Sejarah Perang Kamang di Sumatera Barat

Selain Perang Paderi atau Perang Padri, di Sumatera Barat juga pernah meletus Perang Kamang. Seperti apa ceritanya?

Mohammad Hatta dalam buku Untuk Negeriku, Sebuah Otobiografi (Penerbit Buku Kompas) menyebutkan, pada pertengahan 1908, terjadi Perang Kamang yang mengejutkan orang seluruh Bukittinggi. Kamang adalah sebuah kampung yang letaknya kira-kira 16 kilometer dari Bukittinggi. Rakyat di situ berontak terhadap kekuasaan Belanda. Laki-laki dan perempuan turut bertempur dan bersenjatakan parang, rencong, dan sabit.

Sejarah Perang Kamang di Sumatera Barat
foto:tropen museum

Apa penyebab meletusnya Perang Kamang pada 15 Juni 1908? Pemerhati sejarah yang juga Dosen STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh Fikrul Hanif Sufyan mengatakan, rakyat Kamang sudah gerah dengan pungutan pajak (belasting) yang menyengsarakan mereka.

Awal dari peristiwa heroik itu dimulai dari keputusan Pemerintah Belanda mengumumkan mulai berlakunya peraturan pajak (incomstan belasting) tersebut untuk seluruh wilayah jajahannya.

Beberapa belasting yang pernah diberlakukan pada masa itu antara lain le personeel belasting (belasting badan), inkomesten belasting (belasting perusahaan), winst belasting (belasting perang), hounden belasting (belasting anjing), dan Sumatra Tabaksbelasting (pajak tembakau Sumatera). Beban pajak yang demikian besar inilah yang menyebabkan beberapa orang pemuka adat turut memprotesnya.

"Orang Belanda yang diterima dulu sebagai kawan sekarang bersikap sebagai penjajah dan penindas," demikian dituliskan Mohammad Hatta dalam buku Untuk Negeriku, Sebuah Otobiografi (Penerbit Buku Kompas), mengutip pernyataan orang dalam percakapan berbisik-bisik sampai dalam Kota Bukittinggi.

Masjid Taluak merupakan saksi sejarah dari Perang Kamang. Sebab, di tempat ini menjadi pusat pelatihan rakyat Kamang menghadapi Belanda. Di surau ini mereka belajar silat, ilmu batin tahan senjata tajam.

Ketika itu halaman masjid dan surau dijadikan tempat latihan. Pemerintah Fort de Kock pun tidak tinggal diam. Mereka mengerahkan 160 pasukan, 30 orang masuk dari Gadut  yang dipimpin oleh Letnan Heyne dan Cheriek; 80 orang masuk dari Tanjung Alam  dipimpin oleh J.Westennenk, 50 orang masuk lewat Biaro dipimpin oleh Letnan Boldingh dan Letnan Schaap.

Singkat cerita, perang basosoh (perang frontal) dengan tentara Belanda itu merenggut 70 jiwa, dimakamkan di sejumlah tempat, seperti Dusun Kampung Budi Jorong Pakan Sinayan, Kamang Mudik. Beberapa pimpinan Perang  Kamang seperti Garang Dt.Palindih, Kari Mudo, Dt.Siri Marajo, Pandeka Sumin, HM Amin, dan lain-lain ditangkap tentara Belanda.

Keesokan harinya, mereka ditahan di Padang, Magelang, Makassar, dan Batavia. Beberapa orang pimpinan perang Kamang ini meninggal dalam pembuangan, seperti Dt.Siri Marajo meninggal di penjara Glodok, Pandeka Sumin di penjara Makassar, A.Wahid Kari Mudo di Jakarta.

Dalam sebuah arsip kolonial Belanda disebutkan, tentara Belanda yang dipimpin J Westennenk itu mengalami kerugian yang cukup besar. Belasan pedati kendaraan mereka yang ditarik kerbau, dipenuhi tumpukan mayat tentara Belanda untuk dibawa ke Fort de Kock.

Mohammad Hatta dalam buku Untuk Negeriku, Sebuah Otobiografi (Penerbit Buku Kompas) menyebut pihak tentara kolonial harus kehilangan 12 tentaranya. Sementara, yang luka-luka sekitar 20 orang.

Untuk memperingati peristiwa heroik ini, didirikan sebuah tugu yang diresmikan oleh Gubernur Sumatera Barat Azwar Anas pada 1982. 



sumber:
http://daerah.sindonews.com

Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "Sejarah Perang Kamang di Sumatera Barat"

  1. Rujukan utama dari masyarakat Kamang Mudiak mengenai Perang Kamang ialah “Syair Perang Kamang” yang dikarang oleh Haji Ahmad Marzuki putra dari Haji Abdul Manan. Kekuatan yang dihimpun saat itu dalam artian kekuatan yang sangat sederhana dan sangat tradisional. Haji Abdul Manan diyakini (oleh Belanda dan rakyat Kamang Mudiak) sebagai tokoh sentral dari gerakan ini karena besarnya pengaruh yang dimilikinya di Kamang Mudiak. Belanda juga meyakini beliau sebagai pemimpin pemberontakan karena pandangan umum dari pejabat kolonial bahwa dibalik pemeberontakan oleh masyarakat pribumi selalu berdiri tokoh agama (seperti bahasan Sartono Kartodirjo dalam bukunya Pemberontakan Petani Banten). Namun bila kita kaji keturunan dan silsilah dari H. Abdul Manan maka kita bisa akan melihat bahwa jiwa dan semangat perang paderi telah di alirkan oleh ayahnya kepada beliau. Jadi wajarlah beliau pun ikut bersama masyarakat dan memimpin perjuangan menentang Belanda. (baca biografi singkat H. Abdul Manan)
    J. Westernnenk secara berturut-turut masih berusaha mendatangi rakyat Kamang, bahkan tak terhitung lagi. Tetapi perundingan-perundingan atau lebih tepat disebut perdebatan mengenai persoalan pajak masih seperti itu juga, malah lebih menambah kebencian dan memperkukuh semangat aksi rakyat terhadap Belanda, yang pada masa itu sebenarnya sedang mengalami goncangan politik, yang rata-rata melanda negara-negara Eropah Barat.
    J.Westennenk menghubungi Gubernur Sumatera Barat Hecler untuk mohon petunjuk mengenai tindakan yang harus diambil. Hanya sepatah kata yang dicetuskan Hecler sesuai dengan penggarisan Gubernur General Van Heutez yaitu, serbu! J.Westennenk lantas mengumpulkan 160 orang pasukan pilihan yang kemudian dibagi menjadi 3 kelompok. Menjelang sore mereka segera bergerak dari Bukittinggi menuju Kamang dari tiga jurusan:
    1. Pasukan pertama yang terdiri dari 30 orang, masuk dari Gadut, Pincuran, Kaluang, Simpang Manduang terus menuju Pauh, dipimpin oleh Letnat Itzig, letnan Heine dan Cheiriek. Diperkirakan disana mereka mencari Syekh H. Jabang yang merupakan orang penting dalam perlawanan terhadap pajak.
    2. Pasukan kedua, yang terdiri dari 80 orang serdadu dipimpin J.Westennenk (Kontrolir Agam Tua), Kontrolir Dahler bersama Kapten Lutsz, Letnan Leroux, Letnan Van Heulen, masuk melalui Guguk Bulek, Pakan kamih, Simpang 4 Suangai Tuak, berbelok di Kampung Jambu, Ladang Tibarau, Tapi dan terus ke Kampung Tangah. Untuk menyergap H. Abdul Manan.
    3. Sedangkan pasukan ketiga yang berkekuatan 50 orang serdadu di bawah pimpinan Letnan Boldingh dan pembantu Letnan Schaap, masuk melewati daerah Tanjung Alam, Kapau, Bukik Kuliriak, Magek, Pintu Koto.
    Pada senja hari, Belanda mulai bergerak mengepung rumah H. Abdul Manan untuk menangkapnya karena dinilai beliau lah yang menjadi dalang pergolakan adalah kaum agama. Tetapi H. Abdul Manan berhasil meloloskan diri dan segera menemui Dt. Rajo Penghulu di Kamang (sekarang Kamang Hilir) untuk berkonsultasi. Akhirnya bertiga dengan Kari Mudo dan beberapa orang pemuka lainya, mereka langsung mengadakan rapat kilat untuk membahas perkembangan yang sangat kritis dan menyusun kesiagaan seluruh rakyat guna mengobarkan perang sabil. Pasukan Belanda yang masuk dari Tanjung Alam dan Gadut bertemu di Kamang Mudiak Sekarang, Sehingga pejuang-pejuang dari Kamang (Kamang Mudiak dan Kamang Hilir) terkepung di Kampung Tangah.

    ReplyDelete