Tampaknya sangat mungkin untuk
menyusun sejarah (visual) sebuah nagari sambil melihat
perubahan-perubahan topografis nagari itu sebab cukup banyak tersedia
foto-foto klasik yang mengabadikan pemandangan naga-nagari di
Minangkabau, khususnya nagari-nagari yang menonjol pada masa lampau,
seperti Koto Gadang, Taram, Pariangan, dan lain-lain. Waktu saya menulis
buku Syair Sunur (terbit 2004) saya menemukan cukup
banyak data mengenai penduduk dan keadaan nagari yang bertetangga dengan
Ulakan itu pada abad ke-19. Harsja W. Bachtiar
juga telah menulis satu artikel yang berjudul: “Nagari Taram: A
Minangkabau Village Community”, dalam: Koentjaranigrat (ed.), Villages in Indonesia
(Ithaca, New York: Cornell University Press, 1967: 348-385) (lihat juga
rubbrik ‘Minang Saisuak’: “Nagari Taram di Payakumbuh”, Singgalang, 2 Oktober 2011).
Rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini
menurunkan sebuah foto klasik tentang nagari Palembayan di Luhak Agam.
Kodak ini (17,6×27,8 cm.) adalah hasil jepretan Christian Benjamin
Nieuwenhuis dalam kisaran tahun 1892-1922. “Dorpgezicht, Palembajan”
(Pemandangan desa Palembayan), demikian judul foto ini tertera di
katalog Tropenmuseum Amsterdam tempat foto ini disimpan. Sangat mungkin
foto ini adalah sebuah kartu pos (postcard) dari proyek wisata
kolonial yang mempromosikan keindahan dan keunikan nagari-nagari
Minangkabau pada abad ke-19. Adalah Asisten Residen Agam Tua, L.C.
Westenenk, yang gencar mempromosikan keindahan alam pedalaman
Minangkabau kepada pelancong Eropa, seperti dapat dikesan dalam buku
turistiknya Eight days in Padang Bovenlanden (Delapan hari di Padang Darat) yang penuh ilustrasi (Batavia: Java Books, 1909).
Melihat foto ini tentu mengingatkan kita pada suasana tradisional di nagari-nagari di Minangkabau zaman saisuak: lapau, sasaran silat, hamparan padi menghijau atau menguning dengan berkaum-kaum tempua dan pipit maraok ke atasnya, suara genta pedati, bunyi alu menghantam lubang lesung bertalu-talu, suara taguak-taguak di tengah malam, bunyi mendayu suara tukang rabab, resitasi al-Quran di surau-surau, rumah gadang dengan anjung bak alang ka tabang dengan gadis berambut legam bergerai mencigap di jendelanya, dan gotong royong membersihkan tali banda. Suasana itu sudah sulit dijumpai di masa kini. Nagari-nagari sudah ‘terpolusi’ oleh aroma uang, sounds of modernity, dan hingar-bingar musik orgen tunggal dengan goyangan berputar-putar tak kerkendali biduan wanitanya bak gasiang yang kapia lanaik ketika dipangko-kan.
Sumber:
0 Response to "Minang Saisuak #102 - Pemandangan di Nagari Palembayan"
Post a Comment