“Baringin rindang ditangah koto – ureknyo tampek baselo – batangnyo tampek basanda – pucuaknyo cawang ka langik – dahannyo tampek bagantuang – daunnyo perak suaso – bungonya ambiak ka suntiang – buahnyo buliah dimakan – tampek bataduah katiko hujan – tampek balinduang katiko paneh”
Demikianlah petatah-petitih yang menggambarkan tentang lambang seorang pemimpin di Minangkabau. Lambang yang diakui sejak dari nenek moyang kita. Dikhidmati baik oleh ninik mamak maupun anak-kemenakan. Jika kita renungkan, mengapa pohon beringin yang dijadikan sebagau lambang keagungan seorang pemimpin di Minangkabau, maka akan kita temui jawabannya bahwa terdapat begitu banyak sifat-sifat baik pada pohon beringin tersebut.
Beringin bukanlah sejenis belukar yang tumbuh menumpang di pinggir jalan, namun beringin adalah sebatang pohon besar yang rampak rampai tumbuh megah. Karena rindangnya maka pohon beringin dimuliakan. Tumbuh dengan rindangnya dan menambah semarak pohon-pohon yang lain disekelilingnya. Demikianlah seorang pemimpin, ia adalah orang yang dimuliakan karena kelebihan yang dimilikinya. Disebabkan oleh kemuliaanya itulah seorang pemimpin selalu didahulukan selangkah, ditinggikan seranting.
Akar pohon beringin yang panjang berjela-jela tumbuh terhunjam di dalam tanah. Batang yang yang tegak teguh melambangkan pendirian, sehingga tidak akan goyah bila dijadikan tempat bersandar. Seorang pemimpin juga harus memiliki pendirian yang kuat dan tidak mudah digoyah ataupun dirayu oleh sipapun. Adanya tempat bersandar meneguhkan hati dan menambah giat dan liat seseorang yang memerlukannya. Dahannya tempat bergantung, dan tidak akan patah bila dijadikan tempat bergantung.
Daunnya perak suaso bermakna bahwa pohon beringin itu berkecukupan dan bukan seperti benalu yang menggantungkan hidupnya dengan membelit tanaman lain. Karena tidak berkekurangan maka pohon beringin itu tetap teguh pada akarnya. Demikian juga dengan seorang pemimpin, tidak layak bagi seorang pemimpin untuk menggantungkan hidupnya dengan orang lain. Pemimpin harus mandiri agar memiliki wibawa bagi orang yang dipimpinnya.
Bunga pohon beringin ditafsirkan sebagai perhiasan yang tidak hanya indah, tetapi dapat dijadikan sunting. Ini berarti bunga pohon beringin tersebut berguna langsung sebagai penghias hidup masyarakat. Buah bermakna amal perbuatan sebagai hasil karya. Sebaik-baik ilmu itu diamalkan, ilmu yang tidak diamalkan ibarat pohon kayu yang tiada berbuah. Seorang pemimpin harus memiliki ilmu, dan ilmu tersebut selalu siap diamalkannya serta dibagikannya kepada orang lain.
Karena beringin itu berkecukupan, mempunyai daun, bunga dan buah, maka ia bersifat memberi sewaktu-waktu. Pohon beringin mempunyai daya penarik, sehingga ia menyediakan diri untuk tempat berteduh di saat hujan atau tempat berlindung ketika panas terik. Demikian pula halnya dengan seorang pemimpin, ia harus menaungi orang-orang yang dipimpinnya. Memberikan perlindungan dan keamanan untuk orang yang dipimpinnya.
Namun bagaimanakah kepemimpinan di Minangkabau saat ini? Sepertinya ninik mamak, para penghulu dan orang Minang saat ini tengah bernostalgia untuk kembalinya pemimpin yang kuat dan berwibawa seperti sebelum masuknya penjajah. Berwibawa seperti era kerajaan Pagaruyung dan sebelum bercokolnya penjajah Belanda di ranah Minang. Pada saat itu sistem musyawarah untuk mufakat mempermantap kekuasaan pemimimpin Minang pada masa lalu, karena mereka berhasil menggalang partisipasi publik.
Memutuskan kebijakan dengan musyawarah, berdasarkan alua jo patuik, dan alam takambang jadi guru menjadikan kepemimpinan di Minangkabau demikian dihormati pada saat itu. Karena mereka juga menghargai dan sangat memperhatikan anak kemanakannya. Namun akhir-akhir ini konflik kepentingan sangat terasa dengan menjamurnya partai politik. Adab, sopan santun, budi bahasa, raso jo pareso, lamak di awak katuju di urang sepertinya tidak lagi jadi pakaian sehari-hari pemimpin Minangkabau.
Dahulu tidak ada warga masyarakat yang tidak berguna. Semua orang dihargai menurut kemampuannya. Harta tidak terlalu dipermasalahkan karena kehidupan masyarakat di nagari dari pertanian dan perdagangan tradisional tidak menimbulkan kecemburuan sosial seperti era kapitalistik sekarang .Dahulu budi nan ditanyo, kini ameh nan paguno. Tanpa budi, kalau seseorang kaya, ia tidak akan dipedulikan dan orang pun tidak akan meminta kekayaanya, dan kalau ia cadiak, maka cadiak sendiri sajalah, orangpun tidak akan bertanya.
Harapan untuk memiliki pempimpin yang kuat dan berwibawa tentu akan terus ada dalam diri orang Minang. Semoga dengan terpilihnya pemimpin baru di Sumatera Barat yang akan menahkodai Sumbar untuk lima tahun ke depan mampu memperbarui wajah Sumbar yang lebih bermartabat dan bisa mensejahterakan masyarakat. Mambangkik batang tarandam yang selama ini tengah terkubur dalam. Mengembalikan marwah Sumbar yang telah lama terbusai dan terinjak digilas zaman.