Struktur Masyarakat Minangkabau Bagian 2


E. NAGARI
Berlainan dengan paruik, kampuang dan suku, maka nagari adalah merupakan suatu masyarakat hokum. Nagari adalah gabungan dari beberapa buah suku, minimal mempunyai 4 buah suku, jadi federasi genealogis. Menurut hokum adat (undang undang nagari), ada empat syarat untuk mendirikan sebuah nagari, yang pertama harus mempunyai sedikitnya 4 suku, kedua harus punya balairung untuk bersidang, ketiga sebuah mesjid untuk beribadah, ke empat sebuah tepian tempat mandi.

Setiap nagari mempunyai batas-batas tertentu yang ditetapkan atas dasar pemufakatan dengan para pangulu dan nagari-nagari bersebelahan. Batas-batas itu adakalanya ditentukan dengan batas-batas alam seperti sungai, sawah, tetapi ada juga yang diberi tanda yang dinamakan lantak pasupadan. Disamping itu nagari juga mempunyai pemerintahan sendiri oleh dewan kerapatan adat nagari yang anggotanya terditi dari pangulu andiko sebagai wakil paruik, maupun suku. Dengan demikian dapatlah dikatakan nagari pada hakekatnya adalah suatu pemerintahan berbentuk republik otonom.

Demikian secara garis besarnya tingkatan-tingkatan daripada susunan masyarakat Minangkabau, mulai dari jurai sampai Nagari.
Fatwa adat :

Rang gadih manggarek kuku
Pangarek pisau sirauik
Dikarek batuang tuonyo
Batuang tuo elok kalantai
Nagari bakaampek suku
Didalam suku babuah paruik
Kampuang dibari ba nan tuo
Rumah dibari batungganai.

Indonesianya :
Anak gadis memotong kuku
Pemotong pisau siraut
Dipotong bambu tuannya
Banbu tua bagus untuk lantai
Negeri yang empat suku
Dalam suku berbuah perut
Kampung diberi ketua
Rumah diberi tungganai.


F. KELARASAN
Dalam logat bahasa minang, perkataan laras disebut lareh, adapun arti laras ialah sebagai yang kita pakai sekarang ini juga, Selaras artinya seukuran atau seimbang, diselaraskan artinya dipersamakan.

Menurut pengertian adat, kelarasan berarti suatu sistem pemerintahan, yaitu suatu tata cara adat yang sudah turun temurun yang dikenal dengan nama adat ketumanggungan (Koto- Piliang) dan adat perpatiah nan sabatang (Bodi Chaniago). Kedua sistem inilah yang dipakai para pengulu dalam mengatur dan menjalankan pemerintahan nagari diseluruh alam Minangkabau. Oleh Belanda kemudian kelarasan dijadikan suatu daerah administrative dengan jalan menyusun dan mengelompokkan nagari-nagari yang seadat selembaga (selaras), sehingga lareh nan duo (dua kelarasan) akhirnya menjelma menjadi banyak kelarasan, dengan tuangku lareh (lareh hoofd) sebagai kepalanya.

Menurut riwayat, timbulnya kelarasan di minangkabau adalah sebagai akibat dari perselisihan pendapat antara Ninik nan Baduo (ninik yang berdua), yaitu datuak Ketumanggungan dan Datuak Parapatiah nan sabatang. Perselisihan itu timbul ketika raja Adityawarman hendak memaksakan kemauannya untuk mendirikan kerajaan Pagaruyung. Rencana ini mendapat tantangan dari datuak Parapatiah nan sabatang.
Peretentangan ini dilukiskan dalam pepatah adat sebagai berikut.

Datanglah anggang dari lauik
Ditembak datuak nan baduo
Badia sadatak duo dantumnyo

Indonesianya :
Datanglah enggang dari laut
Ditembak datuk yang berdua
Bedil sedetak dua dentumnya.

Yang dimaksud enggang dari laut ialah kedatangan ekspedisi Adityawarman dengan melalui laut, Ditembak datuk yang berdua artinya diributkan oleh dua saudara Datuk katumangguangan dan Datuak Parapatiah nan sabatang, Bedil sedetak dua dentumnya maksudnya diantara kedua datuk tidak ada kata sepakat.

Menurut Datuk Katumanggunan, bentuk negara yang didirikan itu adalah kerajaan, segala kekuasaan berada ditangan raja, karena raja yang berdaulat. Di bawah raja hanya ada Basa (menteri) sebagai pembantu raja.

Tetapi Datuak Parapatiah Nan Sabatang menolak bentuk kerajaan yang berdaulat kepada seorang raja. Ia mempertahankan adat lama pusaka usang, yaitu beraja kepada mufakat, hanya kata mufakatlah yang berdaulat, dan mufakat itulah kata ganti Raja.

Akhirnya perbedaan pendapat itu memuncak menjadi suatu pertentangan yang sengit, dimana Datuak Katumanggungan tetap mempertahankan kata pilihannya(asal kata Koto-Piliang) yaitu system kerajaan. Begitu juga Datuak Parapatiah nan sabatang tidak mau beranjak dari pilihannya semula, ia tetap mempertahankan system kedaulatan rakyat atas dasar musyawarah dan mufakat, bagi dia Budi yang berharga (asal kata Bodi Chaniago), oleh karena itu pula dia tidak mau mengakui Adityawarman sebagai raja alam Minangkabau.

Kelarasan Koto Piliang adalah mewakili adat lembaga yang bersifat konservatif, lazimnya disebut adat beraja (adaik barajo-rajo).
Yang menjadi adat pusaka adalah :

Bajanjang naiak batanggo turun
Bapucuak bulek baurek tunggang
Batali buliah dihirik
Batampuak buliah dijinjiang

Indonesianya :
Berjenjang naik, bertangga turun
Berpucuk bulat berurat tunggang
Bertali boleh ditarik
Bertampuk boleh dijinjing

Dengan system adat datuak katumanggungan dijumpai adanya tingkatan-tingkatan penguasa sebagai pembantu raja (berjenjang naik bertangga turun). Juga sudah dikenal adanya pembagian kekuasaan. Ada tiga kekuasaan yang penting, yaitu dikenal dengan anma Rajo nan tigo selo, yang pertama rajo di buo (raja adat), kedua Rajo disumpua kuduih (Raja ibadat) dan yang ketiga Rajo Pagaruyuang (Rajo Alam) yang dijadikan daulat yang dipertuan dalam lareh koto piliang sebagai instansi tertinggi dalam membanding hukum. Dibawah rajo nan tigo selo ada lagi Basa Ampek Balai. Demikian juga sistem pemerintahan nagari, kedudukan pengulu juga bertingkat tingkat, ada pengulu pucuak, pengulu suku dan pengulu andiko

Berbeda dengan system adat Datuak Katumanggungan, maka menurut adat Parapatiah Nan Sabatang, pemerintahan nagari dijalankan secara kolektif oleh para pengulu andiko didalam suatu kerapatan nagari. Disini tidak dijumpai adanya tingkatan pengulu semua berandiko, “duduak samo randah tagak samo tinggi (duduk sama rendah berdiri sama tinggi). Salah seorang diantara mereka dipilih jadi ketua, biasanya orang yang sudah tua dalam usia dan pengalaman, sehingga dikatakan dalam pepatah :

bajalan ba nan tuo
Balayia banangkodo

Indonesiannya :
Berjalam pakai pemimpin
Berlayar pakai Nakhoda

Didahulukan selangkah ditinggikan seranting
Pengertian berjenjang naik bertangga turun sepanjang adat Bodi Chaniago (Parapatiah Nan Sabatang) ialah :

Kamanakan barajo ka mamak
Mamak barajo ka pangulu
Pangulu barajo ka mufakat
Mufakat barajo ka kabanaran
Menurut alur dan patut

Indonesianya :
Kemanakan beraja ke mamak
Mamak beraja ke pengulu
Pengulu beraja ke mufakat
Mufakat beraja ke kebenaran
Menurut alur dan patut.

Sebagai kesimpulan, ada dua macam raja menurut pandangan orang minangkabau, pertama “raja alam" yaitu sekata alam mendirikannya, kedua adalah raja yang berdiri sendirinya yaitu “alua jo patuik (Alur dan Patut) yang bermakna “kebenaran" Inilah “Rajo nan sabana rajo" (raja yang sebenar raja).

G. LUHAK
Menurut Tambo alam Minangkabau, luhak artinya lubuk. Pada masa dulu didaerah pariangan (kampung asal orang Minangkabau) terdapat tiga buah lubuk/sumur. Kemudian karena negeri sudah sempit, mereka berpencar keluar untuk mencari daerah baru. Daerah daerah baru yang ditempati tersebut diberinama sesuai dengan nama lubuak mereka masing, yaitu Luhak Tanah Data, Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Koto.

Pembagian daerah Minangkabau atas tiga daerah grafis itu oleh Belanda dilanjutkan dengan mengunakan istilah “afdeling" dibawah pimpinan Assistant Residen yang oleh penduduk dinamakan “Tuan Luhak".

H. RANTAU
Diluar daerah yang tiga luhak ini dinamakan “Rantau" meliputi daerah pesisir barat, juga termasuk daerah pesisir timur seperti Rokan, Siak, Kampar, Batang Hari dan Negeri sembilan di Malaysia Barat. Daerah rantau dipimpin oleh pangulu (Memakai adat Bodi Chaniago)



sumber: Buletin Sungai Pua No 46 April 1994

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Struktur Masyarakat Minangkabau Bagian 2"

Post a Comment