PADANG DI ZAMAN LAMPAU, seperti halnya sekarang, sudah mempunyai beberapa sentra pasar yang juga memiliki komplek pertokoan. Salah satu di antaranya adalah Pasar Mudik (atau ‘Pasa Mudiak’ dalam bahasa Minangkabau ragam lisan). Sentra pasar yang lain adalah Pasar Gedang (‘Pasa Gadang’), Kampung Cina dan Kampung Jawa.
Nama Pasar Mudik jadi tetap terngiang di telinga kita karena sebait pantun dalam lagu yang didendangkan artis Minang Asbon: “Rang Pasa Mudiak saluak badeta / Ka rimbo mamikek balam / Antah dek Adiak sayang tak sudah / Tibo di ambo tambah mandalam”.
Nama Pasar Mudik jelas berarti pasar yang letaknya di atau agak ke mudik. Pasar ini mendapat nama demikian mungkin karena letaknya memang agak ke hulu sedikit dari muara Batang Arau. Tampaknya Pasar Mudik terbentuk karena efek dari proteksi kawasan Pelabuhan Muara Padang oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Di kawasan pelabuhan itu tidak boleh didirikan sembarang bangunan, sehingga muncullah pasar-pasar di sekitar pelabuhan itu, antara lain Pasar Mudik. Perkembangan kota Padang sendiri dapat dilihat dalam studi Freek Colombijn, Paco-Paco Kota Padang: Sejarah Sebuah Kota di Indonesia pada Abad ke-20 dan Penggunaan Ruang Kota (Yogyakarta: Ombak, 2006; aslinya dalam bahasa Inggris, 1994).
Foto rubrik ‘Minang Saisuak’ Singgalang Minggu kali ini menampilkan pemandangan Pasar Mudik tempo doeloe. Foto berukuran 9,5×15 cm. in dibuat tahun 1930. Tidak ada informasi siapa mat kodak yang pembuatnya, tapi foto ini tampaknya semacam kartu pos bergambar (prentbriefkaart) yang dikirim oleh seorang Belanda yang tinggal di Hindia Belanda, kemungkinan di Padang, kepada kerabatnya di Belanda. Foto-foto seperti ini banyak ditemukan di perpustakaan-perpustakaan di Belanda, yang biasanya disumbangkan dari koleksi surat-surat pribadi orang-orang yang kerabatnya dulu pernah tinggal di Hindia Belanda.
Dalam foto ini kelihatan sebuah mesjid di sebelah kiri, dan di sebelah kanan jalan berderet komplek pertokoan. Ini menandakan bahwa di Pasar Mudik dulunya banyak juga orang yang beragama Islam menjadi pedagang dan penggalas. Catatan sejarah menunjukkan bahwa pedagang di Pasar Mudik memang agak heterogen: kebanyakan berasal dari etnis Minangkabau sendiri, ada juga pedagang keturunan Arab, India dan Tionghoa. Beberapa surat kabar yang pernah terbit di Padang juga berkantor di Pasar Mudik.
Sisa-sisa kejayaan Pasar Mudik masih tampak sampai kini, walau kelihatan mundur jauh dibandingkan dengan masa lampau. Beberapa bangunan tua di sana kelihatan masih berdiri, yang lainnya sudah diruntuhkan dan diganti dengan bangunan baru.
Pasar Mudik adalah salah satu bagian dari kota tua Padang yang perlu dipelihara, yang tentu banyak manfaatnya, misalnya untuk wisata sejarah. Namun, di tengah euforia modernisasi tak berkeruncingan dan ‘teologi uang’ dengan daya rusaknya yang luar biasa yang sedang melanda negeri ini, mungkin tak banyak orang yang peduli pada pelestarian kota-kota lama seperti Pasar Mudik. Juga Pemda kota ini, yang meluncurkan slogan “Padang Kota Tercinta, Kujaga dan Kubela”, namun tidak mangasan dalam prilaku dan kebijakan politik mereka.
sumber
sumber