Sejarah Minangkabau telah mencatat bahwa para datuk
di seluruh negeri pernah membentuk sebuah organisasi yang bernama
Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau yang biasa disingkat
MTKAAM. Organisasi para orang bersaluk tinggi ini didirikan pada tahun
1937. Ketuanya yang mula-mula adalah R. Datuak Simarajo Nan Kuniang yang
berpikiran progresif. Namun beliau kemudian didepak
dari MTKAAM tahun 1940 karena dituduh telah menyeret organisai itu ke
kancah politik praktis. Namun ia bergabung lagi dengan MTKAAM setelah
tidak diterima dalam Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), tapi ia
keluar lagi dari organisasi adat itu menyusul keterlibatannya dalam
pemroklamiran Partai Adat Rakyat di akhir tahun 1950-an (Gusti Asnan
(2007:55,70).
Rubrik Minang Saisuak kali ini menurunkan satu foto klasik yang terkait dengan vergadering
(rapat) MTKAAM ke-2 di Padang Panjang tahun 1941. Di papan yang
dipegang oleh anak kecil yang kelihatan dalam foto ini tertulis Hoohd (sic)
Coemite Congres Alam ke II M.T.K.A.A.M, 17-20/1 1941, Padang Pandjang
(Komite pusat Kongres Alam [Minangkabau] ke-2, Majelis Tinggi Kerapatan
Adat Alam Minangkabau, 17-20 Januari 1941 di Padang Pandang).
Foto ini berasal dari album lama
keluarga Damanhuri di Pandaisikek. Beliau adalah anak dari Datuak
Bagindo Basa yang dalam foto ini terlihat berdiri nomor dua dari kanan.
Dalam foto ini berturut-turut terlihat dari kiri ke kanan: Datuak
Machudum dari Sumaniak, tidak dikenal, Datuak Mandagam Sati, Datuak
Mangkuto Sinaro, dan Datuak Bagindo Basa dari Pandaisikek, Datuak
Simarajo (Ketua MTKAAM) dari Sumbua yang berpantalon serba putih. MTKAAM
dibubarkan Sukarno menyusul keberhasilan Jakarta menumpas pemberontakan
PRRI tahun 1961 karena para pengurusnya terlibat dalam PRRI dan yang
lainnya bergabung dengan Masyumi. Ketika Suharto naik ke tampuk
kekuasaan, MTKAAM dihidupkan kembali tahun 1967 tapi berubah nama
menjadi LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau) yang masih
bertahan hingga sekarang.
Rupanya sudah lama juga datuk-datuk kita gaya
seperti dapat dikesan dalam foto ini. Kombinasi pakaian adat dan dasi
serta sepatu kulit hitam mengkilat representasi kebudayaan Barat sudah
lama saling melengkapi dalam penampilan datuk-datuk parlente di
Minangkabau. Memang agak kurang manakah kalau
datuk-datuk kita pakai sandal jepit saja. Senang kita melihat para pucuk
pimpinan kaum dan adat kita tampil di ruang publik dengan gaya seperti
ini, tidak sekedar bercelana jeans dan baju kaos oblong saja.
sumber
sumber