SETELAH pendidikan sekuler ala Eropa untuk pertama kalinya diperkenalkan di Padang pada 1825, respon masyarakat Minangkabau terhadap sistem pendidikan yang diperkenalkan pemerintah kolonial Belanda itu cukup positif (lihat: Elizabeth E. Graves, 1981; terjemahan Indonesia, 2007). Namun, untuk waktu yang lama ‘sikola Ulando’ itu hanya diperuntukkan bagi anak lelaki saja, terutama dari golongan elit, seperti anak para datuk, tuanku laras, dan demang, hingga akhirnya pada suatu ketika datang seorang gadis cilik Minangkabau mendobraknya. Gadis cilik itu adalah Sjarifah Nawawi yang kodaknya kita tampilkan dalam rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini.
Sjarifah lahir di Bukittinggi tahun 1896. Ia adalah anak Engku Nawawi Soetan Makmoer (1859-1928), guru pribumi yang terkenal di Sekolah Radja (Kweekschool) Fort de Kock (Bukittinggi). Ibunya bernama Chatimah. Sjarifah sembilan orang bersaudara: 6 laki-laki dan 3 perempuan.
Sjarifah disekolahkan oleh ayahnya ke Europeesche Langere School (ELS) di Bukittinggi, kemudian ke Kweekschool, juga kota itu, tahun 1907, tempat ayahnya mengajar. Dalam salah satu foto peringatan Kweekschool tahun 1908 kelihatan Sjarifah kecil berdiri cengeh di antara puluhan murid-murid lelaki sekolah itu. Mungkin banyak teman-teman lelaki Sjarifah yang menyukainya. Tapi mungkin tak ada yang berani berhadapan dengan bapaknya, Engku Nawawi yang, meski bertubuh agak kecil, berwibawa dengan kumis meranting betung. Konon Tan Malaka yang mungkin setahun lebih awal masuk Kweekschool daripada Sjarifah ‘naksir’ berat kepada gadis itu. Tapi kumis Engku Nawawi yang berdengung itu mungkin membuatnya gentar mendekati Sjarifah.
Tamat dari Kweekschool, Sjarifah dan saudara perempuannya, Syamsiar, melanjutkan studi mereka ke Salemba School di Batavia. Di kota itu Syarifah berkenalan dengan Bupati Cianjur, R.A.A.M. Wiranatakoesoema, yang kemudian menikahinya pada bulan Mei 1916. (Wiranatakoesoema menceraikan istri pertamanya karena ingin menikahi Sjarifah).
Tapi perkawinan itu akhirnya bubar: tanggal 17 April 1924, ketika sedang liburan bersama anak-anaknya di Bukittinggi, Sjarifah menerima telegram dari suaminya yang sedang berada di kapal antara Colombo dan Aden dalam perjalanan beliau naik haji ke Mekah. Isinya: melarang Sjarifah kembali ke Bandung “untuk memangku jabatan Raden Ayu” karena ia dinilai “kurang luwes dan kurang bisa menyesuaikan diri dengan tradisi tata hidup Sunda”, demikian tulis anaknya, Mien Soedarpo (1994:11) tentang perceraiab ibunya dan ayahnya. Keputusan R.A.A.M. Wiranatakoesoema menceraikan Sjarifah menuai banyak kecaman, yang muncul di koran-koran Belanda maupun pribumi, termasuk oleh H. Agus Salim. Sjarifah kemudian menjadi single parent untuk 3 anaknya: Am, Nelly, dan Minarsih (Mien) yang kemudian menikah dengan Soedarpo Sastrosatomo, seorang tokoh pejuang kemerdekaan.
Belakangan Mien Soedarpo (1994) menulis bahwa perceraian ibu dan ayahnya sepertinya lebih disebabkan oleh perbedaan mencolok antara budaya Sunda dan Minangkabau: Sjarifah yang berasal budaya Minangkabau yang ‘demokratis’ dan tidak mengenal segregasi sosial yang ketat tampaknya tak tahan hidup dalam lingkungan kaum Menak Sunda yang sangat feodal (ini terefleksi dalam telegram perceraian yang diterima ayahnya tahun 1924).
Tahun 1924-1937 Sjarifah dan anak-anaknya tinggal di Bukittingi. Ia bekerja sebagai kepala sekolah De Meisjes Vervolg School (Sekolah Lanjutan untuk Anak Perempuan) di kota kelahirannya itu. Setelah kematian ayahnya (1928) dan ibunya (1937), Sjarifah hijrah ke Batavia. Anak-anaknya bersekolah di HBS Koning Willem III (di Salemba sekarang). Di Batavia, Sjarifah menjadi direktur Sekolah Kemajuan Istri di Meester Cornelis (Jatinegara), dan mengundurkan diri dari jabatan itu menyusul masuknya Jepang ke Indonesia.
Sjarifah terus mengabdikan hidupnya “untuk memajukan pendidikan wanita dan anak-anak. Ibu aktif di Fujinkai, organisasi umum wanita yang ditopang oleh Jepang, ia kemudian aktif di Perwari, organisasi wanita yang didirikan tahun 1945.” Ia pun “meneruskan kegiatan pendidikannya dan memberikan pengajaran kepada anak-anak perempuan serta wanita muda yang tidak mempunyai biaya pendidikan.” Bahkan ia “menyulap” rumahnya menjadi sekolah, demikian tulis Mien Soedarpo (1994:53) tentang ibunya.
Sjarifah Nawawi meninggal di Jakarta pada 17 April 1988 dalam usia 91 tahun. Ia dalah sebuah simbol emansipasi kaum wanita Minangkabau. Lama potretnya tergantung di gedung Panti Trisula Perwari sebagai pengakuan atas jasa-jasanya yang tanpa pamrih memajukan pendidikan bagi anak-anak perempuan yang putus sekolah.
sumber
sumber