Ada anekdot orang
bujang perantau Minang di Jakarta yang dulu sering kita dengar. Kalau
mereka pulang ke kampung hendak kawin, maka mereka maloge gadis sekampung yang diincarnya dengan mengatakan: “Lai namuah adiak kawin jo Abang? Tanah Abang laweh di Jakarta”. (Apakah adik mau kawin dengan Abang? Tanah Abang luas di Jakarta).
Anekdot tersebut jelas
terkait dengan banyaknya komunitas perantau Minang yang menggalas di
Pasar Tanah Abang Jakarta, meskipun sekarang konon makin banyak datang
saingan dari suku-suku (etnis) lainnya. Rupanya keberadaan urang awak
di Tanah Abang Jakarta memang bukan baru kemaren. Setidaknya hal itu
dapat dikesan dari suatu kisah sejarah: kehidupan dan karier Raja
Burhanuddin, tokoh yang kita sorot dalam rubrik ‘Minang Saisuak’ kali
ini.
“Radja Boerhanoedin, Commandant van het District Tanah Abang (Batavia). Ridder van de Militaire Willemsorde” (Raja
Burhanudin, Komandan Distrik Tanah Abang (Betawi), Ridder
Bintang-Tanjung), demikian judul foto klasik ini yang kami reproduksi
dari jurnal Bintang Hindia yang terbit di Amsterdam (1902-1907).
Raja Burhanuddin
adalah seorang pribumi yang memiliki karier cemerlang di zamannya.
Beliau lahir di Padang, tapi tidak ada keterangan tahun kelahirannya.
Waktu remaja dia sudah merantau ke Aceh yang pada masa itu sedang dalam
kemelut perang melawan Kompeni. Bunyi bedil bak orang merendang kacang.
Waktu di Aceh itulah karier Raja Burhanudin mulai terbina. Lambat laun
ia mendapat kepercayaan dari Pemerintah Kolonial Belanda: ia sering
diminta menjadi juru damai dalam konflik-konflik antara sesama penguasa
lokal dan juga dengan Belanda ‘di Pertja Timoer’. Oleh sebab itulah
kemudian Batavia menganugerahinya bintang penghargaan Ridder van de
Militaire Willemsorde seperti tampak tersemat di dadanya dalam foto ini.
Karier Raja Burhanudin
berlanjut ke pusat kekuasaan kolonial Belanda: ia diangkat menjadi
Kepala/Komandan Distrik Tanah Abang, salah satu bagian kota Batavia yang
sudah memengang peran ekonomi yang penting di Ibukota Hindia Belanda
itu sejak akhir abad ke-19.
Raja Burhanudin mempunya seorang putra yang bernama Raja Sabarudin yang pernah bekerja di Kantor Kontroleur di Labuhan Deli dan kemudian menjadi Manteri Politie di Tanjung Pura. Dan seorang anak perempuannya menjadi permaisuri Sultan Serdang.
Jarang pada awal abad
ke-20 orang pribumi mendapat pujian dari orang Belanda, ‘kerena nama
Bangsa-Hindia itoe telah lama ditindis lompoer’, demikian kata penulis
laporan mengenai Raja Burhanudin dalam Bintang Hindia yang kami kutip di sini, yang katanya pernah bekerja ‘mendjadi dokter di Pertja Timoer’. (Pembaca
pasti bisa menebak-nebak siapa gerangan dia). Raja Burhanudin adalah
salah satu pengecualian. Di masa hidupnya, beliau sangat dihormati oleh
penguasa kolonial.
Si penulis mengatakan bahwa Raja
Burhanudin belum lama wafat. Dengan demikian berarti beliau meninggal
sekitar 1903 atau tahun sebelumnya. Demikianlah kisah hidup seorang
perantau Minang di awal abad ke-20 yang berhasil menaklukkan rantau nan
sakti dan bertuah.
sumber:Suryadi - Leiden, Belanda (Sumber foto: Bintang Hindia, No. 15. Tahoen jang pertama, 25, Juli 1903: 159) | Singgalang, Minggu, 28 Juli 2013
0 Response to "Minang Saisuak #135 - Raja Burhanuddin, UrangAwak Penguasa Tanah Abang"
Post a Comment