Minang Saisuak #54 - Sebuah Grup Musik dari Padang

minang-saisuak-sebuah-grup-musik-dari-padang

Artikel Ch. E.P. van Kerckhoff, “Het Maleisch Toneel ter Weskust van Sumatra” dalam jurnal Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde 31 (1886): 302-14, cukup memberi gambaran tentang kehidupan seni di Padang pada akhir abad ke-19. Rupanya pada masa itu di Padang sudah berkembang beberapa cabang seni, seperti seni drama (tonil) dan seni musik.

Sebagai kota bandar yang dihuni oleh para imigran dari berbagai bangsa dan orang pribumi (Minangkabau) sendiri, kota Padang memberi peluang munculnya seni hibrida yang merefleksikan keragaman penduduknya, misalnya musik gamaik yang tetap bertahan sampai sekarang. Seni tonil Melayu yang populer di zaman kolonial seperti bangsawan dan komedie stamboel sering pula tampil menghibur masyarakat kota Padang dalam acara-acara keramaian seperti pasar malam (lihat: Cohen, 2002, 2006).

Rusli Amran dalam Padang rimayatmu dulu (1986:163) mengatakan bahwa kaum Indo di Padang juga memiliki grup musik keroncong. Dapat dikatakan bahwa akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan persemaian bagi munculnya gairah berkesenian di Padang, yang kemudian mendorong lahirnya grup-grup musik pada dekade-dekade berikutnya seperti Orkes Hawaiian The Smiling Players yang didirikan oleh Asbon Madjid tahun 1938.

Kali ini kami menampilkan dokumen visual sebuah grup musik yang pernah eksis di Padang pada seperempat pertama abad ke-20. Namanya adalah “Muziekclub ‘Petit Advendo’”, yang tampaknya merupakan kombinasi bahasa Perancis petit yang berarti ‘kecil’ dan aknonim bahasa Belanda Advendo (Aangenaam Door Vermaak En Nuttig Door Ontspanning, yang artinya ‘menyenangkan oleh kenikmatan dan bermanfaat dengan cara relaksasi’).

Tidak ada catatan kapan foto yang berukuran 9,5 x 14 cm. dan berbentuk kartu pos (prentbriefkaart) ini dibuat. Tapi menarik mengamati alat musik yang dipakai oleh group ini, wajah para pemainnya dan stelan pakaian mereka yang terekam dalam foto ini. Ada yang memakai jas tutup berwarna putih, ada yang memakai jas luar berwarna hitam. Dasinya juga dua macam: dasi panjang dan dasi kupu-kupu. Dari wajah para pemainnya, kelihatan bahwa mereka terdiri dari orang pribumi, Eropa, dan Eurasia. Yang duduk nomor dua dari kanan agak pirang rambutnya dan putih wajahnya, sepertinya orang Eropa Asli. Ada beberapa macam alat musik yang mereka pakai: antara lain beberapa jenis gitar, biola, dan sejenis suling. Sayangnya tulisan yang diletakkan di depan mereka tidak dapat dibaca.

Grup-grup musik seperti ‘Petit Advendo’ inilah yang sering mengisi acara hiburan dalam pesta-pesta kaum elit di kota Padang pada zaman saisuak, termasuk acara-acara di rumah bola (societeit) seperti Endracht dan Matahari. Jika ada grup-grup musik seperti ini di Padang sekarang, tentu akan dapat menghadirkan estetika alternatif dan suasana lain, paling tidak untuk selingan bagi telinga warga Padang yang setiap hari ditembaki dengan bunyi musik yang ‘berdentam-dentam’ – meminjam istilah Yurnaldi – di bus-bus kota dan angkot-angkotnya.


sumber

Subscribe to receive free email updates: