Rubrik “Minang Saisuak“
minggu ini menampilkan satu foto klasik yang mengabadikan satu
penelitian ilmiah yang dilakukan ilmuwan kolonial Belanda di Sumatera
Barat awal abad ke-20. Foto ini (16,2 x 26,5 cm.) dibuat tahun 1902.
Konteks foto ini adalah penelitian ilmiah mengenai gerhana matahari yang
dapat diamati dengan jelas dari kawasan pesisir Sumatera Barat. Judul
foto ini adalah: “met sloepen worden Europeanen aan boord
gebracht van een schip op de reede dat uitvaart om een zoneclips waar te
nemen, Karang Sagoe afdeling Painan 1902″. Jadi, foto ini
mengabadikan beberapa ahli ilmu perbintangan kolonial yang, sehabis
melakukan pengamatan terjadinya gerhana matahari dari daerah Karang
Sagu, afdeling Painan, kembali ke kapal yang sandar di lepas pantai.
Syafroni Malin Marajo, yang memunculkan foto ini pertama kali dalam fb-group
‘Kerajaan-kerajaan di Minangkabau’ mengatakan bahwa Karang Sagu
terletak antara Salido-Sago dengan Karang Pauah, Pesisir Selatan.
Rombongan ilmuwan ini mungkin berangkat dari Padang. Pada masa itu mengunjungi daerah Pesisir Selatan lewat jalan darat pasti sangat sulit. Gunung
dan hutan lebat di mana-mana. Alternatifnya adalah menggunakan jalan
laut. Di balik ombak yang memecah terlihat sebuah sekoci menunggu, dan
jauh agak ke tengah ada satu kapal asap besar yang sedang lego jangkar,
menunggu rombongan ilmuwan itu kembali ke geladaknya. Asap hitamnya
membubung ke udara. Asap kapal itu hitam sekali karena bahan bakar yang
dipakai adalah batu bara. Sangat mungkin banyak penduduk yang menonton
kapal itu dari pantai.
Baru sekitar setengah abad sebelumnya kapal
asap sampai di Asia. Moda transportasi laut dengan teknologi baru itu
sempat mencengangkan ‘Bapak Sastrawan Melayu’ Abdullah bin Abdul Kadir
Munsyi, seperti dituliskannya dalam Cerita Kapal Asap setelah ia diundang masuk ke perut kapal asap Sesotris milik Inggris yang sedang sandar di pelabuhan Singapura di awal Agustus 1841 (lihat: Annabel Teh Gallop, “Cerita kapal asap”, Indonesia Circle 17,47-48, 1989: 3-18).
Sekarang kapal asap sudah makin canggih. Bahan
bakarnya tidak lagi batu bara, tapi sudah tenaga diesel. Tapi
kapal-kapal seperti itu belum bisa menjangkau berbagai tempat di
Indonesia, negara archipelagic beribu pulau ini. Para pejabatnya suka naik kapal terbang saja sih.
sumber:
Suryadi - Leiden, Belanda. (Sumber foto: Tropenmuseum, Amsterdam) | Singgalang, Minggu, 13 Januari 2013
0 Response to "Minang Saisuak #113 - Para Ahli Perbintangan Kolonial di Pesisir Selatan (1902)"
Post a Comment