Pendahuluan
Dalam Silat Tuo Minangkabau dikenal prinsip: Tangkis Jurus Satu, Serang Jurus Dua.
Jadi pada awalnya ilmu persilatan di Minangkabau ini mengajarkan pada anak Sasiannya (murid) untuk tidak memulai perkelahian.
Tangkis jurus satu mempunyai makna, bahwa tugas utama setiap anak sasian atau pesilat adalah meng-hindarkan perkelahian. Sedangkan Serang jurus dua mempunyai makna: Bila musuh datang setelah mengelakkan serangan baru boleh menyerang.
Dan ilmu ini memang diajarkan secara harfiah dalam Silek Tuo. Tidak pernah diberi pelajaran bagaimana caranya membuka serangan. Tetapi pelajaran selalu dimulai dari cara "mangelak". Yaitu menghindarkan perkelahian. Setelah serangan musuh ditangkis, barulah terbuka jurus untuk menyerang.
Adapun Silat Toboh di Pariaman, Pangian di Tanah Datar dan Starlak di Sawahlunto, adalah juga berasal dari Silek Tuo. Tetapi telah dikembangkan dan dirubah di sana sini. Ilmu itulah yang kini dipakai oleh Pandeka Sangek. Silek Tuo dianggap lemah karena tidak boleh memulai serangan, dalam perkelahian orang diwajibkan menanti orang lain menyerang.
Berikut sejarah dan asal usul nya
Silat Minangkabau atau disingkat dengan "Silat Minang" pada prinsipnya sebagai salah kebudayaan khas yang diwariskan oleh nenek moyang Minangkabau sejak berada di bumi Minangkabau.
Bila dikaji dengan seksama isi Tambo Alam Minangkabau yang penuh berisikan kiasan berupa pepatah-petitih ataupun mamang adat, ternyata Silek Minang telah memiliki dan dikembangkan oleh salah seorang penasehat Sultan Sri Maharaja Diraja yang bernama "Datuk Suri Diraja" ; dipanggilkan dengan "Ninik Datuk Suri Diraja" oleh anak-cucu sekarang.
Sultan Sri Maharaja Diraja, seorang raja di Kerajaan Pahariyangan ( dialek: Pariangan ) . sebuah negeri (baca: nagari) yang pertama dibangun di kaki gunung Merapi bahagian Tenggara pad abad XII ( tahun 1119 M ).
Sedangkan Ninik Datuk Suri Diraja , seorang tua yang banyak dan dalam ilmunya di berbagai bidang kehidupan sosial. Beliau dikatakan juga sebagai seorang ahli filsafat dan negarawan kerajaan di masa itu, serta pertama kalinya membangun dasar-dasar adat Minangkabau; yang kemudian disempurnakan oleh Datuk Nan Baduo, dikenal dengan Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang.
Ninik Datuk Suri Diraja itulah yang menciptakan bermacam-macam kesenian dan alat-alatnya, seperti pencak, tari-tarian yang diangkatkan dari gerak-gerak silat serta membuat talempong, gong, gendang, serunai, harbah, kecapi, dll ( I.Dt.Sangguno Dirajo, 1919:18)
Sebagai catatan disini, mengenai kebenaran isi Tambo yang dikatakan orang mengandung 2% fakta dan 98 % mitologi hendaklah diikuti juga uraian Drs.MID.Jamal dalam bukunya : "Menyigi Tambo Alam Minangkabau" (Studi perbandingan sejarah) halaman 10.
Ninik Datuk Suri Diraja (dialek: Niniek Datuek Suri Dirajo) sebagai salah seorang Cendekiawan yang dikatakan "lubuk akal, lautan budi" , tempat orang berguru dan bertanya di masa itu; bahkan juga guru dari Sultan Sri Maharaja Diraja. (I.Dt. Sangguno Durajo, 1919:22).
Beliau itu jugalah yang menciptakan bermacam-macam cara berpakaian, seperti bermanik pada leher dan gelang pada kaki dan tangan serta berhias, bergombak satu,empat, dsb.
Ninik Datuk Suri Dirajo (1097-1198) itupun, sebagai kakak ipar (Minang: "Mamak Rumah") dari Sultan Sri Maharaja Diraja ( 1101-1149 ), karena adik beliau menjadi isteri pertama (Parama-Iswari) dari Raja Minangkabau tsb. Oleh karena itu pula "Mamak kandung" dari Datuk Nan Baduo.
Pengawal-pengawal Sultan Sri Maharaja Diraja yang bernama Kucieng Siam, Harimau Campo, Kambieng Utan, dan Anjieng Mualim menerima warisan ilmu silat sebahagian besarnya dari Ninik Datuk Dirajo; meskipun kepandaian silat pusaka yang mereka miliki dari negeri asal masing-masing sudah ada juga. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa keempat pengawal kerajaan itu pada mulanya berasal dari berbagai kawasan yang berada di sekitar Tanah Basa (= Tanah Asal) , yaitu di sekitar lembah Indus dahulunya.
Kucieng Siam, seorang pengawal yang berasal dari kawasan Kucin-Cina (Siam); Harimau Campo, seorang pengawal yang gagah perkasa, terambil dari kawasan Campa ; Kambieng Utan , seorang pengawal yang berasal dari kawasan Kamboja, dan Anjieng Mualim, seorang pengawal yang datang dari Persia/Gujarat.
Sehubungan dengan itu, kedudukan atau jabatan pengawalan sudah ada sejak nenek moyang suku Minangkabau bermukim di daerah sekitar gunung Merapi di zaman purba; sekurang-kurangnya dalam abad pertama setelah timbulnya kerajaan Melayu di Sumatera Barat.
Pemberitaan tentang kehadiran nenek moyang (Dapunta Hyang) dimaksud telah dipublikasikan dalam prasasti "Kedukan Bukit" tahun 683 M, yang dikaitkan dengan keberangkatan Dapunta Hyang dengan balatentaranya dari gunung Merapi melalui Muara Kampar atau Minang Tamwan ke Pulau Punjung / Sungai Dareh untuk mendirikan sebuah kerajaan yang memenuhi niat perjalanan misi suci,maksudnya untuk menyebarkan agama Budha. Di dalam perjalanan suci yang ditulis/ dikatakan dalam bahasa Melayu Kuno pada prasasti tsb dengan perkataan : " Manalap Sidhayatra" (Bakar Hatta,1983:20), terkandung juga niat memenuhi persyaratan mendirikan kerajaan dengan memperhitungkan faktor-faktor strategi militer, politik dan ekonomi. Kedudukan kerajaan itupun tidak bertentangan dengan kehendak kepercayaan/agama, karena di tepi Batanghari ditemukan sebuah tempat yang memenuhi persyaratan pula untuk memuja atau mengadakan persembahan kepada para dewata. Tempat itu, sebuah pulau yang dialiri sungai besar, yang merupakan dua pertemuan yang dapat pula dinamakan "Minanga Tamwan" atau "Minanga Kabwa".
Akhirnya pulau tempat bersemayam Dapunta Hyang yang menghadap ke Gunung Merapi (pengganti Mahameru yaitu Himalaya) itu dinamakan Pulau Punjung (asal kata: pujeu artinya puja). Sedangkan kerajaan yang didirikan itu disebut dengan kerajaan Mianga Kabwa dibaca: Minangkabaw.
Dalam Silat Tuo Minangkabau dikenal prinsip: Tangkis Jurus Satu, Serang Jurus Dua.
Jadi pada awalnya ilmu persilatan di Minangkabau ini mengajarkan pada anak Sasiannya (murid) untuk tidak memulai perkelahian.
Tangkis jurus satu mempunyai makna, bahwa tugas utama setiap anak sasian atau pesilat adalah meng-hindarkan perkelahian. Sedangkan Serang jurus dua mempunyai makna: Bila musuh datang setelah mengelakkan serangan baru boleh menyerang.
Dan ilmu ini memang diajarkan secara harfiah dalam Silek Tuo. Tidak pernah diberi pelajaran bagaimana caranya membuka serangan. Tetapi pelajaran selalu dimulai dari cara "mangelak". Yaitu menghindarkan perkelahian. Setelah serangan musuh ditangkis, barulah terbuka jurus untuk menyerang.
Adapun Silat Toboh di Pariaman, Pangian di Tanah Datar dan Starlak di Sawahlunto, adalah juga berasal dari Silek Tuo. Tetapi telah dikembangkan dan dirubah di sana sini. Ilmu itulah yang kini dipakai oleh Pandeka Sangek. Silek Tuo dianggap lemah karena tidak boleh memulai serangan, dalam perkelahian orang diwajibkan menanti orang lain menyerang.
Berikut sejarah dan asal usul nya
Silat Minangkabau atau disingkat dengan "Silat Minang" pada prinsipnya sebagai salah kebudayaan khas yang diwariskan oleh nenek moyang Minangkabau sejak berada di bumi Minangkabau.
Bila dikaji dengan seksama isi Tambo Alam Minangkabau yang penuh berisikan kiasan berupa pepatah-petitih ataupun mamang adat, ternyata Silek Minang telah memiliki dan dikembangkan oleh salah seorang penasehat Sultan Sri Maharaja Diraja yang bernama "Datuk Suri Diraja" ; dipanggilkan dengan "Ninik Datuk Suri Diraja" oleh anak-cucu sekarang.
Sultan Sri Maharaja Diraja, seorang raja di Kerajaan Pahariyangan ( dialek: Pariangan ) . sebuah negeri (baca: nagari) yang pertama dibangun di kaki gunung Merapi bahagian Tenggara pad abad XII ( tahun 1119 M ).
Sedangkan Ninik Datuk Suri Diraja , seorang tua yang banyak dan dalam ilmunya di berbagai bidang kehidupan sosial. Beliau dikatakan juga sebagai seorang ahli filsafat dan negarawan kerajaan di masa itu, serta pertama kalinya membangun dasar-dasar adat Minangkabau; yang kemudian disempurnakan oleh Datuk Nan Baduo, dikenal dengan Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang.
Ninik Datuk Suri Diraja itulah yang menciptakan bermacam-macam kesenian dan alat-alatnya, seperti pencak, tari-tarian yang diangkatkan dari gerak-gerak silat serta membuat talempong, gong, gendang, serunai, harbah, kecapi, dll ( I.Dt.Sangguno Dirajo, 1919:18)
Sebagai catatan disini, mengenai kebenaran isi Tambo yang dikatakan orang mengandung 2% fakta dan 98 % mitologi hendaklah diikuti juga uraian Drs.MID.Jamal dalam bukunya : "Menyigi Tambo Alam Minangkabau" (Studi perbandingan sejarah) halaman 10.
Ninik Datuk Suri Diraja (dialek: Niniek Datuek Suri Dirajo) sebagai salah seorang Cendekiawan yang dikatakan "lubuk akal, lautan budi" , tempat orang berguru dan bertanya di masa itu; bahkan juga guru dari Sultan Sri Maharaja Diraja. (I.Dt. Sangguno Durajo, 1919:22).
Beliau itu jugalah yang menciptakan bermacam-macam cara berpakaian, seperti bermanik pada leher dan gelang pada kaki dan tangan serta berhias, bergombak satu,empat, dsb.
Ninik Datuk Suri Dirajo (1097-1198) itupun, sebagai kakak ipar (Minang: "Mamak Rumah") dari Sultan Sri Maharaja Diraja ( 1101-1149 ), karena adik beliau menjadi isteri pertama (Parama-Iswari) dari Raja Minangkabau tsb. Oleh karena itu pula "Mamak kandung" dari Datuk Nan Baduo.
Pengawal-pengawal Sultan Sri Maharaja Diraja yang bernama Kucieng Siam, Harimau Campo, Kambieng Utan, dan Anjieng Mualim menerima warisan ilmu silat sebahagian besarnya dari Ninik Datuk Dirajo; meskipun kepandaian silat pusaka yang mereka miliki dari negeri asal masing-masing sudah ada juga. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa keempat pengawal kerajaan itu pada mulanya berasal dari berbagai kawasan yang berada di sekitar Tanah Basa (= Tanah Asal) , yaitu di sekitar lembah Indus dahulunya.
Kucieng Siam, seorang pengawal yang berasal dari kawasan Kucin-Cina (Siam); Harimau Campo, seorang pengawal yang gagah perkasa, terambil dari kawasan Campa ; Kambieng Utan , seorang pengawal yang berasal dari kawasan Kamboja, dan Anjieng Mualim, seorang pengawal yang datang dari Persia/Gujarat.
Sehubungan dengan itu, kedudukan atau jabatan pengawalan sudah ada sejak nenek moyang suku Minangkabau bermukim di daerah sekitar gunung Merapi di zaman purba; sekurang-kurangnya dalam abad pertama setelah timbulnya kerajaan Melayu di Sumatera Barat.
Pemberitaan tentang kehadiran nenek moyang (Dapunta Hyang) dimaksud telah dipublikasikan dalam prasasti "Kedukan Bukit" tahun 683 M, yang dikaitkan dengan keberangkatan Dapunta Hyang dengan balatentaranya dari gunung Merapi melalui Muara Kampar atau Minang Tamwan ke Pulau Punjung / Sungai Dareh untuk mendirikan sebuah kerajaan yang memenuhi niat perjalanan misi suci,maksudnya untuk menyebarkan agama Budha. Di dalam perjalanan suci yang ditulis/ dikatakan dalam bahasa Melayu Kuno pada prasasti tsb dengan perkataan : " Manalap Sidhayatra" (Bakar Hatta,1983:20), terkandung juga niat memenuhi persyaratan mendirikan kerajaan dengan memperhitungkan faktor-faktor strategi militer, politik dan ekonomi. Kedudukan kerajaan itupun tidak bertentangan dengan kehendak kepercayaan/agama, karena di tepi Batanghari ditemukan sebuah tempat yang memenuhi persyaratan pula untuk memuja atau mengadakan persembahan kepada para dewata. Tempat itu, sebuah pulau yang dialiri sungai besar, yang merupakan dua pertemuan yang dapat pula dinamakan "Minanga Tamwan" atau "Minanga Kabwa".
Akhirnya pulau tempat bersemayam Dapunta Hyang yang menghadap ke Gunung Merapi (pengganti Mahameru yaitu Himalaya) itu dinamakan Pulau Punjung (asal kata: pujeu artinya puja). Sedangkan kerajaan yang didirikan itu disebut dengan kerajaan Mianga Kabwa dibaca: Minangkabaw.
Asal Usul Silat Minangkabau
Minangkabau secara resmi sebagai sebuah kerajaan pertama dinyatakan terbentuknya dan berkedudukan di Pariangan, yakni di lereng Tenggara gunung Merapi.
Di Pariangan itulah dibentuk dan berkembangnya kepribadian suku Minangkabau. Pada hakikatnya kebudayaan Minangkabau bertumbuhnya di Pariangan; bukan di Pulau Punjung dan bukan pula di daerah sekitar sungai Kampar Kiri dan Kampar kanan.
Bila orang mengatakan Tambo Minangkabau itu isinya dongeng itu adalah hak mereka, meski kita tidak sependapat. Suatu dongeng, merupakan cerita-cerita kosong. akan tetapi jika dikatakan Tambo Minangkabau itu Mitologis, hal itu sangat beralasan, karena masih berada dalam lingkungan ilmu, yaitu terdapatnya kata "Logy". Hanya saja pembuktian mitology berdasarkan keyakinan, yang dapat dipahami oleh mereka yang ahli pula dalam bidang ilmu tersebut. Ilmu tentang mitos memang dewasa ini sudah ditinggalkan, karena banyak obyeknya bukan material; melainkan "SPIRITUAL". walaupun demikian, setiap orang tentu mempunyai alat ukur dan penilai suatu "kebenaran" , sesuai dengan keyakinan masing-masing. Apakah sesuatu yang dimilikinya ditetapkan secara obyektif, misalnya ilmu sejarah dengan segala benda-benda sebagai bukti yang obyektif dan benar; sudah barang tentu pula mitologi juga mempunyai bukti-bukti yang obyektif bagi yang mampu melihatnya. Bukti-bukti sejarah dapat diamati oleh mata lahir, sedangkan mitologi dapat diawasi oleh mata batin. Contoh: Pelangi dapat dilihat oleh mata lahir, sedangkan sinar aureel hanya bisa dilihat oleh mata batin. demikian juga bakteri yang sekecil-kecilnya dapat dilihat oleh mata lahir melalui mikroskop, akan tetapi "teluh" tidak dapat dilihat sekalipun dengan mikroskop; hanya dapat dilihat oleh mata batin melalui "makrifat".
Karenanya mengukur dan menilai Tambo tidak akan pernah ditimbang dengan ilmu sejarah dan tak akan pula pernah tercapai. Justeru karena itu mengukur Tambo dan sekaligus menilainya hanya dengan alat yang tersendiri pula, yaitu dengan keyakinan yang berdasarkan kenyataan yang tidak dapat didustakan oleh setiap pendukung kebudayaan Minangkabau.
sumber:kaskus
0 Response to "Silat Di Minangkabau Dan Asal Usulnya (Bagian 1)"
Post a Comment