Dalam hubungan ini diyakini, bahwa para pengawal kerajaan sebagaimana
halnya raja itu sendiri, yang kehadirannya sebagai keturunan dari
keluarga istana kerajaan Minangkabau di Pulau Punjung/Sungai Dareh (Kab. Dharmasraya).
Kedatangan mereka ke Pariangan setelah kerajaan itu mengalami
perpecahan, yaitu terjadinya revolusi istana dengan terbunuhnya nenek
moyang mereka, bernama Raja Indrawarman tahun 730 M, karena campur
tangan politik Cina T`ang yang menganut agama Budha. Raja Indrawarman
yang menggantikan ayahanda Sri Maharaja Lokita Warman (718 M) "sudah
menganut agama Islam". Dan hal itu menyebabkan Cina T`ang merasa
dirugikan oleh "hubungan Raja Minangkabau dengan Bani Umayyah"
(MID.Jamal, 1984:60-61). Karena itu keturunan para pengawal kerajaan
Minangkabau dari Pariangan tidak lagi secara murni mewarisi silat yang
terbawa dari sumber asal semula, akan tetapi merupakan kepandaian pusaka
turun temurun.
Ilmu silat itu sudah mengalami adaptasi mutlak dengan
lingkungan alam Minangkabau. Apalagi sebahagian besar pengaruh ajaran
Ninik Datuk Suri Diraja yang mengajarkan silat kepada keturunan para
pengawal tersebut mengakibatkan timbulnya perpaduan antara silat-silat
pusaka yang mereka terima dari nene moyang masing-masing dengan ilmu
silat ciptaan Ninik Datuk Suri Dirajo. Dengan perkataan lain, meskipun
setiap pengawal , misalnya "Kucieng Siam" memiliki ilmu silat Siam yang
diterima sebagai warisan, setelah kemudian mempelajari ilmu silat Ninik
Datuk Suri Diraja. maka akhirnya ilmu silat Kucieng Siam berbentuk
paduan atau merupakan hasil pengolahan silat, yang bentuknya pun jadi
baru. Begitu pula bagi diri pengawal-pengawal lain; semuanya merupakan
hasil ajaran Ninik Datuk Suri Diraja.
Ninik Datuk Suri Diraja telah memformulasi dan menyeragamkan ilmu silat yang berisikan sistem, metode dll bagi silat Minang, yaitu " Langkah Tigo " , " Langkah Ampek " , dan " Langkah Sembilan ". Beliau tidak hanya mengajarkan ilmu silat yang berbentuk lahiriyah saja, melainkan ilmu silat yang bersifat batiniyah pun diturunkan kepada murid-murid, agar mutu silat mempunyai bobot yang dikehendaki dan tambahan lagi setiap pengawal akan menjadi seorang yang sakti mendraguna, dan berwibawa.
Dalam Tambo dinyatakan juga, bahwa Ninik Datuk Suridiraja memiliki juga "kepandaian batiniyah yang disebut GAYUENG". (I.Dt Sangguno Dirajo, 1919:22)
1. Gayueng Lahir , yaitu suatu ilmu silat untuk dipakai menyerang lawan dengan menggunakan empu jari kaki dengan tiga macam sasaran :
a. Di sekitar leher, yaitu jakun/halkum dan tenggorokan.
b. Di sekitar lipatan perut, yaitu hulu hati dan pusar.
c. Di sekitar selangkang, yaitu kemaluan
Ketiga sasaran empuk itu dinamakan sasaran " Sajangka dua jari " .
2. Gayueng angin, yakni menyerang lawan dengan menggunakan tenaga batin melalui cara bersalaman, jentikan atau senggolan telunjuk. sasarannya ialah jeroan yang terdiri atas rangkai jantung, rangkai hati, dan rangkai limpa.
Ilmu Gayueng yang dimiliki Ninik Datuk Suri Diraja yang disebut "Gayueng" dalam Tambo itu ialah Gyueng jenis yang kedua, yaitu gayueng angin. Kepandaian silat dengan gayueng angin itu tanpa menggunakan peralatan. Jika penggunaan tenaga batin itu dengan memakai peralatan, maka ada bermacam jenisnya, yaitu :
a. Juhueng, yang di Jawa disebut sebagai Teluh, dengan alat2 semacam paku dan jarum, pisau kecil dll.
b. Parmayo, benda2 pipih dari besi yang mudah dilayangkan.
c. Sewai, sejenis boneka yang ditikam berulangkali
d. Tinggam, seperti Sewai juga, tetapi alat tikamnya dibenamkan pada boneka
Kepandaian Silat menggunakan tenaga batin yang sudah disebutkan diatas, sampai sekarang masih disimpan oleh kalangan pesilat; terutama pesilat-pesilat tua. Ilmu tersebut disebut sebagai istilah " PANARUHAN " atau simpanan. Karena ilmu silat sebagai ilmu beladiri dan seni adalah ciptaan Ninik Datuk Suri Diraja, maka bila dipelajari harus menurut tata cara adat yang berlaku di medan persilatan. Tata cara adat yang berlaku itu disebutkan dalam pepatah Minang : " Syarat-syarat yang dipaturun-panaikan manuruik alue jo patuik" diberikan kepada Sang Guru
sumber:kaskus
0 Response to "Silat Di Minangkabau Dan Asal Usulnya (Bagian 2)"
Post a Comment