Masyarakat Minangkabau sudah lama mengenal teknologi menenun. Tenunan Minangkabau sangat halus buatannya. Songket dan selendang balapak-nya sangat disukai oleh kaum wanita, tidak hanya di Sumatra Barat tapi juga sampai ke negara jiran.
Rubrik ‘Minang Saisuak’
kali ini menurunkan sebuah kodak lama yang mengabadikan para pelajar
sekolah tenun di Singkarak. Di latar belakang terlihat bangunan sekolah
mereka yang masih cukup sederhana, dengan papan nama bertuliskan
‘WEEFSCHOOL SINGKARAK’ (Sekolah Tenun Singkarak). Foto ini dibuat
sekitar 1910. Semula foto ini merupakan koleksi keluarga L.C. Westenenk.
Nama L.C. Westenenk tentu tidak
asing lagi bagi warga Minangkabau di zaman kolonial. Pasangan orang
putih yang tampak dalam foto ini (duduk di tengah) adalah L.C. Westenenk
sendiri dengan istrinya. Antara 1909-1913 Westenenk menjabat sebagai
Asisten Residen Sumatra’s Westkust: tahun 1909 di Fort van der Capellen
(sekarang: Batusangkar), tahun 1912 di Fort de Kock (sekarang:
Bukittinggi). Sebelumnya, antara 1905-1909 dia menjabat sebagai salah seorang controleur di Sumatra Barat, berkantor di Fort de Kock.
Foto ini tampaknya dibuat untuk mengabadikan
kunjungan Westenenk ke Sekolah Tenun Singkarak itu semasa dia menjadi
Asisten Residen di Batusangkar. Westenenk adalah pejabat
kolonial yang kontroversial. Dia banyak membawa kemajuan di pedalaman
Minangkabau tapi juga terkenal keras dan otoriter. Dialah yang
memadamkan Pemberontakan Kamang (1908), tapi dia pula yang
memperkenalkan tradisi pacu kuda dan pasar malam di darek. ‘Kartini
Minang’ Rohana Kudus, pendiri kelompok kerajinan Amai Setia di Koto
Gadang, pernah diundang oleh L.C. Westenenk dan istrinya ke Belanda
tahun 1913 untuk berpartisipasi dalam Women Exhibition di Brussels, tapi dia tidak jadi berangkat karena mertuanya tidak memberi izin (Rudolf Mrazek, Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia, 1994:22). Westenenk juga banyak menulis artikel dan buku tentang masyarakat Minangkabau dan daerah lainnya di Sumatra.
Sampai sekarang di beberapa nagari
industri tenun masih menjadi mata pencaharian utama, seperti Silungkang,
Koto Gadang, dan Pandai Sikek. Sepatutnyalah tradisi yang sudah menjadi
pusaka turun-temurun itu tetap dilestarikan.
sumber : Suryadi - Leiden, Belanda. (Sumber foto: KITLV Leiden).
0 Response to "Minang Saisuak #148 - Sekolah Tenun di Singkarak (c. 1910)"
Post a Comment