![]() |
Salah satu pemandangan di nagari padang laweh |
Tahun 1976, menjadi awal kedatangan para transmigrasi dari pulau Jawa di
daerah Sumatera Barat terutama perbatasan dengan propinsi Jambi yang
dikenal dengan transmigrasi Sitiung. Wilayah ini sebelumnya termasuk
kabupataen sawahlunto Sijunjung, namun sejak mekar pada tahun 2004 yang
lalu menjadi kabupaten Dharmasraya. Rata-rata mereka
berasal dari daerah yang sama yakni Wonogiri Jawa Tengah dengan sistem
transmigrasi Bedol Desa. Mereka bertransmigrasi karena harus merelakan
tanah dan daerahnya untuk menjadi waduk Gajahmungkur demi kesejahteraan
rakyat lainnya sebagai sentra pengairan sawah.
Warga ini banyak bermukim di daerah Sitiung 1 dan
berturut-turut sampai tahun 1990 juga terjadi transmigrasi sampai lokasi
sitiung 5 dan daerah pemukiman transmigrasi Timpeh. Pada tahun 1990, pada umumnya para transmigrasi sudah bercampur dan tidak terpusat kepada satu daerah seperti wonogiri.
Mereka Juga Pahlawan
Memaknai peringatan 10 November sebagai hari pahlawan nasional. Saya
jadi teringat dengan pengorbanan mereka para transmigran untuk merelakan
tanahnya ditenggelamkan menjadi waduk pengairan. Karena pahlawan itu
bukan hanya yang gugur di medan perang membela bangsanya tetapi adalah orang yang berkorban dan berguna demi kepentingan orang
banyak. Pengorbanan untuk mencari peruntungan di tanah asing yang belum
tahu kondisi, menjadi hal terberat bagi siapapun. Namun mereka
bersyukur setelah setelah puluhan tahun berada di tanah seberang untuk
berjuang, mereka mampu menjadi lebih baik daripada sebelumnya.
Tanah yang sebelumnya sulit untuk ditanami disebabkan ketika membuka
areal lokasi transmigrasi tidak mengindahkan kaidah pengolahan tanah
yang benar sehingga unsur hara banyak yang hilang. Namun berkat
kesabaran dan keuletan setelah diberikan pengapuran pada tanah mereka,
akhirnya menjadi lahan yang subur dan menjadi sentra persawahan dan
perkebunan. Jadi tidak salah jika kita sedikit memberikan pada mereka gelar pahlawan.
Mampu beradabtasi dengan lingkungan
Sebagai pendatang dengan jumlah banyak dan memiliki adat istiadat
sendiri yang berbeda dengan penduduk asli, namun mereka patut
mendapatkan nilai positif karena mampu beradaptasi tanpa pernah
terdengar keributan antar suku. Kemampuan ini menjadi kekayaan bagi
kabupaten Dharmasraya karena menjadi miniature bangsa Indonesia dengan
keragaman yang ada. Sebagai contoh walaupun mereka punya adat Jawa dalam
pesta pernikahan tetapi mereka juga memakai adat Minangkabau sebagai
bukti pengakuan “Di mana Bumi di pijak di situ langit dijunjung.
Dalam hal kebersamaan pemerintahan juga ada peran signifikan dan
keadilan bagi penduduk asli dan pendatang. Hal ini nampak dari
koloborasi pimpinan kabupaten Dharmasraya yang menduetkan Marlon Martua
dengan Tugimin sebagai Bupati dan wakilnya pada periode 2005-2010.
Sekarang lebih baik dari sebelumnya
35 tahun berjuang keras di lokasi transmigrasi,
dan dengan berbekal jatah dari pemerintah serta tanaman-tanaman yang
mereka tanam, akhirnya mereka menuai hasil seiring dengan semakin berkembangnya pembangunan yang ada. Kita
akan kagum dan tercengang jika pada awal mereka bersusah payah,
sekarang rumah-rumah mereka sudah permanent dan berkeramik dengan
berbagai aneka ragam perabot mewah. Anak-anak mereka sudah melanjutkan
ke perguruan tinggi negeri dan swasta. Bahkan juga sudah banyak yang
menjadi pejabat penting di pemerintahan Dharmasraya sekarang.
Kegiatan keagamaan lebih baik
Pengakuan datang dari salah tokoh transmigrasi di Sitiung yakni H.
Patmo. Ketika penulis bersama team ramadhan salah satu partai dakwah
Islam berbuka di rumahnya. Beliau mengakui bahwa mengenal shalat dan
mampu melakukan haji serta beberapa kali Umrah setelah berada di daerah
transmigrasi ini. Sebelumnya ketika baru sampai di Sitiung dan di Jawa,
ia belum sadar dengan ritual kegiatan ibadah dalam Islam. Demikian juga
dengan pengakuan beberapa orang tokoh trasmigrasi dan warga dengan
kondisi keagaamaanya.
Bila kita lihat sekarang banyak masjid masjid yang berdiri mewah dan
penuh dengan aktifitas keagamaan Di Jorong Sungai Atang, pada setiap
malamnya selalu ramai dengan aktifitas pengajian dengan sistem giliran
per kelompok RT. Materinya pun seputar ibadah dan baca Al-Qur’an. Yang
mengesankan walaupun sudah berumur mereka aktif terlibat di dalamnya.
Selain itu juga berdiri pesantren-pesantren di daerah pemukiman
transmigrasi seperti pondok pesantren Al-Barakoh padang Bintungan dan
lainnya. Di samping anak-anaknya juga melanjutkan ke perguruan tinggi
agama setelah tamat . Hal ini juga nampak di bank-bank yang
memfasilitasi jatah naik haji, banyak warga transmigran yang
mendaftarkan ONH tersebut.
Hal ini menandakan bahwa peningkatan pemahaman agama yang lebih
dibandingkan sebelumnya ketika di Jawa. Saya masih teringat ketika di
awal ’90 , imam masjid masih dijumpai hanya beberapa orang dengan
makhroj bacaan yang belum benar atau tidak fasih. Namun sekarang,
berubah dengan seiring kesadarannya dalam berdakwah. Di mana setiap
masjid sudah dijumpai imam-imam yang fasih dan masih muda. Peningkatan
perekonomian pun juga mengiringi kesadaran mereka untu berzakat. Di
beberapa jorong tampak badan pengumpulan zakat terutama adalah zakat
mal. Tetapi bukan berarti mereka tidak punya celah. Karena kadang-kadang
pengajian masih seputar tahlil dan yasinan saja. Ha ini disebaabkan oleh
kurangnya para guru dan penyuluh agama yang kafaah dengan ilmunya.
penulis : Hartanto SA
sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2012/09/24/di-tanah-seberang-surga-kami-489694.html
Pesan : Admin sendiri terlahir di daerah ini, Sitiung itulah tempat lahir saya, walaupun ayah saya orang jawa, tapi darah minang lebih kental terasa bagi saya dikarenakan ibu saya asli dari Solok.
bineka tunggal ika
ReplyDelete