Minang Saisuak #122 - Bukittinggi di “Zaman Bemo” (1970-an)

Perubahan fisik dan gerak sejarah sebuah kota sangat ditentukan oleh manusia yang tinggal di kota itu. Tapi perubahan fisik sebuah kota sebenarnya lebih ditentukan lagi oleh pemerintah kota itu, sebab merekalah yang menentukan izin pembangunan di kota itu.

Kota-kota Asia umumnya lebih cepat berubah wajah ketimbang kota-kota Eropa. Hal ini disebabkan oleh arus urbanisasi penduduk yang tinggi ke kota dan tidak adanya masterplan yang jelas oleh pemerintah kota dalam menata pembangunan kotanya. Kesadaran sejarah juga sangat mempengaruhi: banyak bangunan kuno di kota-kota Indonesia dibiarkan terlantar, sengaja dirobohkan, atau ditukar guling untuk mendirikan bangunan-bangunan baru dengan orientasi komersial semata. Akibatnya, banyak kota Asia seperti terputus dari sejarah masa lalunya.

Rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini menampilkan sebuah kodak lama yang merekam kawasan sekitar Jam Gadang di Bukittinggi. Foto ini pertama kali muncul dalam postingan Azimal Agus di fb group Palanta Urang Awak Minangkabau. Menurut beliau sumbernya dari internet juga, tapi tidak dijelaskan secara detil. Foto ini mungkin dibuat sekitar akhir 1970-an.

Dalam foto ini masih kelihatan konsep tata ruang yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda di Bukittinggi. Seperti kita lihat di banyak kota Eropa, selalu ada ruang lebar mengelilingi sebuah monumen penting tempat taman kota dibuat. Di sekitarnya tidak boleh mendirikan bangunan-bangunan komersial. Kawasan seperti itu biasanya menjadi jantung sebuah kota dan juga menjadi ruang hijau.

Kelihatan dalam foto ini pangkalan bemo, moda transportasi utama di Bukittinggi di tahun 1970-an. Sebenarnya penempatan pangkalan bemo di dekat Jam Gadang ini telah menunjukkan peralihan sistem berpikir ala Belanda ke Indonesia dalam penataan kota. Di kota-kota Eropa tak pernah ada pangkalan transportasi publik (openbaar vervoer) yang ditempatkan di dekat sebuah monumen penting.

Dengan melihat foto ini, kita tentu dapat membaca ‘perkembangan’ kota Bukittinggi, khususnya kawasan sekitar Jam Gadang. Sebuah gunung menjulang hijau, yang dapat dipandang dengan jelas dari sebuah taman kota yang lapang, sambil kita duduk membaca koran dan menikmati angin sepoi, mungkin terasa lebih menyenangkan. Kini suasana itu sulit ditemukan di sekitar Jam Gadang yang telah dikepung oleh bangunan pertokoan dan berbagai macam ‘kuda Jepang’ yang tak pernah henti memekik-mekikan klaksonnya ke telinga kita.


sumber : Suryadi - Leiden, Belanda | (Sumber foto: fb forum Palanta Urang Awak Minangkabau).
Singgalang, Minggu, 31 Maret 2013

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Minang Saisuak #122 - Bukittinggi di “Zaman Bemo” (1970-an)"

Post a Comment