Minang Saisuak #117 - Padati Antri di Palayangan

Di zaman teknologi canggih ini mungkin ada orang yang rindu bunyi genta padati (pedati). Suara mendayunya yang terdengar dari kejauhan dapat membawa pangana melayang-layang. Itulah masa ketika Minangkabau belum diserbu oleh suara mesin oto dan modern sounds lainnya di abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang dibawa oleh berbagai macam produk teknologi Barat.

Rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini ingin mengembalikan kenangan pembaca ke masa lampau ketika pedati masih berfungsi sebagai alat transportasi utama di Minangkabau. Generasi sebelum perang tentu masih ingat kerbau lokoh yang sedikit menggeleng-geleng dengan mulut berbusa yang basiensuik menarik pedati yang penuh muatan.

Pedati di Minangkabau lebih berfungsi sebagai pembawa barang, terutama dari darek ke rantau pesisir barat. Oleh karena itu di Pariaman alat transportasi ini dikenal dengan nama ‘padati ka daghek’: pedati yang membawa muatan hasil bumi pesisir ke darek, khususnya ke kota transit Padang Panjang, dan pulangnya membawa hasil bumi dari darek ke Pariaman. Pedati-pedati itu dihiasi dengan aksesori yang indah-indah, terutama di bagian depan tempat tukang pedati duduk dan tidur.

Tukang padati ka daghek biasanya seorang pendekar yang suka memakai baju bauba berwarna gelap dan kumis melintang. Di pinggangnya selalu terselip belati yang dapat memutus rambut bila dihembuskan. Maklumlah, mereka harus bolak balik melalui trayek Lembah Anai tempat beradanya sebuah bukit yang dalam beberapa kaba Minangkabau dikenal dengan nama Bukit Tambun Tulang. Konon di sana para penyamun suka menghadang mangsanya.

Foto ini mengabadikan rombongan padati ka daghek sedang antri naik palayangan di sebuah sungai di daerah Padang Pariaman. Judul foto ini: ‘Rivierovergang van de grote weg tussen Padang en Fort de Kock, Est Sumatra, waar de brug is weggeslagen’. Jadi, rupanya pedati-pedati itu terpaksa diseberangkan dengan palayangan karena jembatan yang menghubungkan sungai ini dihanyutkan banjir. Tidak diketahui kapan persisnya foto berukuran 9×12 cm. ini dibuat, tapi mungkin sekitar akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Mat kodaknya juga tidak diketahui. Karena disebutkan ‘de grote weg tussen Padang en Fort de Kock’, besar kemungkinan sungai yang terlihat di foto ini adalah Batang Anai.

Mungkin sekarang perlu dibuat beberapa pedati bagus seperti ini untuk dijadikan atraksi pariwisata Sumatera Barat. Bule-bule, pelancong regional, atau para perantau Minang yang sudah jadi orang metropolis mungkin suka mencoba jadi tukang pedati barang satu dua jam. Tangguklah dollar, euro, ringgit, dan rupiah dengan pedati. 



Suryadi - Leiden, Belanda. (Sumbef foto: Tropemuseum, Amsterdam) | Singgalang, Minggu, 24 Februari 2013

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Minang Saisuak #117 - Padati Antri di Palayangan"

Post a Comment