Di bulan suci Ramadan orang awak Minang punya tradisi khas main meriam bambu atau badia-badia batuang untuk merintang waktu menunggu beduk berbunyi pertanda shalat magrib dan buka puasa telah tiba.
Tetapi tradisi sejak nenek moyang itu kian ditanggapi secara kontroversi oleh berbagai kalangan, ada yang kontra dengan alasan berbahaya, mengganggu ketentraman, tidak mendidik dan seabrek alasan lain, juga ada yang mengapresiasi dengan alasan turut menyemarakkan Ramadan.
Lantas apakah harus dikomplain atau diapresiasi pula yang mengapresiasi itu? Ah! Apa benarlah meriam bambu, cuma sebuah teknologi kuno, ketinggalan zaman, hanya teknologi sederhana terbuat dari dua atau tiga ruas bambu yang diberi lobang sebesar lobang sarang kumbang, hanya merupakan bedil tanpa peluru yang hanya mampu bersuara keras menggelegar, memekakkan telinga, dapat membuat yang sakit jantung pingsan mendadak.
Toh yang memainkannya juga harus membeli BBM minyak tanah yang harganya kian melejit, muka pemain akan hitam berlepotan akibat tasumboh asap hitam sisa pembakaran sulutan api.
Meriam yang digunakan pasukan awak dalam perang blasteng tahun 1908 di Kamang dan sekitar Bukittinggi hanya mampu menggertak pasukan Belanda, tetapi cukup membuat orang bule gregetan, kalang kabut dan ngeri mendengar bunyinya yang menggelegar, Belanda juga menganggap bahwa meriam bambu pejuang pribumi adalah meriam benaran, sehingga meriamnya yang ada di benteng Port de Cok diarahkan ke suara meriam bambu berasal.
Secara fisik tidak banyak yang dapat diperoleh dari meriam bambu, apa benarlah! Tetapi di sisi lain pada sisi yang tidak dapat dilihat dan diraba, teknologi kuno dan sederhana itu membawa suasana bernuansa spritual tersendiri yang hanya dapat dirasakan. Meriam bambu pemberi khabar untuk mengingatkan bahwa kini bulan Ramadan bulan yang lebih baik dari seribu bulan. Meriam bambu turut memberi kabar bahwa umat muslim harus memperbanyak ibadah dan amal dalam bulan penuh rahmat dan magfirah itu.
Pada permainan meriam bambu tentu ada gerombol orang-orang lapar dengan tawa ria, sorak sorai, ota bagalau sebagai perajut komunikasi dan silaturahmi.
Meriam bambu adalah sebuah hasil budaya fisik yang mengandung nilai-nilai non fisik dan setiap item dari tujuh budaya universal hasil rasa dan karsa manusia akan mengalami perubahan secara lambat atau cepat, hanya karya Tuhan yang kekal.
Meriam bambu sebagai budaya teknologi merupakan karya budaya paling cepat mengalami perubahan, dia akan berubah dengan menyesuaikan diri melalui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan sendirinya. Biarkanlah perubahan itu berlangsung secara alami.
Tidak elok melakukan perubahan budaya dengan rekayasa dalam bentuk pelarangan secara ekstrem melalui aturan yang ketat karena akan menimbulkan kekagetan dan penentangan dari pemiliknya. Dan yakinlah matinya sebuah budaya bukan karena pembunuhan tetapi akibat bunuh diri. Artinya yang mengubah dan mematikan budaya yang ketinggalan zaman adalah pemiliknya sendiri bukan orang lain.
Dan sesungguhnya hidup selaras itu akan tercipta dengan budaya dan tradisi yang diamalkan oleh banyak orang bukan dengan tradisi baru yang diciptakan oleh segelintir orang dengan rekayasa dan pemaksaan.