Masyarakat Nagari Garabak Data, Keca matan Tigo Lurah, Kabupaten Solok sejak Indonesia merdeka, belum pernah tersentuh derap pembangunan. Berjuta derita terpendam di daerah itu.
Bagi warga di sana, aspal menjadi barang langka. Akses jalan yang menghubungkan dengan Talang Babungo, hanya berupa jalan tanah. Musim hujan, jalan sulit dilewati karena berkubang lumpur.
Jalan yang menyusuri perbukitan juga terjal. Kuda beban merupakan satu-satunya alternatif dalam pengangkutan barang. Transportasi manusia, bisa menggunakan jasa ojek. Tapi, ongkosnya Rp120 ribu sekali jalan. Meski menaiki sepeda motor, penumpang tetap lebih banyak berjalan kaki ketimbang duduk di atas motor.
Jalan yang menyusuri perbukitan juga terjal. Kuda beban merupakan satu-satunya alternatif dalam pengangkutan barang. Transportasi manusia, bisa menggunakan jasa ojek. Tapi, ongkosnya Rp120 ribu sekali jalan. Meski menaiki sepeda motor, penumpang tetap lebih banyak berjalan kaki ketimbang duduk di atas motor.
Derita warga Garabak Data, dimulai dari jalan yang bagaikan kubangan kerbau di ruas sepanjang 30 kilometer. “Rasanya kami ingin marah pada republik ini. Sejak merdeka, kami tak pernah disentuh aspal,” kata Muhammad Dahar, warga di sana kepada Singgalang.
Menurut dia, Garabak Data yang memiliki 1.198 penduduk, juga warga negara Indonesia yang layak diperlakukan sama dengan penduduk di daerah lain.
Hasan Basri, warga lainnya mengemukakan, akibat ketiadaan akses jalan, tak banyak yang bisa diperbuat warga. Meski masyarakat menanam padi, namun setelah panen mau diapakan. Hal serupa berlaku bagi komoditas pertanian lainnya.
Bila beras dijual ke Talang Babungo, maka butuh ongkos angkut dengan kuda beban sebesar Rp2 ribu perkilogram. “Itu baru ongkos angkut beras. Belum ongkos ojek,” katanya.
Hasan Basri tak terkadang tak habis pikir. Kalau warga punya duit, juga tak tahu mau diapakan uang itu. Sebab, bila ke pasar, setidaknya harus membawa Rp1 juta.
Butuh uang sebanyak itu, karena untuk transportasi dengan ojek saja sudah habis Rp300 ribu, termasuk kebutuhan makan atau minum. Belum waktu yang terbuang karena perjalanan butuh waktu setidaknya tujuh jam.
“Besar biaya ongkos dari apa yang akan dibeli,” kata Hasan Basri.
Menurut dia, tak semua warga Garabak Data bisa punya uang Rp1 juta. Warga di sana sebagian besar menjadi petani dengan penghasilan pas-pasan. Makanya, tak perlu heran, kalau warga jarang bepergian ke daerah yang ramai.
Meski warga di sana hidup dalam serba keterbatasan, namun mereka tak mau pindah ke daerah lain. Ketika ditanya Singgalang, apakah bersedia, seandainya pemerintah merelokasi pemukiman, Nur Hidayati, seorang warga menyebut, “Biarlah kami mati di sini.”
Menurut Nur Hidayati, bangunlah jalan kalau ingin menolong warga. Lantaran jalan tak memadai, kehidupan masyarakat tak bisa berubah.
Camat Tigo Lurah, Syaiful Anwar sambil mengangkat kedua tangan, berharap pada pemerintah agar memperbaiki jalan. “Bantulah kami. Warga tak sanggup lagi hidup begini,” katanya.
Ketika Wakil Bupati Solok, Desra Ediwan, akhir pekan lalu datang ke Garabak Data, dimanfaatkan warga untuk menumpahkan segala perasaan.
Walinagari Garabak Data, Zul Panai menyebutkan, selama ini tak pernah ada pejabat yang mau berkunjung ke nagari terisolir tersebut. “Kami berharap pada pemerintah, benahilah daerah kami,” katanya.
Warga lainnya, Tedy Aurora mengemukakan, jangan biarkan masyarakat Garabak Data lama-lama hidup dalam kondisi serba terbatas. “Kami sudah tak tahan. Keterbatasan mengakibatkan biaya tinggi dalam segala hal,” kata dia.
Persoalan lain yang dihadapi warga, sarana kesehatan tak tersedia. “Di sini banyak warga yang meninggal ketika melahirkan,” kata Nur Hidayati.
Kematian ibu ketika melahirkan itu, karena di sana memang tak ada bidan desa. “Bila melahirkan, warga hanya mengandalkan jasa dukun,” katanya.
Warga juga tak punya tempat berobat. Puskesmas berada di ibu kecamatan, persisnya di Batu Bajanjang. Dari Garabak ke sana, butuh waktu setidaknya dua hari berjalan kaki.
“Celakanya, puskesmas hanya buka tiap Rabu. Jadi, kalau ingin berobat mesti berangkat Minggu,” kata Nur Hidayati. “Ampun,” dia menambahkan.
Desra Ediwan menyebutkan, soal jalan, tahun depan ada solusinya. Jika diizinkan Kementerian Kehutanan agar bisa dibangun jalan, maka pemerintah pasti akan membangun. “Begitu ada izin, tahun depan kita anggarkan,” katanya.
Jalan tanah yang kini menjadi urat nadi transportasi warga, dibuka sejak 1998 silam oleh Bupati Gamawan Fauzi. Namun, badan jalan tak bisa diperbaiki dan ditingkatkan kualitasnya, karena jalan tersebut membelah hutan lindung.
Menyangkut tenaga medis yang tak tersedia, Desra Ediwan menyarankan pada masyarakat setempat untuk mencari putra daerah yang menamatkan pendidikan kesehatan. “Jika ada, langsung saya rekomendasi. Sulit memang menempatkan petugas yang berasal dari daerah lain di Garabak Data,” kata Desra. Bila putra daerah ditempatkan di sana, dia pasti akan mengabdi kepada masyarakat di kampung halamannya.
Guna mengurangi angka kematian ibu, solusinya, warga yang hendak melahirkan, dua bulan sebelum melahirkan, diinapkan saja di Talang Babungo atau di Alahan Panjang. “Silahkan pakai puskesmas untuk menginap,” katanya.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Solok, Fathol Bari mengemukakan, guna memperbaiki jalan, setidaknya butuh Rp30 miliar. “Kalau didukung pemerintah pusat dan provinsi, setahun anggaran jalan bisa mulus,” katanya.
Derita Garabak Data akan berakhir, bila semua janji diwujudkan.