Kodak lama ini pertama kali dimunculkan oleh Fikrul Hanif Sufyan di laman facebook-nya. Tampaknya foto ini terkait dengan topik tesisnya yang berjudul Dari
isterinya Siti Aisyiah, Haji Ahmad dikaruniai beberapa orang anak yang
aktif di organisasi Muhammadiyah, seperti: A. Malik Ahmad (Wakil Ketua
PP Muhammadiyah. Beliau juga dikenal sebagai penentang asas tunggal
Pancasila. Sebagian mahasiswa angkatan 80an yang sering mengikuti
pengajian di Kandang Ampek, kenal dengan sosok ini. Salah satu kadernya
yang saya tahu adalah Prof Bustanuddin Agus, Prof Mansur Malik, Lukman
Harun, dsb.), Sjamsuddin Ahmad (Panglima Hizbullah di Sumatera Barat),
dan Hasan Ahmad.Penolakan Abdul Malik Ahmad terhadap Asas Tunggal
Pancasila di Organisasi Muhammadiyah (1982-1985) [Padang: PPS Unand,
2011]. Dalam tesis it ia membahas sosok dan pemikiran politik Abdul
Malik Ahmad (1912-1994), mantan wakil Ketua PP. Muhammadiyah, yang
merupakan salah seorang anak laki-laki dari tokoh yang sedang kita
bicarakan ini.
Penelusuran Fikrul melalui keturunan tokoh ini
menemukan bahwa Haji Ahmad bin Abdul Murid lahir di Sumaniak tahun 1883.
Konon beliau keturunan dari Haji Sumaniak, salah seorang pencetus
Gerakan Paderi. Tidak banyak yang diketahui mengenai kisah hidupnya,
selain bahwa aktifitas politiknya berada di bawah bendera Sarikat Islam
(SI). Seperti telah sama kita ketahui semula SI dan PKI, yang sama-sama
tumbuh di Jawa, saling bergandengan sejak 1920, tapi segera kemudian
bersibak karena perbedaan haluan politik. Dalam kongres SI bulan Oktober
1921 di Surabaya, PKI resmi berpisah dari Sarikat Islam. Penggembosan
dari dalam terus dilakukan PKI terhadap SI melalui apa yang disebut SI
Merah atau Sarekat Rajat yang muncul tahun 1921. Tokoh-tokoh utama SI
seperti Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis terus digoyang.
Muis yang sempat mengunjungi tanah kelahirannya, Minangkabau, akhirnya
terpental dari SI. Pengaruh pertelingkahan antara SI dan PKI (yang
didukung oleh SI Merah/Sarekat Rajat) merembes pula ke Sumatra Barat.
Hal itu tampak sekali di kota Padang Panjang, khususnya di antara para
pengajar di Soematra Thawalib. Tiba-tiba PKI menjadi trend di sana
setelah dua guru sekolah itu, Datuk Batuah dan Natar Zainuddin ditangkap
Belanda pada 11 November 1923. Dalam pertemuan yang diorganisir oleh
Sarekat Rajat di Padang Panjang tahun 1924, terlihat pengikut PKI makin
bertambah di kota itu.
Selain Sulaiman Labai, ketua Sarikat Islam
Silungkang, tidak banyak tokoh Sarikat Islam Sumatra Barat yang lain
disebut-sebut dalam gerakan Komunis 1926-1927 di daerah ini (lihat:
Harry J. Benda and Ruth T. McVey, The Communist Uprisings of 1926-1927 in Indonesia: Key Documents, Ithaca: Cornell University, 1960; Audrey T. Kahin, Communist Uprising in Sumatra: A Reapraisal, Indonesia
62, 1996:19-36). Oleh karena itu kuat dugaan bahwa Haji Ahmad bin Abdul
Murid mungkin tetap berada di pihak SI Putih di Sumaniak. Sejak 1924 SI
Putih makin terdesak di Sumatra Barat seiring dengan meningkatnya
aktifitas Sjarikat Rajat Sumatra Barat yang berafiliasi dengan PKI, yang
kemudian berlanjut dengan berbagai teror di nagari-nagari yang
dilakukan oleh berbagai double organization simpatisan
PKI seperti Sarikat Djin, Sarikat Itam, dan Sarikat Maling (Hitam),
serta demo-demo yang dilakukan oleh beragam organisasi simpatisan partai
itu, seperti Barisan Merah, Sarikat Tani, Sarikat Djongos, dan Kaoem
Iboe (yang terakhir ini dipimpin propagandis komunis Upik Hitam yang
ditangkap di Batusangkar sekitar akhir Desember 1926). Fikrul dalam
tesisnya mengatakan bahwa Haji Ahmad bin Abdul Murid, yang beristrikan
Siti Aisyah, wafat tahun 1928. Saat itu pemberontakan
PKI di Sumatra Barat baru selesai diberangus Belanda. Beliau meninggal
dalam usia yang cukup muda (45 thn). Apakah kematian beliau di usia yang
cukup muda itu terkait dengan huru-hara PKI pada masa itu? Wallahualam!
Fikrul menulis di laman fb-nya
bahwa penampilan Haji Ahmad bin Abdul Murid dalam foto ini, yang dibuat
sekitar 1925 di tempat yang cukup unik (sulit menentukan apakah ini
satu studio foto), tampil cukup modern. Saat itu ia masih
menjabat sebagai ketua ISI Cabang Tanah Datar. Ia memakai kemeja lengan
panjang, dasi kupu-kupu dan sepatu hitam, lengkap dengan kaos kaki,
refleksi penerimaannya terhadap budaya Barat, serta sorban dan sarung,
refleksi budaya lokal dan Islam. Penampilannya benar-benar merefleksikan
perdebatan seputar pakaian di Minangkabau pada masa itu.
Minangkabau dari dulu memang sudah menjadi
tumpahan Islam, modernitas Barat, dan berbagai ragam ideologi. Inilah
sebuah etnis yang tak pernah henti bergolak, fisik dan pemikiran.
sumber:
Suryadi - Leiden, Belanda. (Sumber foto: Rasidah Malik Ahmad 74 thn., cucu Haji Ahmad bin Abdul Murid, Ciputat Tanggerang). | Singgalang, Minggu, 16 Desember 2012
0 Response to "Minang Saisuak #111 - Haji Ahmad bin Abdul Murid (1883-1928): Tokoh Sarikat Islam Tanah Datar"
Post a Comment