Pemberontakan dalam Sejarah Minangkabau

 
Minangkabau yang dikenal sebagai daerah yang telah melahirkan banyak tokoh nasional, ternyata tak bisa dilepaskan dari beberapa kali pemberontakan yang pernah terjadi di ranah ini. Istilah “pemberontakan” tak selamanya harus dimaknai negatif. Contoh kasus adalah pemberontakan yang pernah dilakukan oleh rakyat Minang. Pemberontakan yang tersebut dilakukan dengan maksud untuk mengembalikan kebenaran dan keadilan yang telah hilang ditengah-tengah masyarakat pada saat itu.

Dalam sejarahnya Rakyat Minangkabau melakukan pemberontakan terhadap tata aturan yang dibangun oleh para penguasa zalim pada masanya. Pada saat itu mungkin anak negeri ini merasa bahwa para penguasa tidak lagi memberikan kebaikan dan kesejahteraan untuk masyarakat, maka perlawanan dengan “pemberontakan” pun mereka lakukan. Sehingga makna pemberontakan disini adalah sebuah bentuk perlawanan terhadap kesewenangan penguasa yang telah mengabaikan kesejahteraan masyarakat. Maka  Minangkabau selalu terdepan berpartisipasi untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa ini.

Setidaknya tercatat empat kali pemberontakan besar yang pernah dilakukan masyarakat Minang untuk memperjuangkan nilai-nilai yang mereka anggap memang pantas untuk diperjuangkan. Pertama adalah pemberontakan yang dilakukan oleh kaum agama pada perang Paderi. Pada awal mulanya peberontakan ini adalah upaya untuk memurnikan nilai-nilai Islam yang telah banyak menyimpang di tengah-tengah masyarakat. Namun dalam perkembangannya pemberontakan ini terus meluas menjadi perlawanan rakyat Minangkabau melawan penjajah Belanda yang ketika itu mulai memperkuat tanah jajahannya. Pemberontakan ini terjadi dalam rentang waktu 1820-1837.

Pemberontakan kedua yang pernah dilakukan oleh rakyat Minangkabau adalah pemberontakan terhadap pemberlakuan pajak oleh pemerintah koloni Belanda kepada masyarakat pada tahun 1908. Pemberontakan ini mulanya dipelopori oleh para ulama tarikat di pedalaman Minangkabau. Hal ini mereka lakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap Belanda yang ingin menerapkan Pajak langsung kepada masyarakat setempat. Dan hal tersebut bertentangan dengan isi kesepakatan plakat panjang yang dulunya telah mengakhiri perang paderi.

Selanjutnya adalah pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada akhir tahun 1926 hingga awal tahun 1927 yang dipusatkan di Silungkang. Ide Pemberontakan ini pada mulanya merupakan hasil dari kesepakatan para petinggi PKI se Indonesia yang  berencana melaksanakan pemberontakan di seluruh Indonesia untuk melawan penjajah. Sasaran utama dari pemberontakan ini adalah untuk menangkap dan membunuh pejabat pemerintah, pejabat pribumi, dan kulit putih.  Namun karena kurang matangnya persiapannya mengakibatkan  kegagalan yang harus dibayar dengan ditangkapnya sejumlah pucuk pimpinan PKI di Minangkabau pada masa itu.

Pemberontakan yang tak kalah bersejarahnya dan telah menjadi catatan hitam untuk ranah ini adalah pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indoneseia (PRRI). Pemberontakan ini terjadi karena walau pada saat itu kemerdekaan telah dirah, namun pemerintah pusat bersikap otoriter dan sentralis, dimana pusat selalu bernafsu menguasai dan menundukkan daerah. Hal ini dimungkinkan pengaruh budaya politik daerah asal presiden waktu itu yang sentralistis hierarkis, dimana mereka meyakini bahwa keutuhan dan kemakmuran Indonesia tergantung pada kuatnya kontrol pusat.

PRRI saat itu mulanya hanyalah sebagai tanda peringatan kepada pemerintah pusat yang sudah mulai bersikap otoriter dan sentralistis. Namun sayang seribu kali sayang, pemerintah pusat menjawab teguran rakyat Minang itu dengan mengirim bala tentara untuk meluluh-lantakkan ranah Minang dan memburu para tokoh PRRI. Pada saat itu ada kebimbangan bagi rakyat Minang untuk melawan TNI yang notabene adalah saudara setanah air. Maka keputusan yang mereka ambil adalah membiarkan TNI menduduki ranah Minang tanpa perlawanan dari rakyat Minang.

Karena PRRI telah meninggalkan trauma mendalam bagi rakyat Minang, maka setelah kejadian tersebut Minangkabau secara perlahan tapi pasti mulai meninggalkan ranah politik, dan berupaya memasuki medan pembangunan ekonomi. Masyarakat politik Minang kehilangan harta yang paling berharga, yaitu sikap kritisnya terhadap penguasa. Karakter politik Minang yang dulunya menekankan desentralisasi dan egaliter dalam politik Indonesia merdeka mulai lenyap dari pentas politik nasional. Mungkin ini sesuai dengan pepatah Minang yang mengatakan, ”sakali aie gadang, sakali tapian barubah”.

Semoga saja hilangnya generasi kritis di minangkabau tidak terus berlanjut di kemudian hari. Biarlah sejarah pahit yang berlalu menjadi pelajaran berharga untuk anak negeri ini. Pemberontakan yang pernah bergelora di ranah ini adalah sebagai bukti bahwa ranah ini adalah ranah yang kritis terhadap kezaliman yang dilakukan para penguasa pada masyarakatnya. Hendaknya sikap kritis ini perlu dilanjutkan oleh generasi Minangkabau berikutnya.

Subscribe to receive free email updates: