Silat (silek) adalah salah satu pakaian lelaki Minangkabau pada zaman dulu. Bahkan pada batas tertentu silat juga jadi pakaian wanita Minangkabau. Kita pernah punya wanita bagak, baik dalam fiksi maupun realitas, seperti Sabai Nan Aluih, Siti Manggopoh dan Upiak Palantiang. Mereka pasti pernah belajar silat, paling tidak sekedar untuk mailakan karambia malanja.
Rubrik Minang Saisuak kali ini menyajikan sebuah foto klasik tentang pencak silat di Minangkabau, tepatnya orang sedang mamancak, bunga dalam silat Minangkabau. Foto ini, yang dibuat sekitar 1911 oleh mat kodak Jean Demmeni, berjudul: Minangkabausche messenschermers (Toekang-Mantjak), Sumatra. Foto yang diproduksi dengan teknik teknik fotolithografie ini berasal dari dikoleksi Algemeene Nederlandsche Wielr?dersbond Toeristenbond voor Nederland di ’s-Gravenhage (Den Haag).
Dalam foto ini terlihat beberapa lelaki sedang belajar silat. Mereka belajar di bawah sebuah pohon yang rindang. Ini dimaksudkan agar mereka terlindung dari terik sinar matahari. Tampaknya mereka sedang mempraktekkan tahapan-tahapan dalam pelajaran silat Minangkabau, yaitu menghafal dan menyambung langkah dan sambut, bergelut, dan mengmbil rasa. Sementara yang berdiri di latar belakang mungkin guru atau senior mereka. Tradisi silat, sebagaimana halnya tradisi bela diri lainnya di Asia, mengenal jenjang senioritas.
Silat Minangkabau mempunyai banyak aliran. Sesuai dengan konsep republik nagari yang dianut dalam sistem geopolitik tradisional Minangkabau, dulu di setiap nagari di Minangkabau ada perguruan (sasaran) silat. (Sasaran silat biasanya terletak agak di pinggir desa). Beberapa nagari bahkan memiliki aliran silek yang menonjol, sebutlah misalnya Silek Sunua, Silek Pauah, Silek Lintau, dan Silek Kumango untuk sekedar menyebut contoh. Ada juga aliran silat Minangkabau yang diberi nama berdasarkan prinsip-prinsip gerakan dasar yang mereka pakai yang biasanya merujuk kepada gerak binatang tertentu, misalnya Silek Harimau, Silek Kuciang, Silek Buayo, dan Silek Gajah Badorong. Mungkin masih ada cara penamaan lain untuk aliran-aliran silat tertentu di Minangkabau.
Sekarang agak jarang kita melihat orang Minangkabau belajar silat. Beberapa perguruan silat Minang sekarang justru lebih eksis di luar daerahnya, juga di luar negeri seperti Belanda dan Austria. Bersilat lidah saja banyak orang Minangkabau sekarang sudah tak pandai lagi: lidah mereka sudah sering takapelong. Banyak orang, termasuk politikus kontemporer kita, cenderung bersilat di urat leher, karena mereka tidak campin lagi bersilat di ujung lidah. Memakai celana galembong juga sudah dianggap ketinggalan zaman. Kalau ada orang Minang sekarang yang memakainya, bisa-bisa mereka dianggap udik. Padahal orang Bali, misalnya, yang tiap hari beradu hidung dengan turis bule, tetap taat memakai pakaian tradisional mereka.
Walau dunia berputar kencang, seyogianya tradisi silat Minangkabau kita lestarikan. Kiranya instansi-instansi yang terkait dengan pelestarian kebudayaan daerah di Sumatra Barat memiliki kepedulian untuk mendokumentasikan (visual dan tulisan) khazanah silat Minangkabau. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Kalau pelestarian dan pendokumentasian silat Minang itu tidak segera diupayakan, saya khawatir akan tersua pepatah lama: abih cakak takana silek. Kalau itu terjadi, siap-siap saja rakyat Sumatra Barat di masa depan membiayai Anggota Dewan (istilah ini keren sekali sekarang) melakukan studi banding tentang silat Minangkabau ke Amsterdam dan Wina.
sumber
sumber