Di zaman teknologi canggih ini mungkin ada orang yang rindu bunyi genta padati (pedati). Suara mendayunya yang terdengar dari kejauhan dapat membawa pangana melayang-layang. Itulah masa ketika Minangkabau belum diserbu oleh suara mesin oto dan modern sounds lainnya di abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang dibawa oleh berbagai macam produk teknologi Barat.
Rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini ingin
mengembalikan kenangan pembaca ke masa lampau ketika pedati masih
berfungsi sebagai alat transportasi utama di Minangkabau. Generasi
sebelum perang tentu masih ingat kerbau lokoh yang sedikit menggeleng-geleng dengan mulut berbusa yang basiensuik menarik pedati yang penuh muatan.
Pedati di Minangkabau lebih berfungsi sebagai pembawa barang, terutama dari darek ke rantau pesisir barat. Oleh karena itu di Pariaman alat transportasi ini dikenal dengan nama ‘padati ka daghek’:
pedati yang membawa muatan hasil bumi pesisir ke darek, khususnya ke
kota transit Padang Panjang, dan pulangnya membawa hasil bumi dari darek
ke Pariaman. Pedati-pedati itu dihiasi dengan aksesori yang
indah-indah, terutama di bagian depan tempat tukang pedati duduk dan
tidur.
Tukang padati ka daghek biasanya seorang pendekar yang suka memakai baju bauba berwarna gelap dan kumis melintang. Di
pinggangnya selalu terselip belati yang dapat memutus rambut bila
dihembuskan. Maklumlah, mereka harus bolak balik melalui trayek Lembah
Anai tempat beradanya sebuah bukit yang dalam beberapa kaba Minangkabau dikenal dengan nama Bukit Tambun Tulang. Konon di sana para penyamun suka menghadang mangsanya.
Foto ini mengabadikan rombongan padati ka daghek sedang antri naik palayangan di sebuah sungai di daerah Padang Pariaman. Judul foto ini: ‘Rivierovergang van de grote weg tussen Padang en Fort de Kock, Est Sumatra, waar de brug is weggeslagen’.
Jadi, rupanya pedati-pedati itu terpaksa diseberangkan dengan
palayangan karena jembatan yang menghubungkan sungai ini dihanyutkan
banjir. Tidak diketahui kapan persisnya foto berukuran 9×12 cm. ini
dibuat, tapi mungkin sekitar akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Mat
kodaknya juga tidak diketahui. Karena disebutkan ‘de grote weg tussen Padang en Fort de Kock’, besar kemungkinan sungai yang terlihat di foto ini adalah Batang Anai.
Mungkin sekarang perlu dibuat
beberapa pedati bagus seperti ini untuk dijadikan atraksi pariwisata
Sumatera Barat. Bule-bule, pelancong regional, atau para perantau Minang
yang sudah jadi orang metropolis mungkin suka mencoba jadi tukang
pedati barang satu dua jam. Tangguklah dollar, euro, ringgit, dan rupiah dengan pedati.
Suryadi - Leiden, Belanda. (Sumbef foto: Tropemuseum, Amsterdam) | Singgalang, Minggu, 24 Februari 2013
0 Response to "Minang Saisuak #117 - Padati Antri di Palayangan"
Post a Comment