Kota Padang sudah lama dihuni oleh berbagai etnis dan ras pendatang, termasuk orang Nias dari Pulau Nias. Menurut sejarahnya, orang Nias sudah sampai ke Padang di zaman kejayaan Aceh di abad ke-16 atau sebelumnya. Kaum bangsawan pantai, seperti di Pariaman dan Padang, mengolah tanah-tanah mereka dengan bantuan tenaga budak, yang umumnya didatangkan dari Pulau Nias.
Menurut J.T. Nieuwenhuisen dan H.C.B. Rosenberg (1863) tradisi bekerja untuk orang lain penebus hutang, gadai, atau jadi budak sudah merupakan tradisi dalam kehidupan orang Nias di kampung halaman mereka. Tampaknya kebiasaan mereka itu dimanfaatkan oleh orang-orang luar, seperti orang Aceh. Banyak di antara mereka menjadi orang yang tergadai karena tak mampu membayar utang (pandeling), semacam perbudakan terselubung. Beberapa surat dari raja-raja lokal di pantai barat Sumatra (seperti Singkil, Trumon, Susoh, Bulusama, dll.) yang kini tersimpan di Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda, menunjukkan bahwa orang Aceh sering menggarong perkampungan orang Nias di Pulau Nias dan secara paksa membawa penduduknya ke Tanah Tepi untuk dijual kepada orang-orang kaya guna dipekerjakan di pelabuhan, di perkebunan dan sebagai jongos dan babu (De Stuers 1850, II:68). Dalam perjalanan masa, akhirnya komunitas pendatang dari Pulau Nias ini menjadi bagian dari masyarakat Minang di pantai barat Sumatra. Keturunan koloni pendatang asal Nias umumnya kini mendiami daerah Palinggam dan Seberang Padang dan satu enclave di Kenagarian Tanjuang Basuang, Kabupaten Padang Pariaman (Anatona 1996). Umumnya mereka memeluk agama Kristen, meskipun ada yang pindah ke agama Islam. Mereka hidup berdampingan dengan damai dengan penduduk asli (orang Minang) dan etnis-etnis pendatang lainnya.
Rubrik Minang Saisuak kali ini menurunkan satu foto klasik yang merekam tarian orang Nias di Padang. Danse van Nias te Padang, Sumatra (Tarian dari Nias di Padang, Sumatra), demikian judul foto ini yang tarikh pembuatannya tidak diketahui, tapi sangat mungkin di awal abad ke-20. Tidak pula disebutan apa nama tarian ini, tapi mungkin dapat diidentifikasi oleh para peneliti lain seperti Dr. Anatona Gulo dan Indrayuda. Seperti terefleksi dalam foto ini, komunitas Nias di Padang dan Padang Pariaman tetap mempertahankan budaya nenek moyang mereka. Aspek budaya yang lain seperti tari Balanse Madam (lihat: Risnawati dan R.M. Soedarsono 2003; Indrayuda 2009) dan hombo batu (lompat batu) juga masih tetap dipertahankan sampai sekarang. Keheterogenan (paco-pacomeminjam judul buku Freek Colombijn, 2006) kota Padang sejak dulu adalah sebuah anugerah Tuhan. Ciri kota Padang yang plural dari segi etnis dan agama itu kiranya elok dipertahankan. Baa agak hati Pak Walikota tu?
Suryadi Leiden, Belanda. (Sumber foto: Tropenmuseum Amsterdam).
Singgalang, Minggu, 25 Maret 2012
sumber:niadilova.blogdetik.com
0 Response to "Minang Saisuak #82 - Tarian Orang Nias di Padang"
Post a Comment