Painan memang hanya sebuah lekuk. Sekitar tahun 1700-an pelaut-pelaut Bugis banyak berdatangan ke sini. Bermukim, menciptakan hidup. Ada beberapa yang kimpoi dengan penduduk asli. Di Painan akan kita temukan beberapa orang peranakannya.
Mungkin saja. Karena Painan-dan beberapa kota kecil lain di Pesisir itu seperti Salido dan Indrapura yang terletak lebih ke selatan memang terkenal sebagai Bandar-bandar transit sejak dahulu. Di lepas
pantai Samudra Hindia, di pulau cingkuk misalnya ada berdiri sebuah benteng Belanda.
Pelaut-pelaut Bugis yang datang ke situ punya kapal-kapal besar, bagan dan pukat yang lebih mutakhir. Nelayan-nelayan pribumi kalah saing. Dan di sekitar tahun 70-an itu pelaut-peluat Bugis yang terkenal handal itu mulai menyusut kehadirannya di kota kecil itu.
Dan bahkan mulai terkikis habis. Entah peristiwa apa yang menyertainya. Beberapa orang mencatat, ada bentrok terjadi. Kapal-kapal Bugis dibakar penduduk asli di lepas pantai.
Walaupun begitu, Painan tetap menawan dengan alamnya yang elok. Tapi Painan, kota kecil yang menawan itu, acap tak banyak memberi peruntungan. Seperti daerah lain di ranah ini banyak orang yang bertolak. Meninggalkan keindahan dan keelokan itu. Seperti sajak Takdir, "aku tinggalkan tasik yang tenang tiada beriak".
Painan memang kota yang tenang. Ombak pantainya lembut tak berdebur
seperti ombak Pantai Purus. Mungkin lebih tepatnya kota ini lamban.
Ia mendekati kota mati. Di hari sabtu, kota ini akan tambah sepi.
Anak-anak sekolah biasanya telah pulang ke daerah-daerah pinggiran
painan. ke Bayang, Tarusan, Batangkapeh, Kambang, Belaisalasa, ...