Minang Saisuak #43 - Haji Abdul Gani Rajo Mangkuto: Bos ‘Mafia’ Kotogadang

haji-abdul-gadi-rajo-mangkuto

Rusli Amran (1986:201) menyebut orang ini sebagai kingmaker yang tak ada duanya di Sumatra Barat selama paroh kedua abad ke-19. Abdul Gani (lahir di Kotogadang tahun 1817) sudah dari kecil mendapat pendidikan Belanda, berkat bantuan Asisten Residen Steinmetz yang, selain penganjur utama pembukaan sekolah rakyat di darek, juga berhasil memadamkan Pemberontakan Batipuah berkat bantuan penduduk Kotogadang.

Abdul Gani kecil jadi pembantu di rumah Steinmetz. Rupanya dia cerdas dan rajin. Tahun 1856 dia disuruh membantu Van Ophuijsen membuka sekolah guru yang baru didirikan di Fort de Kock. Ia mengajar sebentar di sekolah itu, tapi kemudian cabut dari sekolah itu dan mendalami dunia swasta. Dengan dekingan Steinmentz Abdul Gani berhasil jadi pakus (pakhuis) kopi, jabatan basah pada waktu itu yang banyak sabetannya. Tak lama kemudian Abdul Gani sudah jadi orang kaya dan disegani. Dengan bantuan Steinmetz, dia bersama saudaranya, Abdul Rahman Dt. Dinagari Urangkayo Basa, berhasil menempatkan banyak sanak familinya di sekolah-sekolah rakyat yang baru dibuka dan juga kursi-kursi empuk di jajaran administrasi lokal bentukan Belanda seperti kepala laras, pakus, penghulu kepala, jaksa, jurutulis, dll. Di mana saja di Sumatra Barat ada sanak familinya yang berkuasa.

Berkat naluri bisnisnya yang tajam dan karena berkonco pelangkin dengan para pejabat Belanda, Abdul Gani berhasil meluaskan usaha bisnisnya: ia memenangkan tender pengangkutan kopi di beberapa trayek. Ibarat bos mafia, ia menempatkan orang-orangnya di mana-mana untuk melancarkan usaha bisnisnya. Para pejabat Belanda tak tahan godaan uang semirnya. Belakangan usaha bisnisnya makin melebar, termasuk jasa pengangkutan jemaah haji ke Mekah. Para pebisnis Indo, Cina dan Belanda sendiri gentar juga menghadapi bisnis Abdul Gani. Sumatra Courant edisi 18 Oktober 1876 pernah memuat laporan yang mengandung nada kekhawatiran para pengusaha swasta Belanda menghadapi sepak terjang bisnis Abdul Gani.

Uang dan politik sudah lama berkelindan. Mirip dengan Pilkada sekarang, Abdul Gani menantang Kepala Laras IV Koto, Datuak Kayo, dalam pemilihan kepala laras. Orang ini menyombong bahwa Abdul Gani, walau kaya berlindak, tak akan berhasil menyingkirkan kandidatnya yang tak lain adalah kemenakannya sendiri. Waktu itu perebutan jabatan kepala laras di Minangkabau sangat panas dan penuh intrik: tak lalu dandang di air di gurun ditanjakkan.

Abdul Gani menang: calonnya, yaitu kemenakannya sendiri, St. Janaid, yang baru berumur 16 tahun, diangkat menjadi Kepala Laras IV Koto. Ibarat sebuah rezim yang ditumbangkan, keluarga Datuak Kayo yang sedang menjabat mendadak disingkirkan, digantikan oleh anggota keluarga Abdul Gani. Mereka yang dilengserkan antara lain Jaksa St. Salim di Padang. Saudara Dt. Kayo itu digantikan oleh saudara Abdul Gani, Abdul Rahman Dt. Dinagari.
Abdul Gani meninggal di Kotogadang tanggal 29 Januari 1907. Rusli Amran (1986:205) yang menjadi rujukan tulisan ini menulis: Abdul Gani wajib dicatat sebagai “anak Minang terkaya di zamannya”. Bisnis dan politik perkoncoan dari dulu sudah ada dan modus operandinya sama saja. Belum yakin jugakah Anda bahwa sejarah sebenarnya memang berulang?


sumber

Subscribe to receive free email updates: