PARIAMAN adalah sebuah kota pelabuhan (entrepot) yang sudah tua usianya. Kota ini pernah melahirkan seorang pedagang besar pada abad ke-19, yaitu Moehammad Saleh Datoek Orang Kaya Besar, tokoh yang kita tampilkan dalam rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini.
Moehammad Saleh lahir tahun 1841 di Desa Pasir Baru, Pariaman. Ayahnya, Peto Rajo, juga seorang pedagang, adalah penduduk Pariaman asli. Namun, ayah Peto Rajo adalah keturunan seorang raja di Rigah, Rantau Duabelas, Aceh Barat. Tarus, Ibu Moehammad Saleh, berasal dari Guguak Ampek Koto, dekat Bukittinggi. Mungkin keluarga Tarus telah hijrah ke Pariaman akibat Perang Padri.
Kisah sukses Moehammad Saleh sebagai pedagang besar Pariaman pada paroh kedua abad ke-19 dapat kita ketahui berkat otobiografi yang ditulisnya sendiri pada tahun 1914 (tulisan Jawi). Pada tahun 1965 otobiografi itu di-Latin-kan oleh cucu beliau, S.M. Latif (lihat gambar sampulnya di atas). Tsuyoshi Kato yang merekonstruksi dunia perdagangan pantai di Rantau Pariaman (dalam JSEAS 39.4, 1980:729-52) berdasarkan otobiografi Moehammad Saleh itu mengatakan bahwa autobiografi itu adalah “sebuah dokumen yang berharga dalam banyak hal”, karena ditulis oleh seorang yang bukan berpendidikan Barat dan nasionalis seperti kebanyakan otobiografi di Indonesia, tapi oleh seorang pedagang yang menjadi kaya berkat usahanya sendiri. Secara terperinci Moehammad Saleh menceritakan “kegiatannya sehari-hari sebagai pedagang yang mengandung nasihat praktis mengenai kehidupan pada umumnya dan perdagangan pada khususnya, daripada mengemukakan gagasan-gagasan tinggi dan proses kebangkitan politik” (Kato 1980:729).
Usaha Moehammad Saleh dirintis dari seorang penghela pukat di Pantai Pariaman sampai akhirnya menjadi seorang pedagang besar yang mempunyai beberapa perahu, pencalang dan kolek yang berlayar hingga sejauh Rigah di pantai Barat Aceh dan Bandar Sepuluh di selatan. Saleh mempunyai beberapa toko di Pariaman dan Padang Panjang. Anak buahnya di darat dan di laut mencapai puluhan orang. Bahan dagangannya berupa macam-macam hasil bumi. Moehammad Saleh juga dipercaya oleh Belanda untuk mendistribusikan garam ke darek.
Selama hidupnya Moehammad Saleh menikah sebanyak 14 kali. Gelar kebesarannya (bahasa Minang: ‘Datuak Urang Kayo Basa’) diperoleh pada bulan Oktober 1877, dalam upacara khitanan anak pertamanya, Moehammad Taib (lahir pada tgl. 6 Syaban 1281 H dari istrinya yang keduanya, Banoe Idah) (Saleh 1965:94). Kekayaan Moehammad Saleh dapat dikesan dari dua rumah besar (yang satu bernama rumah batu tinggi) milik keluarga besarnya di Pariaman, masing-masing tahun 1895 dan 1904. Jika kita ke Pariaman, rumah itu masih dapat dilihat sampai sekarang.
Moehammad Saleh meninggal di Pariaman tahun 1922 dalam usia 81 tahun. Sampai sekarang cerita mengenai Moehammad Saleh tetap hidup di kalangan generasi tua di kota Pariaman. Keturunannya telah menyebar kemana-mana: ada yang merantau dan juga ada yang tinggal di kampung menjadi pejabat daerah.