Padahal di Batusangkar banyak yang bisa dibahas, terutama sebagai pusat kerajaan Minangkabau di Pagarayung.
2. Daerah-daerah di pantai timur Sumatera belum sepenuhnya ditundukkan Belanda karena dianggap hasilnya tidak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan. Belum tau rupanya kalau di sana banyak minyak...:)
3. Sangat sulit untuk mendapat izin perjalanan ke daerah-daerah tersebut. Izin pun harus diperoleh dari Batavia. Rute pun harus berubah-ubah sesuai informasi kondisi keamanan jalan yang akan dilalui.
4. Rencana rute perjalanan selanjutnya adalah Payakumbuh - Koto Baru - Berperahu di Sungai Mahat - Teratak Buluh - Bangkinang - Pekanbaru - Bengkalis
5. Sudah ada jaringan telegraf antara Payakumbuh dan Bangkinang saat itu. Tapi sering putus.
6. Di lereng Gunung Sago terdapat perkebunan kopi dengan bungalow-bungalow peristirahatan di tengahnya, yang disebut pasangrahan.
7. Orang Belanda di Payakumbuh tidak banyak. Hanya ada Asisten Residen, Letnan Komandan Garnisun, Dokter dan Dokter Hewan. Mungkin juga ada beberapa yang lain tapi tidak disebutkan.
8. Payakumbuh sudah menjadi sentra pembibitan kuda. Tercatat ada 22 ras yang dikembangkan dengan pengawasan seorang dokter hewan Belanda! Bayangkan. Dokter orang saja jarang pada saat itu, lahhh ini dokter kuda disediakan. Artinya, kuda sangat berharga...
9. Pembibitan itu berlangsung sukses. Terbukti telah lahir 270 anak kuda ras dalam dua tahun. Well done, tuan dokter kuda!
10. Payakumbuh termasuk pos yang diminati orang Belanda, terutama karena iklim dan kecantikan wanitanya...
11. Hitungan satu batu berarti berjarak 1,5 kilometer.
12. Rimba antara Payakumbuh dan Bangkinang masih perawan, belum terjamah, lebat dan menyeramkan. Berkemungkinan rombongan ini berhenti di lokasi puncak panorama Selat Malaka sekarang, dan memandang sekeliling, hanya ada hamparan pucuk-pucuk pohon hijau pekat bergelombang naik turun sejauh-jauh mata memandang......

Subscribe to receive free email updates: