Jika berbicara mengenai ulama dan
politik di Minangkabau, maka sejarahnya sebenarnya sudah cukup panjang.
Salah seorang djago tua [dari kalangan ulama] jang meretas djalan (oprichter) dari kemadjuan di Minangkabau meminjam kata-kata Tamar Djaja dalam bukunya Pusaka Indonesia
(1966: Jil. 2, 618) adalah Syekh Muhammad Djamil Djambek (selanjutnya:
Syekh Djamil Djambek), tokoh yang kita tampilkan dalam rubrik Minang
Saisuak kali ini.
Syekh Djamil Djambek dilahirkan di
Bukittinggi tahun 1860. Ayahnya bernama Muhammad Saleh gelar Datuak
Maleka, Penghulu Kepala Guguak Panjang. Ibunya berasal sari Jawa. Djamil
Djambek termasuk parewa di masa mudanya, bahkan konon pandai main
sihir. Namun pada usia 22 tahun ia mulai mengaji Quran setelah mendapat
nasehat-nasehat dari Tuanku Kayo Mandiangin. Setelah belajar agama di
beberapa tempat, antara lain di Koto Mambang Pariaman dan Batipuah
Baruah, ia lalu pergi ke Mekah tahun 1313 H (1895/96). Di Mekah ia
belajar agama kepada Haji Abdullah Ahmad, Syekh Bafadil, Syekh Serawak,
Syekh Taher Djajaluddin dan Syekh Ahmad Khatib. Setelah matang dalam
ilmu agama Islam, ia pun menjadi guru untuk para pendatang baru dari
Hindia Belanda di Mekah. Salah seorang muridnya adalah K.H. Ahmad Dahlan
yang kemudian mendirikan organisasi Muhammadiyah di Jawa.
Tahun 1321 H (1903/04) Syekh Djamil
Djambek kembali ke Bukittinggi dan langsung terjun ke tengah
masyarakat. Ia aktif berkeliling ke berbagai daerah, termasuk ke
Semenanjung Malaya. Dialah ulama pertama yang memberi pengajaran dengan
berpidato sambil berdiri, berbeda dengan cara biasa di mana guru duduk
dan dikelilingi oleh murid-muridnya. Ia sering melakukan hal-hal
kontroversial yang membuat marah ulama-ulama ortodoks. Ia menjadi
seorang ahli hisab yang terpercaya hingga akhir hayatnya.
Syekh Djamil Djambek juga aktif
dalam dunia pergerakan: terlibat dalam gerakan otonomi Van Indi tahun
1921, menggerakkan Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) bersama Dr.
H.A. Abdullah Ahmad, mendirikan perkumpulan Tsmaratul Ichwan, dan
menjadi pengurus Komite Permusyawaratan Ulama Minangkabau (1928). Di
Zaman Jepang ia juga aktif dalam perkumpulan Majlis Islam Tinggi
Minangkabau. Di Zaman Kemerdekaan ia menjadi salah seorang pemimpin
utama gerakan kaum Muslimin di Sumatra Barat dan diangkat oleh
Pemerintah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung.
Foto ini unik: terlihat Syekh Djamil Djambek memakai satu bintang penghargaan di dadanya. Belum
jelas oleh saya dari mana beliau memperoleh bintang penghargaan itu.
Kalau dari Pemerintah Kolonial Belanda rasanya tak mungkin, mengingat
beliau dikenal anti Belanda. Barangkali bintang itu lambing organisasi
tertentu seperti Muhammadiyah.
Syekh Djamil Djambek wafat pada 30 Desember
1947 di Bukitinggi. Hadir dalam pemakamannya Wakil Presiden Muhammad
Hatta dan banyak orang penting lainnya. Ulama yang kuat memberantas
bidah dan khurafat itu dimakamkan di depan suraunya, Surau Tengah Sawah,
yang lama sesudah kamatiannya tetap diminati oleh ramai pelajar dari
berbagai daerah yang ingin menuntut ilmu agama Islam.
Suryadi Leiden, Belanda. (Sumber foto: Pedoman Masjarakat, 1938).
Singgalang, Minggu, 11 Maret 2012
0 Response to "Minang Saisuak #80 - Syekh Muhammad Djamil Djambek"
Post a Comment