Cerita ketika kami berkunjung ke tempat sandaran Datuak Parapatiah Nan Sabatang
Penasaran tentang perjalanan Datuak Parapatiah Nan Sabatang (salah
satu Pucuk Pimpinan Minangkabau), saya dan Komunitas Gubuak kopi
mengunjungi beberapa tokoh adat Solok dan Selayo. Salah satunya adalah
Tan Ali, ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Lubuak Sikarah (Solok).
Beliau menceritakan banyak hal mengenai perjalanan Datuak Parapatiah Nan
Sabatang di tanah Solok, salah satu monumennya adalah “Batu Nan Tujuah”
di Nagari 9Korong (baca: Sembilan Korong), Kota Solok. Menurut bapak
Tan Ali Batu Nan Tujuah juga dikenal sebagai tempat sandaran Datuak
Parapatiah Nan Sabatang. Disanalah salah satu tempat beliau mendapat
banyak pemikiran – pemikiran untuk kesejahteraan masyarakat Minangkabau.
Karena penasan, saya dan rekan saya Kojek mengunjungi lokasi tersebut
pada selasa (07/02) lalu.
Siang itu kami sedikit kesulitan mencari lokasi, waktu itu hari baru
saja selesai hujan, dan mungkin karena jam kerja juga, hingga 9Korong
terlihat sepi. Pusing muter – muter, akhirnya kami menemukan
salah satu warung. Kami menghampiri mencoba mencari informasi terkait
“Batu Nan Tujuah“ tadi. Pada ibu penjaga warung kojek bertanya; “nompang tanya Tek, lokasi batu nan tujuh dimana ya??”
“dakeknyo, sebelah rumah gadang sana”
“dimananya Tek? Dalam rumah? Tadi kami lewat sana tapi kok tidak kelihatan?”
“tempatnya memang kecil, kurang terawat juga jadi kurang tacilak. Memangnya ada keperluan apa ?”
“Mau liat – liat Tek”
“eh.., hati – hati, karamaik. Angker. tidak sembarang orang boleh kesana”.
Tiba-tiba kojek pucat, menurut etek penjaga warung, untuk
masuk ke lokasi kita harus melakukan ritual kecil dulu seperti meminta
izin kepada yang penjaga cagar budaya tersebut, kemudian, sebelum
memasuki lokasi harus izin dulu kira – kira bunyinya seperti ini: “assalamulaikum nyiak, ambo nak mancaliak – caliak nyiak a, mohon ampunnyo yo nyiak”. (salam nyiak, saya mau berkunjung, mohon ampunya nyiak)
Bagi Kojek kalimat tersebut terkesan mantra, hingga Kojek yang sangar pun jadi menciut. Sebelum kami pamit, Etek penjaga warung tadi menambahkan:
“oio, ciek lai, kalau masuk dan keluarnya harus membungkuk, dan kalau keluar harus suruik, tidak boleh membelakang”
Seperti
yang saya duga Kojek berencana membatalkan kunjungan kami. Tapi kita
sudah tanggung sampai. Mundur selangkah artinya pengecut. Saya memaksa
kojek untuk tetap ikut, Kojek menolak, akhirnya dia pasrah dan menunggu
diluar saja katanya. Mengingat yang dikatakan etek tadi sebenarnya saya juga takut, namun untuk menjaga wibawa, ketakutan tak sampai kewajah.
Pertama kami simak lokasi tersebut dari kejauhan. Kebetulan
waktu itu penjaga cagar budaya tersebut keluar, dari jauh bapak tersebut
memperhatikan kami. Takut dicurigai saya dan kojek langsung
menghampiri bapak tersebut.
“assalaumlaikum pak, boleh kami lihat-lihat pak,” sambil mengarahkan jempol ke lokasi cagar budaya tadi.
“oh silahkan, datang dari mana?”
“dari Solok juga pak, Cuma ingin lihat – lihat.”
Bapak penjaga itu kelihatanya sibuk sekali jadi dia tidak bisa
menemani kami. Batu nan tujuah, kalau dalam bahasa Indonesia dapat
berarti “batu yang tujuh”, atau 7 (tujuh) batu. Sesampai di lokasi saya
dan kojek heran ternyata disana terdapat lebih dari tujuh batu.
Letaknya pun berserakan. Disana terlihat banyak sampah daun kering.
Melihat hal tersebut, saya dan kojek masuk kedalam dan membersihkannya.
Suatu kesempatan berharga bagi kami dapat melihat batu – batu tersebut
dari dekat. Sampai kami pun lupa pantangan yang disampaikan etek penjaga warung tadi. tapi sykurlah hingga menulis ini tidak terjadi hal buruk terhadap kami.
Saya ingat waktu itu Tan Ali mengatakan bahwa Batu Nan Tujuah ini
merupakan batu sandaran bagi Datuak Paraptiah Nan Sabatang. Beliau
mendapat banyak ketenangan ketika istrahat disana. Masalah jumlah yang
“7” (tujuh) tadi, setelah komfirmasi melalui bapak Tan Ali, kami baru
tau ternyata batu tersebut dinyatakan 7 karena mencerminkan sikap Datuak
Parapatiah Nan Sabatang, yang selalu berpegang teguh terhadap tujuh
sifat tuhan yang dibutuhkan untuk memimpin. Saya kembali bingung di
pengajian saya diajarkan bahwa ada 20 sifat tuhan yang wajib kita
yakini. saya lontarkan pertanyaan ini pada Kojek. Dengan bijaksananya
kojek menjawab “kalau Datuak Parapatiah Nan Sabatang punya 20 juga,
tuhan dapat saingan dong!!”
Ada kepuasan tersendiri bagi kami setelah mengatahui beberapa hal
terkait Batu Nan Tujuah.Sandaran dapat berarti sebagai tempat kita
menompang agar kita tidak terjungkir kebelakang. Saya menyimpulkan Batu
Nan Tujuah menyimpan arti bahwasanya, Datuak Parapatiah Nan Sabatang
selalu memegang landasan dalam memimpin kaumnya. bagaimana dengan
cerita kawan – kawan? (ARP/GBK)
0 Response to "Misteri “Batu Nan Tujuah”, Kojek Merinding!"
Post a Comment