Pada tahun 1890 Pemerintah Kolonial
Belanda mulai membangun jaringan jalan kereta api di Sumatra’s
Westkust, menyusul pembangunan pelabuhan Emmahaven (sekarang: Teluk
Bayur) yang sudah dimulai sejak 1888. Hadirnya kedua prasarana
transportasi modern itu menimbulkan dampak signifikan terhadap
masyarakat Minangkabau, baik dari segi ekonomi maupun budaya. Kota
Padang menjadi lebih ramai dan budaya bandar (urban culture) mulai tumbuh.
Rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini
menurunkan rekaman visual peresmian jalan kereta api di daerah Fort de
Kock (sekarang: Bukittinggi). Tampak dalam gambar ini batas terakhir
jalan kereta api bergigi yang digunakan untuk rel kereta api dari
dataran Pariaman ke kawasan darek. Para pejabat kolonial Belanda dan datuak-datuak bersaluak tentu hadir dalam acara peresmian itu. Terlihat beberapa payung gadang
yang mengindikasikan adanya pejabat penting yang sedang berkunjung
dipayungi. Di zaman lampau payung adalah semacam simbol kemewahan.
Marawa-marawa (umbul-umbul) juga
ditegakkan tanda adanya sebuah helat (pesta) keramaian. Tapi, berbeda
dengan marawa tiga corak yang biasa dikenal di Minangkabau sekarang,
marawa-marawa yang tampak dalam kodak ini hanya mempunyai satu jenis
warna saja: hitam. Penampilan marawa yang berwarna hitam itu seperti
melambangkan kaum adat, sebab kaum adat diasosiasikan dengan pakaian
warna hitam. Ini memunculkan pertanyaan historis: kapan sebenarnya
marawa tigo corak yang dikenal di Minangkabau sekarang
(yang konon melambangkan perpaduan tiga elemen pemimpin Minangkabau:
kaum ulama, kaum intelektual, dan kaum adat) mulai muncul? Ataukah
sebelum munculnya marawa tiga corak, kaum adat, kaum intelektual, dan
kaum ulama masing-masing punya marawa sendiri? Memang dalam beberapa
laporan Belanda disebutkan bahwa kaum Paderi selalu membawa bendera
putih dan al-Quran dengan kantong merah yang digantungkan di dada.
Foto ini dibuat sekitar 1894,
kurang lebih empat tahun setelah dimulainya pembangunan jaringan rel
kereta api yang menghubungan darek dan Padang. Sebuah foto memang selalu
menyimpan cerita sejarah. Melalui foto ini paling tidak kita dapat
membayangkan kultur masyarakat kolonial di zaman lampau yang menempatkan
manusia dalam segregasi sosial yang ketat dengan aturan-aturan yang tak
mungkin kita kembalikan ke masa kini.
sumber:Suryadi - Leiden, Belanda (Sumber foto: KITLV Leiden) | Singgalang, Minggu, 10 Maret 2013
0 Response to "Minang Saisuak #119 - Peresmian Jalan Kereta Api Padang - Bukittinggi"
Post a Comment