Perubahan fisik dan gerak sejarah
sebuah kota sangat ditentukan oleh manusia yang tinggal di kota itu.
Tapi perubahan fisik sebuah kota sebenarnya lebih ditentukan lagi oleh
pemerintah kota itu, sebab merekalah yang menentukan izin pembangunan di
kota itu.
Kota-kota Asia umumnya lebih cepat
berubah wajah ketimbang kota-kota Eropa. Hal ini disebabkan oleh arus
urbanisasi penduduk yang tinggi ke kota dan tidak adanya masterplan
yang jelas oleh pemerintah kota dalam menata pembangunan kotanya.
Kesadaran sejarah juga sangat mempengaruhi: banyak bangunan kuno di
kota-kota Indonesia dibiarkan terlantar, sengaja dirobohkan, atau
ditukar guling untuk mendirikan bangunan-bangunan baru dengan orientasi
komersial semata. Akibatnya, banyak kota Asia seperti terputus dari sejarah masa lalunya.
Rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini menampilkan
sebuah kodak lama yang merekam kawasan sekitar Jam Gadang di
Bukittinggi. Foto ini pertama kali muncul dalam postingan Azimal Agus di
fb group Palanta Urang Awak Minangkabau. Menurut beliau
sumbernya dari internet juga, tapi tidak dijelaskan secara detil. Foto
ini mungkin dibuat sekitar akhir 1970-an.
Dalam foto ini masih kelihatan konsep tata
ruang yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda di Bukittinggi.
Seperti kita lihat di banyak kota Eropa, selalu ada ruang lebar
mengelilingi sebuah monumen penting tempat taman kota dibuat. Di
sekitarnya tidak boleh mendirikan bangunan-bangunan komersial. Kawasan
seperti itu biasanya menjadi jantung sebuah kota dan juga menjadi ruang
hijau.
Kelihatan dalam foto ini pangkalan bemo, moda
transportasi utama di Bukittinggi di tahun 1970-an. Sebenarnya
penempatan pangkalan bemo di dekat Jam Gadang ini telah menunjukkan
peralihan sistem berpikir ala Belanda ke Indonesia dalam penataan kota. Di kota-kota Eropa tak pernah ada pangkalan transportasi publik (openbaar vervoer) yang ditempatkan di dekat sebuah monumen penting.
Dengan melihat foto ini, kita tentu
dapat membaca ‘perkembangan’ kota Bukittinggi, khususnya kawasan
sekitar Jam Gadang. Sebuah gunung menjulang hijau, yang dapat dipandang
dengan jelas dari sebuah taman kota yang lapang, sambil kita duduk
membaca koran dan menikmati angin sepoi, mungkin terasa lebih
menyenangkan. Kini suasana itu sulit ditemukan di sekitar Jam Gadang
yang telah dikepung oleh bangunan pertokoan dan berbagai macam ‘kuda
Jepang’ yang tak pernah henti memekik-mekikan klaksonnya ke telinga
kita.
sumber : Suryadi - Leiden, Belanda | (Sumber foto: fb forum Palanta Urang Awak Minangkabau).
Singgalang, Minggu, 31 Maret 2013
0 Response to "Minang Saisuak #122 - Bukittinggi di “Zaman Bemo” (1970-an)"
Post a Comment