Pariaman mungkin asosiatif dengan
beruk. Bahkan ada anekdot yang merefleksikan perbedaan kelas di Pariaman
dengan menyebut-nyebut primata pintar ini: laki-laki bergelar insinyur dijapuik jo sedan dan yang kerjanya ke sawah penghuni kampuang dijapuik jo baruak. Tapi di balik kepintaran orang Pariaman mencerdaskan beruk tersembunyi kritikan kepada orang darek. Soalnya hutan yang berisi banyak beruk ada di darek,
tapi yang memanfaatkan kecerdikan beruk itu adalah orang Pariaman,
sebagaimana dicatat oleh komandan militer Belanda di Pariaman J.C.
Bolehouwer di tahun 1830-an (lihat: Boelhouwer 1841).
Menurut seorang perantau Pariaman, Zubir Amin (71) di mailing list RantauNet
(16 Oktober 2010), orang Pariaman sering mengaitkan antara pasang naik
dan pasang surut air laut dengan pemunculan bulan. Di kampung-kampung di
Pariaman beruk betina setiap bulan purnama tandan ekornya (tumbuang) tumbuh menjadi lebih besar berwarna merah kesumba. Apakah ada yang tahu apa kaitan membesarnya tumbuang
beruk dengan posisi peredaran bulan? Mungkin kaitan antara gejala alam
dan perubahan fisik binatang ini perlu diteliti lebih lanjut. Zubir
mengingatkan agar berhati-hati dengan beruk yang tumbuang-nya
sedang (mem)besar karena sangat pencemburu, terutama kepada perempuan.
Mungkin cerita perantau Pariaman ini bisa dicoba buktikan: silakan
wanita cantik mendekati seekor beruk yang sedang besar tumbuang.
Rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini menyajikan dua foto klasik beruk di Pariaman. Kedua kodak ini dibuat oleh seorang Belanda bernama J. Jongejans pada akhir 1930-an. Foto
ini memperlihatkan seorang tukang beruk dengan beruknya dan suasana
ketika beruk itu memanjat kelapa. Tapi tampaknya beruk ini adalah seekor
beruk jantan gedang. Tingginya hampir separo tinggi pemiliknya. Beruk
jantan gedang ini dulu cukup mahal di Pariaman, harganya bisa sama
dengan harga satu buah kereta angin Raleigh. Kalau beruk jantan
gedang ini lepas atau sedang marah, lebih baik kita menghindar atau
menutup pintu rumah. Bahaya! Lebih bahaya dari polisi atau atau politisi
marah. Pelepah kerambil muda bisa copot dihoyaknya.
sumber:Suryadi - Leiden, Belanda. | (Sumber foto: Majalah Onze Aarde 12e Jrg. 1939: 254-6)
0 Response to "Minang Saisuak #120 - Beruk Pintar di Pariaman"
Post a Comment