Kapan kita di Padang punya terminal lagi…[?], demikian Eko Alvares Z. memulai thread-nya di laman facebook-nya
yang memuat foto ini; [D]isinilah kami bermain masa kecil dulu [],
komentar pengunjung Nita Indrawati Ibrahim; Jadi ingat masa kecil dulu,
tinggal di ruko Jalan M. Yamin, mainnya, ya, sampai terminal ini, kenang
pengunjung Syahjohn Toton. Apakah kuburan Belanda itu dibongkar sebelum
dijadikan terminal? Orang mati harus dihormati, sambung pengunjung
Abdur-Razzaq Lubis. Waktu itu masih ada bus Cemerlang, Sibualbuali,
[Ubani, H.Z.N.], dan Bintang Kejora. Klaksonnya bisa main musik,
kata pengunjung Febri Anes; [M]elihat bus-bus yang ada, saya jadi ingat,
pernah naik bus Gagak Hitam. Kalau buka jendela[nya] digulung ke atas,
sambung Jofianto Bledoeg; [S]ekarang [Padang adalah] satu-satunya kota
propinsi yang tidak punya terminal bus, komentar pengunjung John
Harnelis. Masa sih Padang bisa diacak-acak sama mall? [...], komentar
pengunjung Moeliono Tea.
Komentar-komentar di atas, yang dikutip (dan diedit) dari laman facebook
Eko Alvares Z., sepertinya membenarkan apa yang dikatakan oleh Henk
Maier dalam artikelnya, Maelstrom and Electricity: Modernity in the
Indies (1997), bahwa every picture tells a story (setiap gambar mengisahkan sebuah cerita. [E]very
picture can be made to tell a story and some pictures can be made to
tell a more extensive story than others, a wider variety of story than
others (setiap gambar dapat dibuat untuk menceritakan sebuah cerita
dan beberapa gambar dapat dibuat untuk menceritkan sebuah cerita yang
lebih ekstensif dari yang lainnya, lebih luas variasinya dari yang
lainnya), kata Maier lagi.
Gambar yang kami sajikan dalam rubrik Minang
Saisuak kali ini memang menyimpan sebuah cerita, penggalan kisah tentang
kota Padang. Inilah gambar terminal bus Lintas Andalas, sebuah lambang
kota Padang yang pernah menyatu dengan ingatan kolektif warganya.
Mungkin terminal ini telah menyimpan banyak kisah sedih dan gembira:
lambaian perpisahan dari yang akan berangkat ke tanah rantau dan
sambutan gembira bagi yang kembali ke Ranah Bundo.
Eko Alvares Z. mengatakan bahwa foto ini dibuat
sekitar tahun 1970-an. Ia tidak menyebutkan sumbernya. Sangat mungkin
pula ini adalah sebuah postcard yang sederhana, walau di bagian depan tidak terlihat tanda-tanda sebuah kartu pos. Teknologi komunikasi facebook
kini telah membuat manusia lebih leluasa menyelam ke masa lalu:
foto-foto lama (dan baru) bermunculan di dunia maya, teman-teman masa
SMA, bahkan waktu SD, ketika ingus masih meleler di ujung bibir,
ditemukan lagi. Berbagai reuni untuk itu diadakan, tak peduli berapa
jauh jarak, berapa lama waktu, dan berapa jumlah uang yang diperlukan
untuk itu.
Foto ini, dengan latar langit hijau dan gabak
di hulu yang mengandung hujan, jelas mengembalikan ingatan kita pada
keindahan kota Padang di suatu masa di zaman dulu. Keindahan tetap abadi
dalam kenangan, dan kebobrokan-kebobrokan hari ini akan mempertebal
kenangan-kenangan kepada keindahan masa lalu itu. Kini terminal Lintas Andalas sudah berubah wujud menjadi mall lambang xenocentrims dan ketololan.
sumber:http://niadilova.blogdetik.com
0 Response to "Minang Saisuak #108 - Terminal Bus Lintas Andalas 1970-an"
Post a Comment