GURU memang cocok diberi gelar pahlawan tak dikenal itu. Entah apa jadinya manusia di dunia ini kalau tidak ada guru. Gurulah yang membebaskan manusia dari kebodohan. “Guru mati surek lah ilang, antah kama badan ka baraja lai”, demikian bunyi penggalan satu pantun Minangkabau yang menggambarkan pentingnya guru dalam kehidupan manusia. “Berguru kepalang ajar, bagai bunga kembang tak jadi” kata penggalan isi satu pantun Melayu klasik.
Ada guru yang lama terpendam dalam ingatan, tapi ada pula guru yang cepat terlupakan. Guru yang pintar sering lama teringat, juga guru yang ‘killer’. Tapi itu biasa. Bukankan sudah disebut dalam pepatah Minang, tak ado gadiang nan tak ratak, tak ado tupai nan tak gawa, untuk menggambarkan bahwa setiap manusia, termasuk guru, sesungguhnya tidak ada yang sempurna. Seseorang, juga guru, lama teringat dalam pikiran kita karena ada yang khas pada dirinya, mungkin yang khas itu baik (positif), mungkin juga yang buruk (negatif).
Rubrik ‘Minang Saisuak’ Singgalang Minggu kali ini menampilkan foto guru-guru Sekolah Radja (Kwekschool) di Fort de Kock (Bukittinggi). Foto ini dibuat tahun 1908. Dalam foto ini terlihat empat orag guru Eropa (Belanda) dan tiga orang guru pribumi (pakai jas tutup dan saluak). Dari kiri ke kanan: C.F. Ijspeert, Taib, T. Kramer (guru ke-2), B.J. Visscher (Direktur), Nawawi Soetan Makmoer (yang bertubuh agak kecil), Ibrahim, dan G.H. Horensma.
Dalam sistem pendidikan kolinial (coloniale onderwijs) pada masa itu, posisi guru pribumi dan guru Belanda dibedakan. Guru Belanda sendiri ada dua tingkat: direktur dan guru kedua. Guru pribumi berada di tingkat paling bawah. Namun, mereka yang berprestasi mendapat kesempatan untuk dipromosikan dan turne ke daerah lain. Dalam sejarah Kweekschool Fort de Kock, Engku Nawawi Soetan Makmoer tercatat sebagai guru pribumi yang paling pintar.
Dulu guru begitu dihormati, baik oleh murid maupun oleh masyarakat. Sekarang wibawa guru kadang-kadang dilecehkan oleh muridnya sendiri. Tapi guru-guru yang dilecehkan oleh murid-muridnya itu mungkin sering ‘kencing berdiri’; guru yang tidak pernah melakukannya dijamin akan tetap dihormati oleh murid-muridnya.
sumber
sumber