Kalau kita bertanya kepada orang
tua-tua atau orang Indonesia pada umumnya tentang perawakan Haji Agus
Salim, anak Minang yang menjadi diplomat ulung yang pernah dimiliki
Republik Indonesia, maka hampir dapat dipastikan mereka akan
menggambarkannya sebagai seorang kakek yang bertubuh kecil, sering
bersarung Bugis, memakai kacamata minus berbingkai unik, membawa tongkat
kemana-mana, berjenggot dan berkumis meranting betung, dan memiliki
tatapan mata yang tajam.
Memang perawakan Haji Agus Salim
yang seperti itulah yang umum diketahui oleh orang Indonesia, sebab
foto-foto Haji Agus Salim yang terdapat dalam buku-buku (pelajaran)
sejarah memang foto ketika beliau dalam usia yang sudah agak tua.
Rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini
menurunkan sebuah foto Haji Agus Salim yang mungkin jarang dilihat orang
orang Indonesia yang hidup di Zaman Suharto dan Zaman Repotnasi
sekarang ini. Foto ini adalah foto Agus Salim sewaktu masih bujang
tanggung di akhir abad ke-19. Agus Salim muda, dengan nama kecil Mashdul
Haq (pembela kebenaran) terlihat jombang dengan jas dan dasi kupu-kupunya.
Foto ini diambil waktu Agus Salim
muda bersekolah di Gymnasium Willem III di Batavia (1897-1902). Kita
menjadi tahu sedikit mengenai masa remaja Agus Salim berkat cerita
koresponden Bintang Hindia, Landjoemin [Dt. Toemanggoeng] yang kami sarikan dalam rubrik ini.
Agus Salim lahir di Koto Gadang tgl. 8 Oktober 1884 dari pasangan Siti Zainab dan Sutan Mohamad Salim, seorang hoofddjaksa
yang terkenal kelahiran Koto Gadang. Umur 4 tahun Agus Salim pindah ke
Tj Pinang, Riau Kepulauan, mengikuti ayahnya yang dimutasikan ke kota
itu. Usia 7 tahun ia masuk Belanda Lagere School di Tj. Pinang Otaknyaa ternyata encer, tiap tahun dia naik kelas.
Tamat Lagere School
di Tj Pinang, Agus Salim melanjutkan studinya ke Betawi. Ia diterima di
Gymnasium Willem III yang bergengsi itu. Tapi selama berstudi di Betawi
itulah ia mendapat malaria, yang membuatnya sering sakit-sakitan. Sering
dia harus tempo sekolah karena jatuh sakit. Tapi semangatnya membaja.
Tahun 1902 Agus Salim muda lulus ujian di tingkat 5 (tingkat tertinggi)
dengan posisi nomor 1.
Begitulah cerita masa muda si ‘Abang Kecil’
Haji Agus Salim, yang wafat di Jakarta 4 November 1954. Dan kita sudah
sama tahu bahwa setamat dari Gymnasium Willem III Agus Salim berniat
melanjutkan pendidikannya ke Belanda. Tapi cita-cita itu tak pernah
tercapai. Ia tidak pernah mendapat sokongan moril dan keuangan dari
Pemerintah Kolonial Belanda. Nasibnya berbeda dengan adiknya, Abdoel
Chalid Salim, yang justru lewat jalan berliku (dari Digoel) sampai di
‘Negeri Penjajah’ - meminjam judul buku Hary Poeze (2008) dan mati di
sana dengan kabilaik yang sudah bertukar (lih.: ‘Minang Saisuak’, Singgalang, Minggu, 6 Januari 2013).
Sekarang kita tahu kenapa si ‘Abang Kecil’ di
ketika dewasa sering berjalan pakai tongkat, kelihatan agak bungkuk dan
ringkih, tapi dengan mata yang terus menyala. Itulah mungkin warisan
malaria yang dideritanya waktu muda yang berketuntang dengan semangat
baja yang pantang menyerah.
sumber: http://niadilova.blogdetik.com
0 Response to "Minang Saisuak #136 - Agus Salim Muda (c. 1902)"
Post a Comment