JAHJA DATOEK KAJO mungkin boleh dibilang sebagai pejuang bahasa Indonesia. Dia adalah penganjur gigih penggunaan bahasa Indonesia di Volksraad (Dewan Rakyat) di zaman kolonial. Biografi dan kiprah politik Jahja dapat dibaca dalam buku Azizah Etek dkk., Kelah Sang Demang: Jahja Datoek Kajo, Pidato Otokritik di Volksraad 1927-1939 (Jakarta: LKiS, 2008). Dalam buku ini para penulis menghimpun naskah-naskah pidato Jahja yang disampaikannya dalam sidang-sidang Volksraad.
Jahja dua kali terpilih mewakili masyarakat Minangkabau di Volksraad: periode 1927-1931 dan 1931-1935. Jahja lahir di Koto Gadang pada 1 Agustus 1874 (ayah: Pinggir, bersuku Sikumbang; ibu: Bani, bersuku Piliang). Masa muda Jahja dijalaninya bersama mamaknya, Lanjadin Khatib Besar gelar Datoek Kajo, yang pernah menjabat sebagai kepala gudang kopi di Baso.
Pada 1888 Jahja belajar magang di kantor Residen Padang Darat di Fort de Kock. Lalu antara 1892-1895 ia magang sebagai leerlingschrijver (juru tulis magang) di Kantor Kontrolir Agam Tua. Gelar “Datoek Kajo” diterima Jahja dari kaumnya tgl. 11 Mei 1895.
Sebelum menjadi anggota Volksraad, Jahja menjabat sebagai Tuanku Laras IV Koto (1895), Kepala Laras Banuhampu (1913); Demang Bukittinggi (1914); Demang Payakumbuh (1915-1918); dan Demang Padang Panjang (1919-1928). Jahja kritis kepada atasan Belandanya: ia pernah terlibat konflik dengan Asisten Residen James (1915) dan Residen Sumatra’s Weskust, Whitlauw (1923) yang kebijakan politik dan ekonominya di Sumatra Barat menyusahkan rakyat Minangkabau. Sifat kritisnya tak berkurang selama ia menjabat sebagai anggota Volksraad di Batavia: misalnya ia mengeritik penangkapan para pemimpin Minangkabau, gaji kepala nagari, reserse Belanda yang over acting, dan penolakan orang Minang terhadap buku teks bahasa Minangkabau karya M.G. Emeis (lihat: Suryadi 2006).
Salah satu yang paling dikenang orang mengenai diri Jahja adalah konsistensinya menggunakan bahasa Indonesia dalam sidang-sidang Volksraad yang biasanya hanya memakai bahasa Belanda. “Pembitjaraan saja didalam sidang madjelis Dewan Ra’jat saja soeka didalam bahasa Indonesia, karena saja sendiri seorang Indonesier. [P]erasaan Indonsier tinggal diorang Indonesier, perasaan Belanda diBelanda”, katanya dengan lantang dalam pidatonya di Volksraad pada 30 Juni 1928. Kata-katanya itu merefleksikan ungkapan “bahasa menunjukkan bangsa”. Pers pribumi menjuluki Jahja “Djago Bahasa Indonesia di Volksraad” (lihat: Pedoman Masjarakat, 23-2-1938:160).
Jahja meninggal pada 9 November 1942 di Koto Gadang. Beberapa tahun sebelumnya meninggal, ia masih terpilih menjadi anggota Minangkabau Raad pada 1939 (Soeleiman 1939). Sifat kritis Jahja kepada Belanda tetap diwarisi oleh keluarganya. Koran Sinar Sumatra tahun 1940-an pernah melaporkan bahwa salah seorang anak lelaki Jahja diadili Belanda di Padang karena terpijak ranjau pers (pers delict).
Ada rancaknya sikap politik Jahja Datoek Kajo ditiru-tauladani oleh anggota DPR(D) kita yang citranya lebih identik dengan kemewahan, pelesiran (oh maaf, ‘studi banding) dan gelimang uang (korupsi) ketimbang kritisisme dengan pikiran jernih untuk membela rakyat yang diwakilinya.
sumber
sumber