Minang Saisuak #15. Salat Idul Fitri Menyambut Lebaran

suryadi-salat-idul-fitri-menyambut-lebaran


ORANG MINANGKABAU identik dengan agama Islam. Artinya, salah satu identitas penting orang Minangkabau, selain menganut sistem kekerabatan nasab ibu (matrilineal) dan suka merantau, adalah beragama Islam. Adalah Perang Padri (1803-1837) yang telah banyak memberi warna Islam ke dalam kebudayaan Minangkabau, termasuk ranah sastranya (lihat pengantar D. Gerth van Wijk tentang Kaba Puti Balukih, 1881).

Tidak banyak catatan kolonial dari zaman saisuak yang memberikan gambaran visual tentang suasana di bulan puasa dan perayaan Idul Fitri di dalam masyarakat Minangkabau pada masa lalu. Barangkali karena mereka sendiri fobia terhadap Islam, mungkin juga karena orang Muslim di Hindia Belanda yang sedang melakukan ritual keagamaan tidak mudah menerima mereka.

Dalam rangka menyambut Idul Fitri 1431 H yang jatuh pada 10 September 2010, rubrik ‘Minang Saisuak’ Singgalang Minggu kali ini menyajikan data visual yang sangat langka itu: suasana salat Eid (dari kata bahasa Arab ‘Eid ul-Fitr’) di Minangkabau di awal abad ke-20. Foto ini (ukuran 9×12 cm.) dibuat di Bangkinang sekitar tahun 1910-an (atau mungkin lebih belakangan). Dalam konsep geopolitik Minangkabau tradisional daerah Bangkinang dan sekitarnya disebut “ikua darek kapalo rantau”.

Rupanya salat Eid ini diadakan di lapangan terbuka. Tapi yang menarik adanya semacam gaba-gaba yang diberi atap, tirai dan dibatasi dengan kain, yang tampaknya dimaksudkan untuk tempat khatib memberi khotbah seusai salat, dan juga tempat para pemuka agama duduk. Tentu saja tak mungkin untuk mengidentifikasi bagaimana khotbah khatib pada masa itu, karena tak ditemukan rekamannya. Perlu dicatatkan di sini bahwa sebenarnya teknologi rekaman (berbentuk phonograph) sudah sampai ke Hindia Belanda sekitar tahun 1882 (lihat artikel Suryadi, “The ‘talking machine’ comes to the Dutch East Indies: the arrival of Western media technologies in Southeast Asia”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 162.2/3, 2006: 269-305). Di sekitar tahun-tahun foto ini dibuat sebenarnya sudah ada ceramah agama dari beberapa ulama terkenal Indonesia yang direkam dalam piringan hitam (disc) yang diperjualbelikan untuk umum (lihat: Hadji A. Salim, Hoekoem jang lima didalam agama Islam. Djakarta Raja: Soemberilmoe, 1941: sampul belakang). Seperti dapat dikesan dari foto ini, model pakaian laki-laki pada masa itu agak mirip dengan pakaian orang Arab, dengan jubah panjang dan sorban terlilit di kepala. Dan seperti biasa, anak-anak hanya meramaikan suasana. Mereka tidak ikut salat.

Sudah dari dulu lebaran dirayakan dengan petasan, bahkan dengan letusan meriam dan bedil (termasuk badia-badia batuang), seperti disaksikan oleh J.C. Boelhouwer (1841) di Ulakan dan Muhammad Saleh Dt. Urang Kayo Basa (1914) di daerah Singkil dan Susoh. Pemahaman sebuah kelompok masyarakat terhadap agama memang selalu berevolusi, juga prakteknya dalam kehidupan sehari-hari, tak terkecuali dalam masyarakat Minangkabau.


suryadi-salat-idul-fitri-menyambut-lebaran-01


suryadi-salat-idul-fitri-menyambut-lebaran-02

Suryadi – Leiden, Belanda. (Sumber foto: Tropen Museum, Amsterdam; dikirimkan kepada saya oleh Nofendri ‘RantauNet’ St. Mudo).
Singgalang, Kamis, 9 September 2010 (edisi Lebaran 1431 H)

sumber

Subscribe to receive free email updates: