Karena struktur geopolitiknya yang khas, setiap nagari di Minangkabau memiliki pasar (balai/pakan).
Namun dalam perkembangannya, banyak pasar nagari akhirnya mati.
Nagari-nagari yang letaknya strategis, pasarnya akan berkembang.
Kota-kota penting di Sumatera Barat di masa sekarang, seperti
Bukittinggi, Payakumbuh, Solok, dan lain-lain, pada awalnya adalah
pasar-pasar (pakan-pakan) nagari.
Kali ini rubrik ‘Minang Saisuak’
menurunkan sebuah foto klasik yang menggambarkan suasana pasar di Fort
van der Capellen yang menjadi cikal-bakal kota Batusangkar sekarang. “Markt in Fort van der Capellen, Padangse Bovenlanden, Sumatra`s Westkust”
(pasar di Fort van der Capellen [sekarang: Batusangkar], Padang Darat,
Sumatra Barat), demikian judul foto yang berukuran 20 x 27 cm. ini. Foto
ini dibuat sekitar 1895. Mat kodak-nya tidak diketahui.
Terlihat suasana keramaian di pasar ini.
Di tengah pasar ini tumbuh sepokok beringin yang rindang. Itulah salah
satu ciri khas pasar di Minangkabau pada masa lampau, sebagaimana
disaksikan oleh pastor M. Buys di darek tahun 1870-an (lih: M. Buys, Twee jaren op Sumatra’s Westkust,
Amsterdam: A. Akkeringa, 1886:60) dan catatan J.L. van der Toorn, ‘Dari
hal pekan di Minangkabau’ (1898:44). Generasi sebelum perang mungkin
masih mengingat adanya pohon beringin di tengah pasar di daerah
masing-masing, tempat para “parewa balai” bermain sipak rago setelah pasar usai di sore hari.
Di samping melindungi manusia (pengunjung
pasar) dari terik sinar matahari dengan daunnya yang rindang-rimbun,
pohon beringin juga memiliki makna simbolis dan mistis dalam banyak
kebudayaan lokal di Indonesia. Di Minangkabau, misalnya, kita semua
sudah tahu bahwa beringin adalah simbol pemimpin yang kuat dan pengayom
masyarakat: ‘baringin di tangah koto, ureknyo tampaik baselo, batangnyo tampaik basanda, daunnyo tampaik balinduang’ ,.., dst.).
Pasar di suatu nagari diadakan pada hari tertentu. Itulah yang disebut sebagai hari balai atau hari pakan. Masing-masing nagari mempunyai hari pakan
yang berbeda. Oleh karena itu pasar-pasar mingguan tersebut sering juga
disebut menurut hari pekannya, misalnya Pakan Kamih, Pakan Salasa,
Pakan Rabaa, dll. Sistem ini telah melahirkan kelompok pedagang keliling yang melakukan aktivitas manggaleh babelok
(berdagang keliling). Mereka menggalas dari pasar ke pasar, dari Senin
hingga Seninnya lagi. Hari pasar dan suasana di pasar di nagari-nagari
itu sering dinukilkan dalam teks-teks lisan Minangkabau seperti kaba dan pantun.
Sebuah pasar mingguan di
Minangkabau juga mendapat ciri khas karena satu jenis makanan yang enak
yang biasa dijual di pasar itu, misalnya ketupat enak di pasar Pitalah,
ketupat gulai tunjang di pasar Kuraitaji, katupek sasak
di pasar Sicincin, atau gulai kambing yang enak di pasar Pakandangan.
Ini adalah unsur budaya Minangkabau, dalam konteks ini budaya kuliner,
yang tentu menarik pula didokumentasikan. Apakah makanan yang menjadi ciri khas pasar Batusangkar?
Suryadi - Leiden, Belanda. (Sumber foto: Tropenmuseum, Amsterdam) | Singgalang, Minggu, 26 Mei 2013
0 Response to "Minang Saisuak #129 - Pasar Batusangkar (c. 1895)"
Post a Comment